Sabtu, 20 Oktober 2012

Ritus Napak Tilas Kemanusiaan



Ritus Napak Tilas Kemanusiaan
Abu Su’ud ; Guru Besar Emiritus Unnes, Guru Besar IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 20 Oktober 2012



"Ibadah haji kehilangan makna asli, yakni penghayatan semua riwayat pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim"

SEPULANG menunaikan ibadah haji kali pertama tahun 1980-an, saya menulis di Panji Masyarakat, menggunakan istilah ’’napak tilas’’ untuk mewartakan perjalanan tersebut. Setelah artikel terbit, banyak orang mengkritik, dan mengatakan itu upaya desakralisasi. Namun setelah banyak media cetak menggunakan istilah itu, lambat laun tidak ada lagi yang berkeberatan.

Dalam Surah Al-Hajj 27-28 Allah berfirman, ’’Panggillah manusia untuk berhaji supaya mereka menyaksikan berbagai hal yang bermanfaat, dan menyebut asma Allah pada hari-hari tertentu...’’

Saya perlu menegaskan tiga hal yang terkait dengan ayat tersebut. Pertama; berhaji adalah panggilan Allah. Pengertian panggilan dalam konteks ini sama seperti panggilan shalat. Ada yang mendengar azan namun karena belum atau tidak merasa terpanggil, ia belum atau tidak shalat. Ada juga yang memenuhi panggilan itu. Demikian juga dengan panggilan untuk berhaji.

Lebih dari itu, semua tahapan dalam ibadah haji harus bisa memenuhi syarat terpenting, yaitu tidak ada halangan atau hambatan untuk menjalani. Seandainya seseorang tidak bisa menjadi haji atau gagal berhaji, itu bukan karena tak ada panggilan Allah melainkan berbagai faktor yang lebih bersifat lahiriah.

Membicarakan kegagalan melaksanakan atau menggapai sesuatu, semisal gagal berwisata ke Amerika atau gagal menjadi bupati, bukan karena semata-mata takdir. Hakikatnya apa pun yang terjadi memang karena takdir Ilahi, namun secara lahiriah pasti ada faktor yang menjadi penyebab utama. Lalu ketika ada orang gagal berkunjung ke Amerika atau gagal dalam pilbup, mengapa kita tidak berbicara tentang panggilan, sebagaimana dalam panggilan shalat?

Pergeseran Motivasi

Hal penting kedua adalah untuk tujuan apa orang berhaji. Secara harfiah kata haji berarti bepergian untuk maksud tertentu. Dalam Alquran ada ayat yang menjelaskan bahwa karena (memenuhi panggilan) Allah jualah manusia berkunjung ke Rumah Allah (Baeti). Lalu, untuk apa? Secara eksplisit Allah menekankan untuk menyaksikan berbagai hal yang bermanfaat.

Pertanyaan selanjutnya, di Tanah Suci calhaj  bisa melihat apa saja yang bermanfaat baginya? Secara tersurat adalah Hijjul Baeti, mengunjungi Baitullah, yang berlokasi di Bakkata (Makkah), tempat yang diberkati Allah dan merupakan tengara alam. Kemudian, maqom (bekas telapak kaki) Nabi Ibrahim tatkala mengawasi pembangunan Baitullah, dan Masjidil Haram, kompleks masjid tempat Kakbah berdiri dan terdapat sumur berair zamzam.

Adapun yang tersirat, adalah Jamarat (tempat pelemparan jamrah atau batu kecil), lokasi sya'i antara bukit Shafa dan Marwa, sumur zamzam, dan padang Arafah. Itu semua merupakan monumen yang berkaitan dengan perjalanan hidup Nabi Ibrahim, Ibu Hajar, dan Nabi Ismail.

Begitu tempat-tempat itu menjadi lokasi ritus atau nusuk, proses menyaksikan monumen sejarah kemanusiaan tersebut menjadi berubah. Perjalanan ibadah haji kemudian dimaknai sebagai rangkaian ritus, bahkan ada yang menganggap napak tilas perjalanan kemanusiaan.

Doa Baku

Ikutannya adalah calhaj terperangkap dalam kegiatan membaca doa dan bacaan zikir, yang semua diperoleh dari buku tuntunan haji, serta tidak lagi untuk menyaksikan hal-hal yang bermanfaat dan menghayati semua kejadian di balik sejumlah monumen sejarah itu.

Tugas pembimbing manasik haji betul-betul hanya membimbing manasik, atau ritualnya. Kita lupa bahwa sejak awal berhaji adalah ibadah fisik semata, tanpa ada bacaan baku seperti dalam shalat. Ibadah haji berubah menjadi rentetan ’’bacaan doa yang baku’’, sampai ada perusahaan mengiklankan teknologi yang bisa menghafal semua doa ritus haji.

Saat ini, lengkaplah sudah ibadah haji menjadi  kehilangan makna asli, yakni mencoba menghayati semua riwayat pengorbanan keluarga Nabi Ibrahim, penuh keprihatinannya seorang Hajar, cinta kasih seorang Ibrahim, keberanian seorang Ismail, dan ketakwaan mereka semua.

Sementara perjalanan ke lokasi bersejarah pada zaman Nabi Muhammad tetap dipandang sebagai ziarah, bukan manasik. Mengingat jamaahnya tidak terlalu banyak maka dapat dilakukan penjelasan seperti dilakukan oleh pemandu, ketika berziarahi di Masjid Nabawi, Masjid Quba, Masjid Qiblatain, Bukit Uhud atau pusat perbelanjaan.

Yang ketiga, pada bagian akhir tulisan ini, saya nukilkan sebuah hadis tentang motivasi menunaikan ibadah haji. ’’Akan datang suatu masa, ketika umat manusia menunaikan haji, bagi hartawan atau ulama agar terpandang (li turhah), bagi orang kebanyakan untuk berbisnis (li tijaroh), bagi sebagian besar orang agar mendapat pujian (li riya') dan kondang (li sum'ah) , dan bagi para fakir untuk meminta-minta  (li masalah). Begitu diberitakan oleh Imam Nasa'i dan Imam Turmudzi.

Kalau kita cermati, tampaknya masa yang diprediksi oleh Nabi telah tiba. Bahkan sekarang ada tambahannya, yaitu untuk menipu atau mencuri harta calon haji. ●

◄ Newer Post Older Post ►