Siapa Pelindung Wartawan? S Sahala Tua Saragih ; Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom Universitas Padjadjaran |
MEDIA INDONESIA, 20 Oktober 2012
SEORANG prajurit TNI-AU mengejar dan menghajar siapa pun wartawan yang berusaha mengambil gambar pesawat Hawk yang jatuh, Selasa (16/10), di Kampar, Riau. “Mereka begitu kasar dan beringas. Muka saya ditinju hingga bengkak di bawah mata sebelah kanan,“ ujar Robby Fahrianto, kamerawan Riau Televisi (Media Indonesia, 17/10). Didik Herwanto, fotografer koran Riau Pos, bahkan diringkus layaknya maling oleh Letkol Robert Simanjuntak. Adegan seram itu disaksikan warga masyarakat Desa Pandau Jaya, Kampar, Riau, termasuk para siswa sekolah dasar (SD) yang sedang pergi ke sekolah (foto halaman 1 Media Indonesia, 17/10). Tragedi tersebut tampak sangat jelas terpampang di layar berbagai stasiun televisi, yang menyiarkannya berulang-ulang. Para wartawan itu jelas bukan sedang meliput perang atau perkelahian massal antarkelompok. Mereka meliput kecelakaan pesawat tempur belaka, yang sama sekali tak mengandung konflik. Akan tetapi, para perwira TNI-AU itu tampaknya menganggap kecelakaan itu sebagai aib besar bagi korps mereka. Karena itu, mereka melakukan segala cara untuk mencegah para war tawan yang sedang melaksanakan tugas pokok mereka. Tindakan kurang patut mereka itu justru semakin merusak citra TNI-AU sendiri. Pesawat yang jatuh itu pastilah dibeli dengan menggunakan uang rakyat. Tanpa diperintah siapa pun, wartawan pastilah segera meliput peristiwa demikian. Itu bukan semata-mata karena pesawat tersebut milik TNI-AU, milik rakyat, juga bukan karena naluri alamiah wartawan belaka, melainkan wartawan memang wajib melaksanakan isi mandat yang mereka terima secara sosiologis dari masyarakat, yakni hak tahu dan hak memberitahukan. Tampaknya para perwira itu tak pernah belajar dunia jurnalisme, terutama yang menyangkut hak dan kewajiban wartawan. Mereka juga mungkin tidak mengetahui dengan pasti untuk apa dan siapa para wartawan bekerja keras. Dalam tahun ini saja tak terhitung berapa banyak wartawan Indonesia yang sedang melaksanakan tugas menjadi korban penganiayaan, baik yang dilakukan polisi, militer, maupun warga masyarakat. Setiap kali tragedi demikian terjadi, kita kembali bertanya, apakah wartawan tergolong profesi yang dilindungi secara hukum? Undang-undang apa atau hukum mana yang melindungi wartawan dalam melaksanakan hak dan kewajibannya? Siapakah penegak hukum yang secara hukum wajib melindungi wartawan ketika melaksanakan profesinya? Prof Dr Bagir Manan, ahli hukum tata negara di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dan mantan Ketua Mahkamah Agung, kini Ketua Dewan Pers, pernah mengemukakan profesi wartawan di Indonesia harus terlindungi secara profesional karena tugas mereka membawa kepentingan rakyat dan mengemban misi demokrasi. “Saya ini lama menjadi hakim karier dan merasakan profesi hakim berada di posisi yang tidak menyenangkan dalam menjalankan tugasnya. Kini selama menjadi Ketua Dewan Pers, saya merasakan profesi wartawan dalam menjalankan tugasnya lebih tidak menyenangkan,“ ujar Bagir Manan, beberapa waktu lalu. Belum Jaminan Membaiknya industri pers di Tanah Air dalam era reformasi ini ternyata belum dibarengi jaminan keamanan wartawan dalam menjalankan profesinya. Masih ada wartawan di negeri ini yang tewas terbunuh saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Ironis. Yang lebih ironis lagi, tewasnya wartawan saat menjalankan tugas jurnalistiknya sama sekali tidak mendapatkan perhatian penuh dari pejabat negara ataupun DPR, kata Bagir pula. Pernyataan Ketua Dewan Pers tersebut bertolak belakang dengan situasi dan harapan kita 13 tahun silam. Tentu masih segar dalam ingatan kita betapa gembiranya masyarakat, terutama masyarakat pers, ketika Presiden BJ Habibie dan DPR menerbitkan UU No 40/1999 tentang Pers (UU Pers). Rasa sukacita yang meluapluap itu berlanjut ketika Presiden Megawati Soekarnoputri dan DPR menerbitkan