Merindukan Gus Dur Mohamad Guntur Romli ; Santri Gus Dur dan pegiat Komunitas Salihara |
JAWA POS, 19 Oktober 2012
ADA seorang kiai dari Banten yang berkata kepada saya, ''Gus Dur itu sudah jadi wali kesepuluh''. Komentar itu menarik, tapi bukankah la ya'rifu al-wali illa wali (wali hanya diketahui oleh wali juga). Saya tidak tahu apakah kiai yang berkata kepada saya itu seorang wali. ''Kok bisa Kiai?'' tanya saya. ''Coba lihat, sekarang jamaah kalau ziarah Wali Songo tidak akan merasa lengkap dan sempurna kalau belum ziarah ke makam Gus Dur di Tebuireng. Jamaah saya juga seperti itu. Ini sudah berlangsung sejak Gus Dur 'pulang'.'' Bisa diterima. Tapi, pikir saya, bukankah selama ini jamaah yang ziarah Wali Songo juga ziarah ke makan-makam yang dikeramatkan lainnya. ''Memang iya. Selama ini, selain ziarah ke Wali Songo, jamaah ziarah ke makam-makam tokoh yang keramat seperti Syaikhuna Kholil di Bangkalan dan Syekh Asnawi di Caringin. Tapi, ziarah ke Gus Dur sudah keharusan,'' tambah kiai itu seperti bisa membaca jalan pikiran saya. Saya terdiam. Sejak Gus Dur wafat, kita memang menyaksikan kedahsyatan cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari itu. Orang tidak putus-putus mendoakan dan berziarah ke makamnya. Ekspresi kerinduan tidak sebatas doa dan ziarah, ada banyak kegiatan kebudayaan dan kesenian. Pengakuan terhadap ''kewalian'' Gus Dur tidak hanya datang dari kalangan muslim, tapi lintas agama. Umat lintas agama dan kepercayaan di Indonesia mendoakan Gus Dur. Karena itu, ada kawan saya yang bergurau, ''Jangan-jangan Gus Dur malah bingung memperoleh limpahan doa dari semua komunitas agama. Kalau semua doa itu dikabulkan, apa enggak bingung Gus Dur memilih tawaran surga-surganya?'' Percakapan tersebut semakin membuat rindu ini kepada Gus Dur tambah hebat. Kita benar-benar kehilangan sosok Gus Dur, tapi (semoga) tidak pernah kehilangan ajaran-ajarannya. Persoalan-persoalan yang kita hadapi sekarang ini sebenarnya juga sudah dialami Gus Dur, beliau telah merespons. Mulai soal Syiah di Sampang, kemarahan terhadap cuplikan film Innocence of Muslims yang dituding menghina Nabi, pelemahan KPK, hingga tragedi 1965. Soal Syiah, Desember 2007, ada rombongan yang dipimpin Ustad Muhammad bin Alwi dari Bangil datang kepada Gus Dur dan melaporkan intimidasi terhadap komunitas Syiah. Rumah Ustad Muhammad diserang. Pertemuan itu direkam untuk acara Kongkow Bareng Gus Dur. Gus Dur menolak kekerasan terhadap komunitas Syiah. Gus Dur juga menegaskan sisi-sisi ''persamaan'' antara NU dan Syiah. Menurut Gus Dur, ''NU itu Syiah kultural, NU itu Syiah tanpa imamah''. Gus Dur mengingatkan pada pujian yang sering dibacakan nahdliyin yang biasanya mengantar salat: Li khamsatun uthfi biha, harra al-waba' al-hathimah, al-Mushthafa wa al-Murtadla, wa ibnahuma wa al-Fathimah -Aku punya lima (ajimat) untuk memadamkan wabah panas dan bencana; mereka adalah al-Musthafa (Nabi Muhammad), al-Murtadla (Imam Ali ibn Abi Talib), kedua putra Ali (Imam al-Hasan dan al-Husein), dan Sayyidah Fatimah al-Zahra. Itulah rangkaian pertama Ahlul Bayt Nabi Muhammad Saw. Selepas Revolusi Iran 1979, Gus Dur pernah diundang pemerintah Iran untuk berkunjung. Gus Dur mengajak intelektual muslim muda saat itu: Jalaluddin Rakhmat. Menurut pengakuan Kang Jalal, ''Gus Dur yang diundang, tapi malah saya yang masuk Syiah''. Pulang dari Iran, Gus Dur membawa oleh-oleh Alquran yang diterbitkan pemerintah Iran. Gus Dur menunjukkan Alquran itu kepada masyarakat Indonesia untuk menepis keraguan bahwa Alquran Syiah berbeda dari Sunni. Pelemahan KPK juga terjadi pada 2009 yang dikenal dengan ''Cicak versus Buaya''. Gus Dur datang ke kantor KPK untuk memberikan dukungan langsung. Saya masih ingat, jarum infus masih melekat di tangan Gus Dur karena beliau dalam perawatan. Sekarang para aktivis antikorupsi malah mengingatkan kembali RUU KPK era Presiden Abdurrahman Wahid yang sangat mumpuni. Sekaligus ide Gus Dur yang ingin menjerat tikus pencuri uang rakyat dengan usul ''pembuktian terbalik''. Perjuangan Gus Dur melawan korupsi belum selesai. Soal penghinaan terhadap Nabi Muhammad, Gus Dur juga marah. Ingat kasus novel Ayat-Ayat Setan yang ditulis Salman Rushdie. Namun, bagi Gus Dur, ekspresi kemarahan tidak harus merusak dan melanggar hukum. Karena itu, Gus Dur menolak fatwa mati Ayatullah Khomeini terhadap Salman Rushdie. ''Saya baca Satanic Verses berulang-ulang, tapi tidak bisa mengurangi kemaran saya kepada Salman Rushdie. Saya melihat Salman Rushdie ingin masuk ke lingkaran elite sastrawan Inggris dengan cara mengolok-olok Nabi. Namun, fatwa mati padanya berlebihan,'' kata Gus Dur. Terakhir soal tragedi 1965. Sejak Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi pada Juli lalu, masalah ini kembali memanas. Padahal, sasaran Komnas HAM jelas: negara dan pemerintah. Sayangnya, ada provokasi rekomendasi itu diarahkan ke NU saja. Padahal, kalau mau fair, bukan hanya warga NU yang terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut. Sangat kentara rekayasa oleh rezim saat itu yang ''meminjam tangan'' ormas-ormas untuk memukul orang-orang yang dituduh terlibat PKI. Kini ada modus meminjam tangan NU lagi. Kalau dulu ''dipinjam untuk memukul orang'', kini tangan orang-orang NU mau dipinjam lagi untuk mencuci tangan-tangan kotor yang paling bertanggung jawab atas tragedi 1965. Sikap reaktif beberapa kalangan NU terhadap peristiwa 1965 justru merugikan NU dan meletakkannya pada pusaran serangan. Masih ingatkah saat Gus Dur meminta maaf atas peristiwa itu? Pramoedya Ananta Toer (korban 1965) menolak dengan keras. Justru setelah itu simpati mengarah kepada Gus Dur, sedangkan serangan dan cemoohan berbalik kepada Pram. Kita benar-benar rindu Gus Dur. Wallahu a'lam. ● |