Kebijakan Perdagangan Mudrajad Kuncoro ; Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM |
KOMPAS, 17 Oktober 2012
Krisis di Eropa dan AS mulai mengganggu kinerja ekspor Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia Agustus 2012 hanya surplus 248,5 juta dollar AS, sedikit membaik dari Juli yang sempat defisit 263,8 juta dollar AS. Neraca perdagangan Januari-Agustus 2012 masih surplus 496,7 juta dollar AS, tetapi jauh lebih rendah daripada surplus 2011 (19,8 miliar dollar AS). Menyusutnya surplus disebabkan menurunnya surplus perdagangan nonmigas yang hanya 2,1 miliar dollar AS dan defisit perdagangan migas 1,6 miliar dollar AS. Tanpa ada reformasi mendasar dalam strategi perdagangan nasional, tren merosotnya kinerja perdagangan akan terus berlanjut. Di tengah suramnya kondisi ekspor Indonesia ke AS dan Eropa, ekspor nonmigas Indonesia ke emerging markets Januari-Agustus 2011-2012 tumbuh pesat. Ekspor nonmigas Indonesia ke Pantai Gading meningkat 295 persen dengan nilai 73,4 juta dollar AS pada semester I-2012. Ekspor nonmigas Indonesia juga meningkat pesat ke beberapa emerging market lain, seperti Libya (374 persen), Guinea (286 persen), Mauritania (278 persen), Macedonia (272 persen), Laos (259 persen), Haiti (208 persen), Etiopia (153 persen), Nikaragua (138 persen), dan Liberia (131 persen). Mitra dagang yang masih memberikan surplus besar pada neraca perdagangan kita, antara lain India, Belanda, Filipina, Malaysia, dan Spanyol. Singkatnya, masih ada peluang menggarap pasar yang selama ini tak digarap serius oleh eksportir dan pebisnis Indonesia. Peluang meningkatkan kerja sama perdagangan ”selatan-selatan” masih terbuka lebar. Pertengahan Oktober ini, Jakarta jadi tuan rumah World Export Development Forum (WEDF), konferensi internasional yang diselenggarakan International Trade Center (ITC). ITC adalah organisasi bentukan WTO dan PBB, tujuannya memajukan dunia usaha di negara berkembang. Indonesia, menurut Direktur Pelaksana ITC Patricia Francis, dipilih sebagai tuan rumah karena sebagai negara dengan pertumbuhan pasar tercepat di dunia, Indonesia bisa menjadi contoh negara lain dalam ekspansi perdagangan. Sebagai pemain utama di ASEAN, Indonesia juga menunjukkan kekuatan dan daya tahan menghadapi krisis global. WDEF bertujuan mengidentifikasi peluang pertumbuhan perdagangan intrakawasan dan mengatasi hambatan perdagangan, yang pada gilirannya dapat menciptakan hubungan perdagangan global yang kian kompetitif. Dengan tema ”Linking Growth Markets, New Dynamic in Global Trade”, konferensi diharapkan menghasilkan output soal bagaimana meningkatkan pertumbuhan ekspor global dengan peningkatan daya saing serta teridentifikasinya hambatan perdagangan yang akan dihadapi negara yang tergolong naik daun dan sedang berkembang. Reformasi Kebijakan Bagaimana arah kebijakan perdagangan Indonesia? Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan mengatakan, tahun 2012 prioritas Kementerian Perdagangan mencakup peningkatan ekspor dan peningkatan daya beli masyarakat. Kebijakan perdagangan luar negeri diarahkan pada peningkatan daya saing produk ekspor nonmigas lewat diversifikasi pasar serta peningkatan keberagaman dan kualitas produk ekspor. Di tengah krisis Eropa dan AS yang belum terlihat kapan berakhirnya, perlu reformasi atau terobosan kebijakan. Kita perlu lebih proaktif dan jeli melakukan total strategi global. Harus diakui, strategi diversifikasi pasar kita masih ”setengah hati”. Pasar utama ekspor kita masih ke China, Jepang, AS, India, dan Singapura. Total ekspor nonmigas ke 10 negara utama 71,9 miliar dollar AS, sementara ke 10 emerging market hanya 318,2 juta dollar AS. Ekspor ke 10 mitra dagang utama turun kecuali ke China, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Sementara ekspor ke emerging market naik signifikan meski nilai relatif kecil. Ini tak banyak