Sabtu, 20 Oktober 2012

Pendidikan Moral Preman


Pendidikan Moral Preman
Ali Mustafa Yaqub ;  Imam Besar Mesjid Istiqlal
KOMPAS, 19 Oktober 2012



Ketika diberitakan para pelajar melakukan tawuran sampai menimbulkan korban jiwa, seorang kawan berkomentar: ”Klop! Yang tua jadi intelektual maling, yang muda jadi pelajar preman.”
Sejak Januari hingga September 2012, tawuran pelajar di negeri kita telah menelan korban 21 jiwa. Ini artinya rata-rata setiap bulan minimal ada dua korban dalam tawuran pelajar.
Kendati kita berharap fenomena tawuran pelajar itu hanyalah ”setitik nila yang merusak susu sebelanga”, tampaknya para penanggung jawab pendidikan di negeri ini perlu mencari sebab, apa yang salah dalam pendidikan kita? Ibarat membuat roti berbahan baku terigu, apabila hasilnya ternyata bakwan mungkin ada yang salah dalam jenis bahan tambahan dan atau cara pengolahannya.
Jika tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan anak bangsa yang berbudi luhur, berakhlak mulia, dan bertakwa kepada Tuhan, tetapi hasilnya adalah lahirnya generasi yang cerdas tetapi bermoral preman, maka tentu ada yang salah dalam pendidikan kita. Bahan bakunya sudah jelas, yaitu para pelajar. Bahan tambahan dan cara pengolahannya mungkin perlu ditinjau ulang.
Bila tujuan pendidikan kita seperti disebut di atas, bahan tambahannya tentu pendidikan moral agama karena agama tak pernah mengajarkan premanisme. Namun, tampaknya bahan tambahan yang diajarkan bukan pendidikan moral agama. Boleh jadi pendidikan moral preman. Sebab, hasilnya adalah generasi yang cerdas, tetapi bermoral preman dengan budaya tawuran dan bunuh-bunuhan.
Akui Kesalahan Kita
Seyogianya kita berani mengakui ada yang salah dalam pendidikan kita. Dengan keberanian mengakui kesalahan itu maka kita dapat melakukan perbaikan. Sejauh ini kita tidak pernah dan semoga tak akan pernah, mendengar adanya tawuran dan bunuh-bunuhan antarpelajar dari sekolah yang berbasis agama. Kendati begitu, kita perlu waspada adanya upaya pembusukan sekolah berbasis agama.
Perbedaan pendidikan antara sekolah berbasis agama dan yang tak berbasis agama terletak pada bahan tambahan dan cara pengolahannya. Sekolah yang berbasis agama telah melahirkan generasi cerdas dan berakhlak mulia, kendati hal itu belum sempurna dan masih banyak kekurangan,
Premanisme pelajar dengan budaya tawuran dan bunuh-bunuhan tidak pernah dikenal di sekolah berbasis agama. Sementara bahan baku untuk semua jenis sekolah sama: peserta didik alias pelajar. Maka, untuk melahirkan generasi bangsa sesuai tujuan pendidikan yang diamanatkan UU Sistem Pendidikan Nasional, kita perlu mengubah bahan tambahan dan cara mengolahnya dengan pendidikan moral agama dan akhlak mulia.
Kendati begitu, belum ada jaminan pasti apabila bahan tambahan itu diubah akan melahirkan generasi cerdas dan bermoral. Sebab, untuk melahirkan generasi yang ideal diperlukan tiga unsur pendidikan, yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan lingkungan. Kendati jam pelajaran pendidikan moral agama di sekolah ditambah semaksimal mungkin, apabila rumah tangga dan lingkungan tidak ikut mendukung hal itu, hasilnya juga jauh dari harapan.
Oleh karena itu, apabila kita menginginkan lahirnya generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia, tiga unsur pendidikan itu wajib segera dibenahi. Apabila hal ini tidak dilakukan, justru akan lahir generasi preman dan intelektual maling. ●

◄ Newer Post Older Post ►