Sabtu, 20 Oktober 2012

Quo Vadis Parpol Islam



Quo Vadis Parpol Islam
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 20 Oktober 2012


Adapun sebagai trend setter, seorang politikus muslim harus menjadi teladan dan menciptakan tradisi yang prudent dalam mengkonsolidasikan kekuatan sesama partai politik Islam atau dalam menjalani keniscayaan aliansi dengan kekuatan politik nasionalis-sekuler.
Dalam rilis terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI), didapati bahwa untuk pertama kalinya partai politik berhaluan massa Islam terancam tak masuk lima besar pada Pemilu 2014. Partai politik yang masuk lima besar dikuasai penuh oleh partai politik berhaluan nasionalis. Dari survei Oktober 2012, ditemukan bahwa kemerosotan ini terkait dengan kepartaian dan popularitas. Pada Pemilu 2009 sebelumnya diketahui bahwa partai Islam masih menempati posisi lima besar yang tecermin dari perolehan suara yang didapat PKS sebesar 7,9 persen. PKS berada di posisi keempat, disusul PAN, yang mendapat perolehan suara 6,0 persen.
Terlepas dari metodologi dan sampling yang digunakan, hasil rilis LSI seyogianya menjadi semacam cermin untuk berkaca bagi partai-partai politik Islam untuk melakukan evaluasi diri menghadapi Pemilu 2014 yang tinggal dua tahun lagi. Tanpa ada langkah-langkah pembenahan dan terobosan yang signifikan, dikhawatirkan parpol Islam akan kian ditinggalkan oleh konstituennya yang telanjur kecewa karena kemerosotan performa dan karakteristik yang benar-benar tipikal dibanding kubu politik sekuler-nasionalis yang kian mengepakkan sayap keunggulan mereka. Saya mencermati bahwa segenap parpol Islam perlu mengupayakan tiga gebrakan yang konstruktif agar tetap eksis dan kompetitif dalam meraih simpati publik, terutama menghadapi Pemilu 2014.
Pertama, purifikasi perjuangan kepartaian. Ikhtiar purifikasi perjuangan ini bukan sekadar kembali kepada khitah perjuangan, tapi jauh lebih krusial adalah mentransformasikan visi perjuangan menjadi lebih kontekstual dan membumi. Upaya-upaya demikian sangat berperan guna mempertajam prioritas kerja dan kualitas bahwa kalangan parpol Islam tidak hanya sibuk dengan pengesahan legislasi, tapi juga pengawalan demokrasi lewat isu-isu yang lebih nyata, seperti perbaikan tata kelola pemerintahan yang mengabdi kepada rakyat, pemberantasan kemiskinan, dan pemerataan pendidikan. Terlepas dari keberhasilan perjuangan politikus-politikus partai Islam di DPR dalam mengegolkan produk perundangan yang pro-rakyat, mereka masih belum berhasil menghapus citra dan stereotipe politik bahwa kebanyakan parpol Islam hanya berjuang dalam tataran formalisasi syariah.
Tak kalah pentingnya, purifikasi perjuangan parpol Islam juga fungsional untuk menyaring dan memilah para penumpang gelap yang kerap kali membonceng agenda parpol Islam dengan cara yang tidak elegan. Banyak kalangan politikus parpol Islam yang hanya mengeksploitasi emosi konstituen muslim dengan menggembar-gemborkan simbol-simbol agama, tapi nir-profesionalisme. Sebagai misal, tak sedikit legislator parpol muslim yang membidani sektor ekonomi, tapi apatis atau tidak memahami ekonomi syariah. Keadaan ini sepenuhnya sangat paradoks dan berseberangan dengan profil parpol Islam yang berupaya mengusung konsep ekonomi alternatif di tengah kebuasan kapitalisme global.
Kedua, intensifikasi komunikasi politik. Salah satu kelemahan parpol Islam dalam menjembatani dan mempertahankan komunikasi dengan konstituen dan khalayaknya adalah lemahnya penguasaan media massa. Penguasaan dan kepemilikan media massa dalam mengomunikasikan layanan dan kerja politik parpol Islam sangat penting tidak hanya untuk memperlihatkan eksistensinya, tapi juga memberikan peluang kepada para konstituen guna mengawal fungsi parpol tersebut. Kelemahan penguasaan media oleh kalangan politikus muslim berdampak pada terjadinya missing link antara komitmen dan realisasi yang dikampanyekan oleh partai-partai politik Islam terhadap konstituennya.
