Selepas Lebaran, umat Islam Indonesia dikejutkan dengan serangkaian penggerebekan teroris dan ledakan bom di berbagai daerah; Solo, Bandung, Jakarta dan Depok. Akhir September silam pun, serangkaian penangkapan kepada para terduga teroris ramai menghiasai pemberitaan media. Sebuah pertanda yang jelas teroris Muslim masih gentayangan!?
Penggerebekan teroris di Solo (31/8/2012) yang disiarkan di beberapa stasiun televisi nasional, seakan-akan adegan film Hollywood yang biasa ditonton oleh masyarakat. Satu yang membedakannya, film Hollywood adalah rekayasa yang dibuat seolah-olah nyata, sementara penggerebekan teroris di Solo adalah nyata meski tidak lepas dari unsur rekayasa intelijen. Korban pun berjatuhan, satu dari pihak polisi dan dua dari pihak yang diduga teroris.
Selang sepekan berikutnya, umat dikejutkan lagi dengan penemuan bom rakitan setengah jadi, Rabu (5/9) di Jalan Teratai 7 Rt 02/04 Kelurahan Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Rikwanto, penemuan bom bermula saat warga melihat kepulan asap di rumah Iyot (60 tahun). Saat didatangi, warga terkejut melihat tergeletaknya sebuah benda yang diduga bom rakitan setengah jadi tersebut. Benda itu diduga milik Muhammad Toriq (32 Tahun), putra dari Iyot. Toriq diketahui telah meninggalkan lokasi. Rikwanto juga mengatakan, asap yang ditimbulkan bukanlah dari ledakan melainkan hasil dari reaksi kimia.
Selang beberapa hari kemudian, terjadi ledakan keras di sebuah rumah yang dimiliki Yayasan Yatim Piatu Pondok Bidara di Jalan Nusantara Raya, Beji, Depok (Sabtu (8/9/2012). Ledakan itu dipastikan berasal dari bom yang meledak di dalam bangunan pondok. Tiga orang mengalami luka dari kejadian tersebut, dua orang luka ringan, sedangkan seorang lainnya luka berat. Sesudah terdengar ledakan, warga yang mendatangi tempat tersebut melihat dua orang berlari keluar dari rumah yang jadi kantor yayasan itu. Bukan hanya dua pria saja yang dilihat warga kabur dari lokasi ledakan. Tetapi sebuah mobil pun terlihat langsung tancap gas dari lokasi kejadian begitu ledakan mengguncang. Mobil yang diidentifikasi berjenis Kijang warna hitam itu, mengangkut sejumlah orang.
Dari oleh TKP, Polisi menemukan secarik surat wasiat yang ditujukan kepada ibu, istri dan anaknya, bahwa sang penulisnya sedang mencari ridla Allah di surga.????????????????????????????
Akhir September silam, sampai tulisan ini diturunkan 11 orang terduga teroris diciduk dari tempat yang berbeda-beda; Solo, Sukoharjo, dan Kalbar. Dari para terduga teroris tersebut polisi menemukan bom yang siap diledakkan, bom setengah jadi, dan bahan-bahan kimia yang diduga akan dijadikan bahan peledak. Tidak luput pula buku-buku tentang jihad ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP).
Teroris Muslim!?
Pertanyaan yang selalu muncul kemudian adalah :
Benarkah mereka muslim yang teroris?
Benarkah mereka adalah muslim yang meyakini bahwa Islam mengajarkan teror?
Apakah Islam memang mengajarkan teror?
Atau apakah mereka sebenarnya teroris ciptaan intelijen untuk mencoreng citra Islam?Fakta bahwa mereka adalah teroris yang diciptakan oleh pihak-pihak tertentu memang belum ditemukan atau mungkin tidak akan ditemukan. Hanya jika berkaca pada kasus kelompok ekstrem Komando Jihad (Koji) yang berhasil membajak pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan sebutan Peristiwa Woyla pada 28 Maret 1981 dan ternyata itu ciptaan intelijen di bawah rezim Ali Moertopo, umat Islam berhak untuk menaruh curiga bahwa serangkaian aksi terorisme ini merupakan ciptaan intelijen juga.
