Konservasi Tidak Mahal Riza Damanik ; Sekretaris Jenderal KIARA; Delegasi International Collective in Support of Fishworkers (ICSF) di COP XI UNCBD |
KOMPAS, 18 Oktober 2012
Bertempat di Hyderabad, India, selama 8-19 Oktober, berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi Keragaman Hayati XI. Masalah pendanaan masih menjadi salah satu penghambat upaya konservasi, padahal Indonesia punya model konservasi lokal yang murah dan berkelanjutan. Dua tahun lalu, pada KTT Keragaman Hayati (COP UNCBD) X di Nagoya, Jepang, dihasilkan Rencana Strategis Keragaman Hayati 2011-2020. Di antaranya, menargetkan hingga 2020 akan ada kawasan konservasi seluas 17 persen dari daratan dan 10 persen dari kawasan pesisir dan laut dunia. Namun, tingginya biaya konservasi serta meluasnya dampak krisis ekonomi disebut telah menghambat pencapaiannya. Sekretaris Eksekutif UNCBD Braulio Ferreira de Souza Diaz, seperti dikutip Harian Sunday Times of India (7/10), mengatakan bahwa krisis pendanaan akan menjadi isu yang sangat sulit. Namun, pihaknya berharap mampu mengikat sektor-sektor swasta—selain dari pemerintah—untuk mengatasi krisis. Laporan Panel Ahli UNCBD terkait Penilaian Pelaksanaan Rencana Strategis Keragaman Hayati 2011-2020 menyebutkan, untuk menjalankan program empat tahun saja, 2014-2018, butuh dana 74 miliar-191 miliar dollar AS. Dengan jumlah sebesar itu, konservasi menjadi industri baru yang dikendalikan pebisnis dan negara-negara industri. Misalnya, melalui pemberian subsidi untuk perluasan bisnis bahan bakar nabati, rekayasa genetik (tanaman transgenik), serta promosi kompensasi keragaman hayati (biodiversity offset). Murah Di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, 1.200 hektar ekosistem mangrove yang rusak akibat perluasan perkebunan sawit mulai direhabilitasi komunitas nelayan. Upaya sukarela ini muncul atas kesadaran pentingnya menjaga eksosistem mangrove. Baik untuk mencegah meluasnya banjir ke permukiman maupun upaya meningkatkan jumlah tangkapan ikan yang terus menurun. Di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pun begitu. Terumbu karang dijaga dengan kembali pada kearifan lokal bahwa terumbu karang adalah simbol suci keberlanjutan kehidupan manusia. Untuk itu, digalakkan lagi ajaran para orang tua untuk menjaga ekosistem terumbu karang serta menggunakannya sebagai ”mahar” pernikahan anak-anak mereka. Tak mengherankan jika terumbu karang di Wakatobi memiliki nama sama dengan komunitas setempat. Bahkan, di kampung Lamalera, Nusa Tenggara Timur, konservasi dimaknai pula sebagai jalan melindungi para janda, anak yatim piatu, dan fakir miskin. Sejak abad XIII, nelayan Lamalera punya keteladanan untuk mengambil (bukan berburu) ikan besar agar cukup untuk dibagi dengan para janda, anak yatim, bahkan seisi kampung. Mengambil ikan hanya dilakukan Mei hingga Oktober setiap tahun. Tentu, seluruh pengetahuan dan kearifan lokal tersebut tidak bebas dari perilaku menyimpang, baik oleh warga di dalam maupun dari luar kampung. Karena itu, tersedia pula sanksi sosial yang memberikan efek jera. Sanksi itu, misalnya, mereka yang melanggar diwajibkan membayar denda atau ditugasi merawat fasilitas sosial, seperti jalan dan rumah ibadah, dilarang melaut untuk waktu tertentu hingga paling keras dikeluarkan dari kampung melalui sumpah adat. Kembali pada Konvensi Konservasi seharusnya tidak mahal, bilamana pemerintah dan lembaga-lembaga internasional dapat melibatkan secara sungguh-sungguh masyarakat lokal dalam seluruh prosesnya. Dengan demikian, konservasi berubah menjadi tindakan kebudayaan yang bertumbuh pada etika, tata nilai, etos, moralitas, dan spritualitas sebagai pilar utama. Kami ingin mengingatkan kepada delegasi resmi Pemerintah Indonesia bahwa pesan tersebut sebenarnya telah disepakati dan tertuang dalam Keputusan Konvensi X/29 dari KTT X lalu. Juga dalam target 18 Rencana Aksi Keragaman Hayati 2011-2020. Isinya, mensyaratkan kepada setiap negara dan lembaga-lembaga internasional untuk melibatkan, bahkan mengadopsi pengetahuan tradisional, inovasi dan praktik relevan dari masyarakat adat dan lokal dalam kegiatan konservasi, selambat-lambatnya tahun 2020. Kini, delapan tahun sebelum 2020, berbagai kesepakatan itu belum efektif dijalankan, termasuk di Indonesia. Alangkah baiknya jika delegasi Indonesia dapat menjembatani ketimpangan ini dengan aktif mempromosikan kearifan tradisional dari nelayan dan masyarakat adat Indonesia dalam setiap proses perundingan di Hyderabad. Selanjutnya, setelah kembali ke Tanah Air segera mengakui, melindungi, dan mengadopsi kearifan tradisional dalam rencana kerja nasional. Semoga KTT kali ini berani menolak pembiayaan konservasi sebagai bisnis baru yang menguntungkan industri dan sebaliknya berpihak kepada rakyat yang melestarikan kearifan lokal. ● |