Tanpa penguasaan dan kepemilikan media massa, politikus parpol Islam sebetulnya bisa saja mengendalikan dan memimpin opini publik dengan menjadi issue maker atau trend setter dalam lanskap politik Tanah Air. Dengan menjadi issue maker, politikus parpol Islam harus menjadi ikon terobosan dan cermin untuk berkaca bagi banyak kalangan yang sangat mewarnai tren perpolitikan dengan segenap kompleksitasnya. Fahri Hamzah, politikus PKS, dapat mewakili kategori ini meskipun ia terbilang kontroversial di kalangan politikus dan publik. Adapun sebagai trend setter, seorang politikus muslim harus menjadi teladan dan menciptakan tradisi yang prudent dalam mengkonsolidasikan kekuatan sesama parpol Islam atau dalam menjalani keniscayaan aliansi dengan kekuatan politik nasionalis-sekuler. Lagi-lagi sosok ini hadir kembali dari rahim PKS, yakni Hidayat Nur Wahid. Parpol Islam perlu secara kontinu mencetak figur-figur dambaan publik yang mengawinkan kualifikasi trend setter dan issue maker demi terwujudnya perpolitikan bangsa yang santun. Penting dicatat bahwa kemampuan untuk menjadi trend setter dan issue maker secara sporadis bakal menjustifikasi bahwa para politikus kita, termasuk dari kalangan parpol Islam, hanya sibuk membangun selebritasasi politik.
Sebenarnya banyak lembaga masyarakat sipil yang didirikan atau berafiliasi kepada parpol Islam tertentu, semisal Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) dan Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU). Sayang, kiprah mereka tidak banyak diliput oleh media. Terlepas dari ketulusan dan motif kemanusiaan yang mereka miliki, minimnya liputan media terhadap kiprah mereka membuat kelompok-kelompok demikian mudah menjadi korban black campaign dan stereotipisasi politik.
Ketiga, penguatan kemandirian ekonomi. Munculnya perangkap korupsi bukan semata-mata terkait dengan persoalan kerasukan (greed), tapi juga karena ketiadaan jaminan kemandirian ekonomi di kalangan parpol Islam sendiri. Karena itu, parpol Islam perlu bekerja keras dan tuntas secara serius mengembangkan kekuatan dan kemandirian ekonomi. Hal ini amat mendesak agar sumber daya manusia dan politik parpol Islam tak gampang dibeli. Sungguh disayangkan bahwa kecenderungan pengembangan basis dan kemandirian ekonomi parpol Islam ini terkesan sporadis dan tambal sulam.
Banyak parpol Islam yang agresif mendekati para pengusaha besar atau konglomerat tertentu untuk dijadikan calon presiden atau kepala daerah. Tren ini tidak hanya menyesatkan dan bersifat pragmatis, tapi juga menimbulkan kesan bahwa sementara parpol Islam belum memiliki etos, blue print, dan kredo kewirausahaan yang serius untuk meningkatkan kesejahteraan konstituennya. Jauh lebih baik bila lewat inisiatif entrepreneurship yang holistik dan gradual, kalangan politikus muslim bekerja sama dan membangun jaringan dengan konglomerat yang memiliki komitmen keumatan yang kuat, seperti Chairul Tanjung, Sandiaga Uno, atau Rahmat Gobel, tanpa iming-iming proyek atau insentif. Pendekatan demikian jauh lebih visioner dan memiliki implikasi luas serta jangka panjang. Sejarah mencatat bahwa entrepreneurship menjadi kunci dalam keberhasilan dakwah Islam, seperti yang terlihat pada sosok Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Imam Malik, bahkan Rasulullah Muhammad SAW sendiri. ●

◄ Newer Post Older Post ►