Akan tetapi di samping itu, umat Islam mesti instrospeksi diri juga terhadap aktivitas dakwah dan pendidikan yang selama ini dijalani. Sebab walau bagaimanapun keberadaan orang-orang yang berpaham terorisme itu benar-benar ada dan merupakan sebuah fakta. Terlepas apakah itu disebabkan mereka boneka para intelijen, ataukah mereka orang-orang awam yang terjerembab pada perangkap intelijen. Yang jelas keberadaan mereka yang berpaham terorisme itu benar adanya.
Ketika peristiwa bom Bali 2005 di pantai Kuta menimbulkan perdebatan tentang apakah itu ciptaan intelijen asing ataukah memang ada sekelompok muslim yang teroris, umat Islam dihentakkan dengan kenyataan bahwa Imam Samudra cs dengan lugunya menulis buku “Aku Melawan Teroris” yang berisi penuturannya akan paham teror yang menurutnya bagian dari jihad. Ia secara jujur mengakui bahwa bom Bali dibuat dan diledakkan oleh timnya sebagai bagian dari jihad fi sabilillah.
Pada Desember 2005, majalah RISALAH pernah sengaja menemui Abu Bakar Ba’asyir di Rutan Cipinang, Jakarta, untuk mengkonfirmasi apakah Dr. Azahari dan Nordin M. Top itu orangnya memang ada dan berpaham terorisme ataukah hanya sekedar ciptaan intelijen. Abu Bakar Ba’asyir dengan tegas menjawab ada dan mereka memang berpaham terorisme. Mereka berpendapat bahwa jihad dengan senjata harus dilakukan di Indonesia. Padahal menurut Ba’asyir, penggunaan senjata itu hanya boleh dilakukan di wilayah perang seperti Palestina. Di Indonesia yang masuk wilayah bukan perang, harus tetap menggunakan dakwah (wawancara Risalah No. 10 Th. 43 Januari 2006, hlm. 30-33). Keduanya merupakan buronan no. 1 polisi sepanjang 2005-2009 sampai akhirnya mereka tewas dalam sebuah serbuan polisi. Azahari tewas pada 9 November 2005 di Malang, Jawa Timur, sementara Nordin M. Top pada 17 September 2009 di Solo, Jawa Tengah.
Demikian juga, setahun yang lalu Mohammad Syarif meledakkan dirinya dengan sebuah bom pada saat shalat Jum’at di masjid Mapolresta Cirebon, adz-Dzikra, tepatnya 15 April 2011. Menurut pengakuan sang ayah, Syarif memang sudah lama berkeyakinan bahwa polisi kafir, pemerintah RI kafir, bahkan ayahnya pun kafir, sehingga darah mereka semuanya halal. Selang beberapa hari kemudian ditemukan video pengakuan dirinya sebelum peledakan bom bunuh diri dilakukannya, dan langkah itu menurutnya merupakan sebuah jihad.
Jika surat wasiat yang ditemukan di Beji, Depok, tentang penuturan kejujuran akan melakukan aksi terorisme itu benar adanya, berarti semakin menambah panjang daftar muslim yang berpaham terorisme dengan mengatasnamakan jihad.
Jihad Bukan Teror
Padahal jihad dalam arti menggunakan senjata atau perang adalah sebuah amal mulia yang sasarannya orang-orang kafir dan munafiq. Itupun mereka yang tidak terikat perjanjian untuk hidup damai bersama kaum muslimin (kafir mu’ahad). Sebab sebagaimana dititahkan Allah swt dalam QS. at-Taubah [9] : 4, orang-orang kafir haram dibunuh selama mereka memenuhi perjanjiannya. Nabi saw juga sudah menegaskan: Siapa yang membunuh kafir mu’ahad maka ia tidak akan mencium wanginya surga. Padahal wanginya akan tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (Shahih al-Bukhari kitab al-jizyah bab itsmi man qatala mu’ahadan bi ghairi jurmin no. 1366).
Dengan kata lain kekerasan menggunakan senjata hanya bisa digunakan di wilayah perang dan lawannya adalah orang kafir yang memerangi Islam atau ada potensi untuk memerangi Islam disebabkan berlum terikat perjanjian. Dalam kondisi perang seperti itupun, Nabi saw tetap melarang menghancurkan bangunan, tempat ibadah, merusak pepohonan, membunuh anak-anak, wanita, orang tua dan warga sipil lainnya yang tidak terlibat perang. Rambu-rambu jihad seperti ini mudah ditemukan di kitab-kitab fiqih atau kitab-kitab hadits dalam bab “jihad”.