berubah sejak 2004. Bila serius ingin menggarap pasar ”nontradisional”, Kemendag perlu lebih mengoptimalkan market intelligence di semua negara, khususnya di mana produk ekspor kita punya daya saing. Pemerintah perlu mengoptimalkan keberadaan Indonesian Trade Promotion Center dan konsul perdagangan di semua negara untuk identifikasi peluang pasar, informasi kebutuhan produk, hambatan perdagangan, jaringan distribusi dan logistik. Implementasi rencana strategis Kemendag perlu diintegrasikan dengan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Strategi diversifikasi pasar dan produk ekspor tak akan berhasil bila masalah ekonomi biaya tinggi di dalam negeri tak dibenahi. Interkonektivitas antara pusat-pusat produksi produk ekspor dengan bandara dan pelabuhan laut masih banyak menghadapi hambatan, seperti pungutan liar, minim, buruknya infrastruktur jalan, tingginya biaya terminal handling charges, serta biaya logistik. Peran penting MP3EI difokuskan pada percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional di enam koridor: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Papua Maluku. Aktivitas utama keenam koridor adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridor dengan mengembangkan kluster industri dan/atau kawasan ekonomi khusus yang berbasis sumber daya/komoditas unggulan. Artinya, pengembangan koridor perlu diintegrasikan dengan pengembangan kluster dan kawasan yang berbasis kompetensi inti daerah. Best practices—seperti program one village one product di Jepang, one tambon one product Thailand, cluster wine di California, dan industri kulit di Third Italy—bisa jadi rujukan untuk mengembangkan komoditas serta sektor unggulan. Strategi Kemendag dalam meningkatkan keberagaman, daya saing, dan kualitas produk ekspor masih perlu dipertajam. Produk ekspor utama Indonesia ke mitra dagang utama masih terkonsentrasi di batubara, karet, minyak sawit, dan mesin/peralatan listrik, bijih logam, kayu, kendaraan dan bagiannya, timah, pakaian jadi bukan rajutan, besi dan baja, serta berbagai produk kimia. Produk ekspor ke emerging market masih meliputi batubara, buku dan barang cetakan, serat stapel buatan, produk farmasi, kertas, karet, minyak sawit, sabun, kendaraan, dan bagiannya, serta daging dan ikan olahan. Pangsa 15 produk utama terhadap total ekspor nonmigas masih 59 persen, umumnya berbasis buruh murah dan SDA. Kelemahan mendasar produk ekspor kita adalah masih sangat tinggi kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen. Kandungan impor 28-90 persen. Dengan kata lain, strategi substitusi impor perlu digalakkan. Krisis kedelai di Indonesia belum berakhir. Krisis kedelai ini harusnya dijadikan momentum untuk peningkatan produksi kedelai dalam negeri, terutama di sentra penghasil kedelai, dan meninjau ulang tata niaga kedelai. Pemerintah perlu menyelamatkan produk Indonesia yang lemah atau menurun daya saingnya. Survei membuktikan hanya 7 persen produk manufaktur Indonesia yang kuat melawan banjirnya produk impor, terutama dari China. Studi Mudrajad Kuncoro (2011) dan Tri Widodo (2009) menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif kelompok produk yang tak memiliki atau memiliki keunggulan komparatif rendah pada masa lalu. Pola keunggulan komparatif ASEAN, termasuk Indonesia, ternyata mengikuti Jepang karena ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk tradisional berbasis pertanian dan SDA. Strategi ekspor kita perlu diubah menjadi berbasis keunggulan kompetitif, yaitu bergeser dari produk berbasis buruh murah dan kaya SDA menjadi berbasis tenaga kerja terampil, padat teknologi, dan dinamis mengikuti perkembangan pasar. Tanpa perubahan mendasar dalam strategi perdagangan, kinerja perdagangan kita bisa kian memburuk dan Indonesia akan jadi penonton, bukan pemain, pada era Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. ● |