Demokrasi yes, parpol no Firman Noor ; Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI; Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI |
SINDO, 17 Oktober 2012
Beberapa waktu lalu Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melansir hasil temuan penelitian survei mengenai persepsi masyarakat Indonesia atas demokrasi. Proses survei itu dilakukan sekitar dua pekan dengan melibatkan 1.700 responden dari seluruh Indonesia. Salah satu temuan penting dari survei LIPI ini adalah sikap positif masyarakat Indonesia terhadap demokrasi. Dari responden yang diwawancarai hanya dua persen saja di antara mereka yang beranggapan bahwa sistem demokrasi dengan ide “kedaulatan rakyat” adalah sistem yang buruk. Sekitar 79 persen responden melihat bahwa sistem pemerintahan demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lebih baik dibanding sistem pemerintahan lainnya. Bahkan 7 persen di antaranya meyakini bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik. Sejalan dengan pandangan itu, 55 persen responden menyatakan bahwa demokrasi cocok bagi bangsa Indonesia dan hanya 7 persen saja yang memandangnya tidak sesuai bagi bangsa. Dari sepenggalan temuan hasil survei tersebut dapat dikatakan bahwa daya dukung masyarakat Indonesia terhadap demokrasi cukup memadai. Kekhawatiran akan masih cukup kuatnya dukungan atas sebentuk pemerintahan yang berkarakter otoriter— sebagaimana yang diasumsikan telah menjangkiti masyarakat karena dianggap telah membawa beberapa capaian positif di masa lalu—melalui survei ini, ternyata tidak terbukti. Meski dari survei ini juga terungkap bahwa sebagian besar responden mengakui ada berbagai titik lemah demokrasi, seperti cenderung menyulitkan pelaksanaan pembangunan ekonomi dan menciptakan konflik sesama anak bangsa, namun temuan mengindikasikan bahwa mayoritas responden tidak melihat sistem di luar demokrasi sebagai pilihan yang lebih baik dan cocok bagi mereka. Tampaknya pandangan filosof Inggris, Thomas Hobbes, bahwa adanya serba-ketidakpastian politik merupakan legitimasi bagi segera munculnya sebuah negara absolut (Leviathan), kurang relevan dalam kasus masyarakat kita. Hasil survei LIPI ini justru dapat ditafsirkan sebagai sebuah peringatan akan potensi besar kegagalan bagi siapa pun yang mencoba untuk mengedepankan ide-ide dan prilaku politik otoriter. Selain itu, kekhawatiran bahwa demokrasi dengan asas kedaulatan rakyat akan dipahami, terutama oleh umat Islam, sebagai tantangan atas “kedaulatan Tuhan” (atau hukum Tuhan) juga tidak terdukung oleh survei ini. Sebaliknya survei ini mengindikasikan bahwa cita-cita demokrasi yang mengedepankan asas kedaulatan rakyat dapat diterima oleh sebagian besar warga di negara yang berpenduduk mayoritas bergama Islam ini. Paradoks Hal menarik lain dari temuan survei LIPI yang patut diperhatikan adalah adanya tren negatif persepsi masyarakat kita terhadap eksistensi parpol. Survei ini memperlihatkan 41,8 persen responden menyatakan dengan jelas bahwa kepentingan mereka merasa tidak terwakili oleh partai politik. Hanya 48,3 persen yang menyatakan kepentingan mereka terwakili oleh partai politik. Jumlah yang hampir berimbang ini menunjukkan bahwa secara umum masih cukup besar jumlah masyarakat yang merasakan adanya jurang antara kepentingannya dan kepentingan partai. Lebih dari itu, survei ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 23 persen masyarakat yang masih percaya pada parpol. Kondisi ini cukup menyedihkan mengingat keberadaan parpol sebagai sebuah institusi yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat ternyata justru dipandang sebagai “elemen asing yang tidak bisa dipercaya” oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Sikap responden itu memperlihatkan, meski demokrasi secara umum dipandang positif, tidak demikian dengan partai politik. Kepercayaan yang cukup tinggi masyarakat terhadap demokrasi ternyata tidak diikuti oleh kepercayaan atas partai politik. Dalam kaitannya dengan dukungan terhadap demokrasi, kondisi ini jelas merupakan sebuah paradoks. Hasil survei ini sesungguhnya tidak berbeda jauh dengan berbagai survei yang telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa lembaga survei atau penelitian, yang mengindikasikan tren rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai. Tren semacam ini ternyata tidak khas Indonesia. Di Bangladesh, misalnya, muslim merupakan mayoritas, sistem politik sekuler di sana mempraktikkan demokrasi secara relatif genuine, tapi situasinya hampir mirip juga. Di negara itu, berdasarkan hasil survei pada 2011 yang dilansir oleh Shompriti Forum dengan judul “Democracy Perception Survei” sekitar 76 persen responden menyatakan demokrasi adalah sistem politik terbaik, dan 79 persen menyatakan dukungan terhadap demokrasi. Namun, survei itu juga menunjukkan bahwa hanya sekitar 31 persen responden yang berpandangan positif terhadap partai politik. Peringatan terhadap Partai Sinisme terhadap parpol bisa jadi memang telah makin merasuk dalam berbagai segmen masyarakat. Dari berbagai pengalaman penelitian yang telah penulis lalui ide ini muncul tidak saja di kalangan awam, namun juga kalangan mahasiswa, akademisi, pengusaha hingga birokrat. Ide menghidupkan demokrasi tanpa parpol tak dapat dimungkiri makin berkembang diwacanakan mulai di ruang-ruang kelas perkuliahan hingga percakapan warung kopi. Tren ini seolah mengisyaratkan bahwa ide demokrasi tanpa partai politik bukan lagi sesuatu yang aneh. Dalam kenyataannya, meski bertolak belakang dengan pandangan kebanyakan ilmuwan politik yang meyakini “kebutuhan alamiah” demokrasi atas partai politik (Linz dan Stephan, 1996), kondisi demokrasi tanpa parpol memang telah dipraktikkan di masa modern saat ini. Kasus di Porto Alegre, Brasil, misalnya,memperlihatkan bahwa ide semacam itu secara substansi bisa berjalan. Di wilayah yang dulu termasuk daerah paling miskin di Brasil, warga Porto Alegre mengimplementasikan model demokrasi permusyawaratan langsung (deliberative democracy) yang secara sistematis melibatkan secara langsung masyarakat dan menyingkirkan peran partai dalam pembuatan kebijakan. Model ini telah tidak saja terbukti dapat dipraktikkan, namun pula terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan bagi warganya. Kasus Porto Alegre ini seharusnya menjadi catatan bagi siapa saja bahwa ke depan peran partai politik bukan tidak tak tergantikan, setidaknya pada level pemerintahan lokal. Lepas dari itu,kecenderungan sikap antipartai di antara pendukung demokrasi jelas merupakan cerminan bahwa performance partai politik masih belum meyakinkan di mata masyarakat. Untuk itu jelas diperlukan sebuah upaya besar parpol untukmembalikkansituasi ini. Salah satunya adalah dengan meningkatkan komitmen dan kualitas kader-kader partai dalam menunjukkan keberpihakan mereka terhadap kepentingan dan aspirasi masyarakat dan mengawal kepentingan itu hingga pada level yang bisa dilakukan oleh sebuah partai. Sudah saatnya karier seorang kader partai lebih banyak ditentukan oleh kiprahnya di masyarakat, bukan semata oleh kecerdikannya meyakinkan kolega di internal partai untuk terus mendukung dan melindunginya. ● |