Lebih tidak dibenarkan lagi jika sasaran bom itu sendiri adalah kaum muslimin. Nabi saw dengan tegas menyatakan: Barangsiapa yang menghunuskan pedangnya kepada kami (umat Islam), maka ia bukan bagian dari kami (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabi saw man hamala ‘alainas-silah fa laisa minna no. 6543-6544). Batasan dari “Islam/Muslim” itu sendiri sungguh jelas; mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat dan menunaikan zakat. Firman Allah swt: Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan (tidak boleh ditangkap/dibunuh) (QS. at-Taubah [9] : 5). Kepada shahabat yang pernah membunuh seseorang yang asalnya musuh tapi kemudian mengucapkan syahadat, Nabi saw marah besar dan melarangnya untuk bertindak ceroboh seperti itu lagi (Shahih al-Bukhari kitab al-maghazi bab ba’tsin-Nabiy Usamah ibn Zaid ilal-Huraqat min Juhainah no. 4269, 6872). Umat Islam di Indonesia; mulai dari Presidennya sampai sebagian besar pejabatnya, dan polisinya, jelas masih berstatus muslim. Mengarahkan senjata (bom) kepada mereka jelas sebuah kekeliruan.
Dasar pikiran bolehnya membunuh sesama muslim tersebut biasanya adalah keyakinan bahwa orang muslim dimaksud sudah kafir karena tidak menegakkan hukum Allah swt. Paham meyakini orang muslim yang diduga tidak menegakkan hukum Allah sebagai orang kafir jelas merupakan paham yang sesat. Sebab, identitas kekafiran tidak ditentukan dari sana, melainkan dari pembangkangannya untuk syahadat, shalat dan zakat (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab wujub az-zakat no. 1399). Tiga kriteria inilah yang menyebabkan seseorang bisa divonis sebagai kafir harbi (kafir yang layak diperangi). Itupun jika jelas mereka tidak mau hidup bersama dalam sebuah ikatan perjanjian (kafir mu’ahad). Muslim yang tidak menegakkan hukum Allah swt, bukan kafir harbi, tetapi kafir ‘amali (kufur amal) yang tidak jauh berbeda dengan fasiq dan zhalim (lihat QS. al-Ma`idah [5] : 44, 45 & 47. Allah swt tidak hanya menyebutkan kafir, tapi juga zhalim dan fasiq).
Paham meyakini orang muslim yang diduga tidak menegakkan hukum Allah sebagai orang kafir pernah dianut oleh Khawarij yang para shahabat sudah sepakat menilainya kafir, karena Khawarij menuduh para shahabat, khususnya ‘Ali ibn Abi Thalib, kafir disebabkan dinilai tidak menyerahkan hukum kepada Allah swt. Padahal yang benar, ‘Ali tetap muslim dan teguh dalam menegakkan hukum Allah swt. Tetapi Khawarij itulah yang terlalu cepat memvonis tanpa analisa naqli dan aqli yang mendalam.
Ajaran Islam sudah menyatakan bahwa siapa yang menuduh muslim kafir, kekafirannya kembali kepada yang menuduhnya. Sabda Nabi saw: Siapa saja yang menyebut kepada saudaranya: Hai Kafir, maka sungguh telah kena hal itu kepada salah seorang dari mereka. Jika memang benar apa yang dikatakan itu, maka benar, dan jika tidak, maka kekafiran itu kembali pada yang mengatakannya (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan hal iman man qala li akhihil-muslim ya kafir no. 225).
Terlepas dari ketersesatan sebagian muslim dalam paham terorisme ini, umat Islam secara keseluruhan mesti mengevaluasi kembali pola dakwah dan pendidikan yang selama ini telah dijalankannya. Sudah sejauh mana fiqih jihad ini diajarkan dengan benar, baik itu di lembaga pendidikan formal atau majelis-majelis non-formal. Di samping itu, jangan sampai dialog dengan metode terbaik (jadilhum bil-lati hiya ahsan) kepada kelompok-kelompok muslim seperti ini diabaikan, dan malah cenderung melakukan pembiaran karena terlanjur menilai mereka sesat. Wal-‘Llahu a’lam.
[sumber;pemikiranislam.net]