pula UU No 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Euforia tersebut mudah dipahami. Sebelumnya, selama hampir 32 tahun, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto, kebebasan pers sangat dikekang. Tak terhitung jumlah media massa yang diberangus penguasa. Padahal, waktu itu UU Pers (Nomor 11/1966) sebenarnya melarang sensor karya wartawan dan pemberedelan media massa, sama dengan UU Pers sekarang. Akan tetapi, apa yang terjadi setelah 13 tahun UU Pers yang sangat liberal itu diberlakukan? Industri pers bagaikan banjir bandang. Tiba-tiba banyak orang yang merasa atau sok mampu dan pintar dalam dunia kewartawanan. Ada yang bahkan masih buta huruf nekat menjadi wartawan. Bila pada zaman Soeharto terkenal ungkapan `pers bebas dan bertanggung jawab' (maksudnya bertanggung jawab kepada penguasa alias pemerintah), pada era rezim orde reformasi kini terkenal pula ungkapan `ada pers bebas dan tidak bertanggung jawab'. Perlu Perlindungan Ungkapan sinis itu muncul karena banyak orang hanya dengan modal nekat menjadi wartawan dan/atau pengusaha pers atau media. Atas nama hak asasi manusia dan kebebasan pers, mereka terjun bebas ke dunia yang tampak sangat menggiurkan itu. Celakanya, dunia pers atau wartawan mereka artikan dan lakoni sebagai pekerjaan atau cari makan belaka. Sebagian di antaranya menghalalkan segala cara demi tujuan konkret (uang). Wartawan tidak mereka pahami dan lakoni sebagai profesi, yang diikat berbagai UU dan kode etik profesi. Lalu apa dampak buruknya? Di mata sebagian orang, ter utama para pejabat, petugas keamanan (polisi dan militer), serta pengusaha yang masih `berdarah' rezim Orba, citra wartawan (pers) dan media semakin lama semakin buruk. Mereka menganggap banyak wartawan yang benar-benar ngawur. Oleh karena para penegak hukum (Polri, jaksa, dan hakim) serta Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak terandalkan untuk menegakkan hukum (terutama UU Pers dan UU Penyiaran) dan Kode Etik Wartawan/ Jurnalistik, tidak sedikit orang yang main hakim sendiri. Dari tahun ke tahun penganiayaan terhadap wartawan terus meningkat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Siapa para pelakunya? Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 2005, pada 1999-2005 yang melakukan kekerasan terhadap wartawan dan pengusaha media ialah anggota Polri, aparatur pemerintah, anggota TNI, anggota DPR dan DPRD, jaksa, dan warga masyarakat atau massa. Tak perlu lagi dijelaskan di sini fungsi serta peran penting dan besar pers dalam sebuah negara demokratis. Hal yang menjadi pertanyaan pokok sekarang, siapa seharusnya yang melindungi wartawan sungguhan (bukan wartawan abal-abal) ketika melaksanakan tugas profesional mereka? Perusahaan tempat mereka bekerjakah? Dewan Pers dan/atau KPI-kah? Polri-kah? Pemerintahkah? Memang betul, Pasal 8 UU Pers menegaskan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Namun, hukum atau UU yang mana melindungi wartawan? UU Pers tak menjelaskannya. Dalam Pasal 18 (ayat 1) UU Pers memang dinyatakan bahwa setiap orang yang menghambat pelaksanaan kegiatan jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. Apakah isi pasal itu pernah dilaksanakan? Tidak pernah. Kita masih ingat, pada 28 April 2008 Dewan Pers mengeluarkan sebuah peraturan bagus tentang standar perlindungan profesi wartawan. Dalam peraturan itu dinyatakan bahwa wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Lalu Dewan Pers menerbitkan Standar Perlindungan Profesi Wartawan berisi sembilan butir keputusan yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistiknya, karya jurnalistik, hingga persoalan publikasinya. Sayangnya, keputusan Dewan Pers itu macan kertas belaka. Sudah saatnya segenap jajaran pers segera bersatu padu menyusun RUU Profesi Wartawan yang isinya antara lain melindungi wartawan dalam melaksanakan kewajiban dan haknya. Berbagai profesi lain, antara lain guru dan dosen, dokter, pengacara, hakim, dan jaksa, sudah lama memiliki undang-undang profesi. ● |