Obama The Comeback Kid Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS, 20 Oktober 2012
Jika mengacu pada hasil jajak-jajak pendapat, Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengalahkan calon presiden dari Republik, Mitt Romney, dalam debat kedua pemilihan umum presiden, Selasa (16/10). Satu lagi debat terakhir Senin (22/10). Meski berhasil menyamakan kedudukan 1-1 karena kalah dalam debat pertama, 3 Oktober lalu, posisi Obama terancam. Menurut jajak pendapat Gallup, Obama untuk pertama kali kalah 45 berbanding 52 persen dari Romney. Jarak 7 persen cukup jauh di atas margin of error yang rata-rata 2 persen. Untung untuk Obama, sebagian responden diwawancarai sebelum debat kedua alias setelah debat pertama. Apa pun, begitu banyak jajak pendapat yang menyajikan tingkat popularitas kedua capres, baik di tingkat nasional maupun negara bagian. Lebih dari itu, hasil-hasil itu dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin, usia, warna kulit, dan sebagainya. Harap dipahami pula, jajak-jajak pendapat nyaris tidak pernah keliru memprediksi hasil akhir pilpres. Jika disimpulkan, jika dipukul rata, saat ini Romney unggul sekitar 0,4 persen—angka yang masih masuk ke kisaran margin of error. Survei alat bantu semata dan jika angka 0,4 persen dijadikan patokan, hasil pilpres 6 November sukar diprediksi. Lebih penting diperhatikan, pilpres AS memakai prinsip the winner takes all dan capres mesti merebut 270 dari total 538 utusan (electoral college). Jumlah 538 utusan itu tersebar di 50 negara bagian plus Washington DC, yang pembagiannya didasarkan pada jumlah populasi. Secara historis kedua partai telah hampir dipastikan memenangi safe states (negara-negara bagian yang aman). Lebih kurang ada empat perlima negara bagian yang aman bagi kedua partai. Negara-negara bagian di pesisir barat dan timur dikuasai Obama dan negara-negara bagian pedalaman milik Romney. Oleh sebab itulah, kemenangan setiap capres amat ditentukan di sekitar 10 negara bagian—atau seperlima dari total negara bagian—kategori swing states. Ini negara-negara bagian yang tak pernah dikuasai setiap capres. Termasuk dalam negara-negara bagian itu antara lain Ohio, Wisconsin, Miami, Iowa, dan North Carolina. Sampai saat ini, perbedaan persentase popularitas Obama dan Romney di negara-negara bagian tersebut cuma berbeda amat tipis! Secara bergurau, Obama yang tampil bersama Romney dalam acara amal di New York, Jumat (19/10), mengatakan, ia ”tidur siang panjang” saat debat pertama. Ini pengakuan jujur Obama, yang tak henti dicecar serangan oleh Romney yang tampil memukau. Debat antara calon wapres Joe Biden melawan calon wapres Paul Ryan tidak membantu Obama. Debat itu dianggap berakhir seri sekalipun banyak pula yang menilai Biden menang tipis. Pada debat kedua, Obama tampil lebih agresif. Ia ”mempermalukan” Romney ketika mereka membahas soal ”aksi teror” terhadap kantor Konsulat AS di Benghazi, Libya. Sebelum debat, Romney dan kubu Republik mengkritik Obama tak pernah menyebut serangan di Benghazi 11 September yang menewaskan empat korban diplomat AS itu sebagai ”aksi teror”. Ternyata, Obama menyebut frasa itu sehari setelah serangan itu di jumpa pers di Gedung Putih. Jelas Romney dan Republik memolitisasi isu terorisme, sebuah tabu politik. Namun, tudingan Romney bahwa para pejabat top AS terlambat menyimpulkannya sebagai aksi teror—menyebutnya serangan tak dirancang sebagai reaksi terhadap film yang menghina Islam—juga benar adanya. Romney melakukan blunder menyebut whole binder of women (daftar pelamar kerja perempuan) yang direkrut saat menjabat gubernur Massachusetts. Maksudnya menempatkan kesempatan kerja bagi perempuan walau nadanya menempatkan kaum hawa sebagai komoditas semata. Blunder ini menguntungkan Obama yang pada pilpres 2008 merebut mayoritas suara perempuan dan saat ini unggul tipis di kalangan hawa di beberapa swing states. Sekali lagi, suara perempuan bisa amat menentukan di pilpres 2012. Topik-topik lain pada debat kedua ini masih yang itu-itu lagi. Obama masih tetap dalam posisi sama, yakni menghadapi referendum tentang apa yang sudah—dan belum—dia lakukan sejak 2008. Data memperlihatkan pengangguran menembus angka di bawah 8 persen atau yang terendah sejak dia memerintah. Namun, jumlah sekitar 23 juta penganggur saat ini jadi potret buruk kegagalan yang masih sukar dihindari dari persepsi rakyat. Mesti diakui, Obama belum berhasil membuat AS bebas dari resesi. Utang publik sudah tembus 16 triliun dollar AS, defisit rata-rata 1 miliar dollar AS per tahun atau hampir 4 miliar dollar AS sejak 2008, dan hampir 50 juta warga hidup dari food stamps. Pendek kata, AS belum menikmati feel good factor. Dan, rupanya Romney cukup kuat tampil sebagai sosok alternatif (baca: pengusaha) yang akan mampu memperbaiki ekonomi. Debat kedua berlangsung sengit dan mereka seperti saling membenci. Belum terungkap apa yang akan Romney lakukan mengoreksi Obama dan apa yang akan Obama lakukan jika terpilih lagi. Debat terakhir, Senin pekan depan, membahas topik politik luar negeri. Pertarungan ini mungkin dimenangi Obama karena, antara lain, kesuksesan menewaskan Osama bin Laden, menarik pasukan dari Irak (sebentar lagi dari Afganistan), dan menampilkan wajah lebih manusiawi AS di dunia. Namun, tak mustahil Obama mengulang nasib Presiden George HW Bush (1988-1992). Ia sukses sebagai ”presiden politik luar negeri”, tetapi dikalahkan Bill Clinton yang dalam kampanye menguak banyak kegagalan ekonomi Bush senior. Sejak itulah muncul slogan kampanye terkenal ”It’s the economy, stupid!”. Slogan ini penemuan James Carville, konsultan politik andal yang juga memenangi pemilihan presiden/perdana menteri di Jepang, Australia, dan Meksiko. Sebaliknya, Obama dapat mengulang nasib Clinton sebagai ”The Comeback Kid”. Ia terpuruk pada awal pilpres, tetapi akhirnya terpilih dan dalam dua periode membawa AS ke tingkat kemakmuran tertinggi sejak Perang Dunia Kedua. ● |