Akuntabilitas Promosi Koruptor Richo Andi Wibowo ; Dosen FH UGM dan Peneliti di Institute of Constitutional and Administrative Law, Utrecht University |
JAWA POS, 17 Oktober 2012
PUBLIK kembali dikejutkan oleh berita yang terkait dengan korupsi. Beberapa waktu lalu, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Azirwan diangkat menjadi kepala dinas kelautan dan perikanan oleh gubernur Kepulauan Riau (Kepri). Padahal, Azirwan adalah bekas terpidana korupsi yang divonis penjara 2,5 tahun. Dia dinyatakan bersalah karena menyuap anggota Komisi IV DPR Al Amin Nasution dalam kasus alih fungsi hutan lindung 2008 (Detiknews.com, 12/10/2012). Meski dikecam, Gubernur Kepri M. Sani tidak mengacuhkan kritik publik tersebut. Celakanya lagi, pemerintah pusat berusaha cuci tangan atas kejadian tersebut. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan bahwa PNS yang pernah dipidana terkait kasus korupsi boleh menjadi pejabat karena sampai sekarang belum ada aturan yang melarang hal itu. Sesat dan Menyesatkan Sikap M. Sani dan pernyataan Gamawan itu perlu dipandang sebagai sikap yang sesat apabila ditinjau dari sisi hukum positif, teori akuntabilitas, serta perasaan keadilan masyarakat. Ditinjau dari sisi hukum, Azirwan seharusnya telah kehilangan haknya untuk diangkat menjadi pejabat pemprov, bahkan PNS. Sebab, dia telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang ancaman hukumannya empat tahun atau lebih. Pasal 23 UU 43/1999 ayat (4a) berbunyi: Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat, karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang, ancaman hukumannya 4 (empat) tahun atau lebih. Ancaman hukuman kasus suap Azirwan adalah lima tahun penjara (pasal 5 ayat 1a UU 31/1999 jo UU 20/2001). Ditinjau dari teori akuntabilitas, tindakan gubernur dalam mengangkat Azirwan juga dipandang sebagai tindakan yang tidak akuntabel meski tidak ada peraturan yang dilanggar. Teori modern accountability menilai ketepatan tindakan pemerintah tidak hanya dalam lingkup sempit semata seperti legal accountability ataupun financial accountability, namun juga public accountability. Konsep ini memandang bahwa pemerintah dapat dianggap akuntabel jika masyarakat menerima keputusan/tindakan pemerintah (Bovens, 2008). Dalam kasus Azirwan ini, penolakan keras terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa keputusan pengangkatan tersebut tidak akuntabel. Ditinjau dari perasaan keadilan publik, terlihat jelas bahwa kepantasan, kepatutan, dan akal sehat (common sense) masyarakat terluka ketika melihat koruptor justru diberi jabatan strategis di lingkungan pemprov. Sekalipun perasaan hukum masyarakat bukanlah hukum positif yang memiliki daya paksa, hal ini adalah "ruh" pembentuk aneka peraturan hukum. Maka dari itu, eksistensinya dalam membaca, memahami dan menjalankan peraturan, tidak boleh diabaikan (Rasjidi dan Rasjidi, 2007). Selain sesat, tindakan gubernur dan sikap Mendagri di atas juga dapat dianggap menyesatkan. Hal ini mengingat tindakan dan sikap mereka dapat mengganggu kesadaran publik dalam bernalar hukum. Posisi publik selama ini sudah jelas: orang yang melakukan kesalahan akan (dan patut) dicela oleh masyarakat. Dari sisi teori hukum, pencelaan ini baik karena dapat menjadi instrumen preventif yang akan menghambat pelaku untuk mengulangi perbuatan tercela yang telah dia lakukan. Celaan dari masyarakat ini juga bermanfaat untuk menakuti orang lain agar tidak melakukan perbuatan buruk tersebut. Kembali ke kasus Azirwan di atas, sikap gubernur yang justru mengangkat Azirwan sebagai kepala dinas berseberangan dengan posisi publik selama ini. Keputusan ini akan membingungkan (menyesatkan) masyarakat dalam memandang korupsi: jika korupsi memang perbuatan tercela, lalu mengapa koruptor justru diberi jabatan? Akibatnya, masyarakat -atau setidak-tidaknya para birokrat di pemprov- bisa memandang bahwa korupsi bukan merupakan tindakan yang bisa berakibat buruk pada karirnya. Inisiasi ke Depan Pemprov dan pemerintah pusat perlu berjalan beriringan guna menyelesaikan dan mencegah permasalahan ini semakin membesar di kemudian hari. Karena itu, pemprov perlu menghormati dan mengindahkan kritik rakyat terhadap keputusan gubernur di atas. Kritik tersebut perlu dipandang sebagai proses partisipasi masyarakat. Menurut sudut pandang good governance, apabila partisipasi tidak diindahkan, legitimasi pemerintah di mata rakyat akan tergerus. Akibatnya, pemprov akan menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat (G.H. Addink, 2012). Lebih dari itu, pengabaian terhadap aspirasi masyarakat di atas dapat membawa pemprov untuk berurusan dengan hukum. LSM dapat menggugat keabsahan surat keputusan pengangkatan Azirwan di hadapan PTUN dengan alasan keputusan tersebut melanggar hukum dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik atau AUPB (pasal 53 ayat (2) UU 9/2004). Pemerintah pusat juga tidak boleh berpangku tangan apalagi lepas libat. Mendagri perlu mengarahkan gubernur sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah. Karena merasa ada "kekosongan hukum" tidaklah boleh menjadi justifikasi bagi Mendagri untuk mengakui (bahkan mendukung) keputusan yang dipandang oleh masyarakat sebagai keputusan bermasalah. Dalam bahasa Satjipto Rahardjo, peraturan perundangan selalu memiliki cacat sejak lahir sehingga akan terus ditemukan aneka kekurangan di sana-sini. Karena itu, celah hukum (loop hole) yang ada bukan untuk dikeluhkan atau minta masyarakat maklum. Celah hukum tersebut perlu "ditambal" oleh Kemedagri dengan cara mengeluarkan kebijakan/peraturan hukum (made law) yang memastikan agar kejadian serupa tidak terulang. Pejabat eksekutif memang mendapatkan kewenangan istimewa. Selain menjalankan peraturan perundang-undangan, -dalam batas batas tertentu- lembaga eksekutif dapat menjalankan fungsi legislatif (membuat hukum) serta fungsi yudikatif (mengevaluasi pelaksanaan hukum). Privilese ini diberikan untuk memastikan bahwa tidak boleh ada urusan yang diabaikan oleh eksekutif dengan alasan belum ada peraturan perundang-undangan. Karena itu, kewenangan istimewa ini harus digunakan oleh Mendagri untuk membangun sistem pemerintahan Indonesia yang lebih baik. ● |