Kampus tanpa Budaya Kampus Djohansjah Marzoeki ; Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga |
JAWA POS, 17 Oktober 2012
MASIH hangat dalam ingatan dua mahasiswa Universitas Negeri Makassar meninggal karena tawuran. Sebelumnya, seorang pelajar di Jakarta tewas akibat tawuran. Stasiun TV pernah menyiarkan bentrok fisik di tiga kampus sekaligus, yakni di Medan, Jogja, dan Ambon. Sangat memprihatinkan. Bahkan, pernah terjadi tawuran antara mahasiswa dan sopir angkutan kota di Makassar. Di Ampenan, Medan, dan Makassar juga terjadi mahasiswa yang merusak gedung dan sarana ajar, termasuk laboratorium. Belum lagi kekerasan ala IPDN dan Akademi Kepolisian. Kerusuhan fisik seperti itu sudah terlalu jauh dari gambaran pola pikir dan budaya akademis yang aktivitas utamanya bergelut dengan ilmu serta nalar (rasio) dengan metode yang tersistem. Kini kampus tak ubahnya menjadi komunitas kekerasan, kepentingan kelompok, serta komunitas masyarakat yang tidak ilmiah dan tidak rasional. Lebih mengandalkan fisik daripada nalar. Salah siapa? Kalau banyak kecelakaan pesawat terbang, kereta api terguling, dan jembatan jebol, orang dengan mudahnya menuding serta meminta pertanggunganjawaban menteri perhubungan. Kalau banyak wabah penyakit, yang dicecar adalah menteri kesehatan. Jika terjadi kerusuhan kampus, siapa yang diminta mundur? Rektor atau ketua senat akademis universitasnya atau Mendikbud? Sebenarnya, tidak semudah itu menuding sang menteri untuk bertanggung jawab. Sebab, kerusuhan tersebut bisa timbul karena sistem yang ada saat ini tidak menciptakan iklim budaya akademis, budaya kampus. Para pimpinan universitas, menurut saya, tidak begitu paham dengan budaya akademis. Masih banyak perguruan tinggi yang hanya menerapkan budaya lokal di mana ia berada. Kalau berada di Medan, ia pakai "budaya Medan". Kalau ada di Jogja, pakai "budaya Jawa". Sebenarnya, perguruan tinggi punya budaya akademis yang khas dan universal, yang menjadi iklim kampus dalam menggeluti dunia ilmiah. Iklim ini seharusnya sama di mana pun, di Amerika, Jawa, Inggris, dan lain-lain. Budaya akademis disebut juga budaya ilmiah atau budaya profesional. Perguruan tinggi di Indonesia masih belum terbiasa dengan budaya akademis, setidaknya belum mempratikkan budaya akademis secara utuh. Budaya akademis pun tidak pernah diajarkan di perguruan tinggi kita sehingga para dosen, guru besar, dan para pimpinan perguruan tinggi tidak banyak tahu tentang budaya akademis. Akibatnya, budaya akademis bagaikan benda maya yang kehadirannya tak jelas. Mempelajari dan mengembangkan ilmu akan mengalami kemudahan bila iklim di perguruan tinggi selalu berada dalam budaya akademis. Seringnya budaya nonakademis yang mendominasi perguruan tinggi justru mudah menghambat kegiatan akademis karena banyak bermain dengan emosi dan tata cara yang tidak baku. Kegiatan akademis bergelut dengan ilmu, pendapat, gagasan, ajaran, seminar, penelitian, membuat media ilmiah, forum diskusi, debat, dan lain-lain. Budaya akademis menuntut para civitas academica jujur, tidak memihak, dan tidak membentuk grup-grupan atau kubu kepentingan. Tidak asal bunyi, harus memakai alat bukti, referensi, dan alat ukur, serta tidak memakai otoritas kekuasaan sebagai alat pembenaran. Ada kebebasan akademis. Budaya akademis akan membawa civitas academica menjadi ilmuwan dan calon ilmuwan (para mahasiswa) yang mengerti cara bereaksi terhadap berbagai masalah ilmiah dan publik layaknya seorang ilmuwan. Nah, bila sudah menjadi pejabat publik, dia akan bisa bekerja secara profesional. Segala macam masalah yang kontroversial harus dibawa dalam forum debat atau forum diskusi. Di situ kita beradu argumentasi secara rasional, bukan bertengkar secara emosional. Bukan pula apriori, show of force, gagah-gagahan fisik, pamer kekuatan, dan tawuran. Yang begitu bukan cara akademis, itu tak perlu sekolah. Demo bukan kegiatan akademis! Apalagi jika bentrok fisik, merusak, menyiksa, dan membunuh di dalam kampus. Nah, bagaimana para mahasiswa bisa berbudaya akademis kalau dalam kampusnya sendiri tidak pernah mengenal budaya akademis? Tidak ada forum debat yang sehat. Kalau di sana tidak tersedia forum sebagai saluran nalar yang akademis, mereka akan mudah masuk dalam kegiatan demo kekuatan fisik, berdasar pada jumlah orang, yang sama sekali tidak akademis. Karena itu, para mahasiswa sejak pertama masuk perguruan tinggi harus diberikan materi budaya akademis agar mengerti arah, iklim, dan budaya yang kompatibel dengan ilmu yang akan dipelajarinya. Kalau budaya akademis adalah sesuatu yang baru di perguruan tinggi itu, para dosen dan guru besar juga harus mendapat penataran subjek yang sama. Tanpa perlu malu atau gengsi. Pendidikan adalah hari depan bangsa. Ia adalah kebutuhan publik, kebutuhan bangsa, apa pun suku kita, agama, dan budaya kita. Apa yang akan terjadi dengan bangsa ini bila pendidikan anak anak bangsa tidak berada dalam arah yang benar? Kalau itu dibiarkan, bangsa ini akan hancur, terpuruk penuh anarki. Anarki sudah merebak, jangan biarkan ia merajalela. ● |