|    Mitos Produk   Rekayasa Genetik Tejo Wahyu Jatmiko ;  Koordinator Aliansi untuk Desa   Sejahtera;  Berfokus pada Isu Pangan dan Pedesaan  |  
KORAN TEMPO, 15 Oktober 2012
|    "Produk   Rekayasa Genetik Sebagai Realitas Dunia", demikian judul kolom Agus   Pakpahan, Ketua Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKHPRG), di   Koran Tempo edisi 2 Oktober 2012. Dilihat dari tata waktu, tulisan tersebut   merupakan reaksi dari berita yang muncul di media dua minggu terakhir ini.   Dengan seluruh data dan referensi, Agus mencoba menjelaskan soal keputusan   KKHPRG yang meloloskan keamanan pakan jagung transgenik Bt Mon dan RR.   Intinya bahwa semua itu sebuah keniscayaan, realitas yang tidak bisa   dihindari.  Penggambaran   kedigdayaan produk rekayasa genetik (PRG) demikian terperinci, mulai   perkembangan luas, dampak ekonomi, hingga alasan ilmiah mengapa PRG harus   diterima. Termasuk di dalamnya menggunakan Uni Eropa sebagai penguat alasan,   karena selama ini mereka dianggap sebagai penentang. Bangunan logika tersebut   menggiring kesimpulan bahwa, apabila Indonesia tidak menggunakannya, kita   akan menjadi bangsa yang tidak punya ketahanan pangan yang kuat, kualitas   lingkungan yang hebat, berkecukupan energi, dan mempunyai petani yang   sejahtera. Benarkah demikian? Untuk melihat secara kritis, ada baiknya pesan   Sukarno, Presiden RI pertama, dihayati. "Jangan sekali-kali melupakan   sejarah (Jas Merah)."  Lebih dari 10   tahun silam negeri ini pernah diberi kado istimewa oleh Menteri Pertanian   Bungaran Saragih. Pada 7 Februari 2001, Menteri Pertanian mengeluarkan SK   Nomor 107/ Kpts/ KB.403/2/2001 tentang pelepasan secara terbatas kapas PRG Bt   DP 5690 B sebagai Varietas Unggul dengan Nama NuCOTN 35B (Bollgard). Perlu   juga dicatat bahwa, saat itu, Agus Pakpahan merupakan Direktur Jenderal   Perkebunan yang bertanggung jawab dalam urusan peningkatan produksi   perkebunan, termasuk kapas di dalamnya. Surat keputusan ini mendapat   perlawanan dari organisasi non-pemerintah (ornop), karena dianggap   tergesa-gesa lantaran tidak melalui pengujian serta melanggar Undang-Undang   Lingkungan Hidup.  Perdebatan   yang muncul dalam diskusi publik ataupun media akhirnya berpindah ke jalur   pengadilan. Lebih dari tiga tahun keputusan Menteri Pertanian tersebut diuji,   mulai di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,   sampai kasasi di Mahkamah Agung. Persidangan ini menarik, karena masuknya   intervensi perusahaan dan petani, sehingga posisi satu lawan tiga, antara   ornop di satu pihak dan pemerintah, Monagro Kimia sebagai investor dan petani   yang pro-PRG di pihak lain. Hasilnya, sudah dapat diduga, gugatan ornop   dikalahkan.  Fakta dan   putusan persidangan bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. Dampak   lingkungan, termasuk di dalamnya sosial, ekonomi, dan budaya dari   komersialisasi kapas PRG yang didalilkan oleh ornop, terbukti. Meski ditutupi   dengan dukungan kebijakan yang kompak, pengorganisasian petani dan ornop   pendukung, serta dari para pakar PRG, data lapangan berkata lain. Ketika   dikampanyekan, lahan kapas PRG ini akan menghasilkan 3-4 ton per hektare,   bahkan dijanjikan lima kali panen dan bisa membawa petani ke Mekah. Nyatanya,   data dari Dinas Perkebunan Sulawesi Selatan menyebutkan bahwa 74 persen lahan   menghasilkan kurang dari 1 ton per ha. Bukannya benih kapas PRG-nya ditarik,   justru petani yang disalahkan karena tidak menaati aturan perusahaan. Tragis,   sudah mengalami kegagalan, masih disalahkan pula. Alih-alih   mencabut, Menteri Pertanian terus memperpanjang izin penanaman hingga 2003,   meski benih kapas PRG tersebut bukan benih unggul seperti yang dicantumkan   dalam surat keputusannya. Baru setelah Monagro Kimia mengibarkan bendera   putih, Menteri patuh. Tinggallah petani kapas di tujuh kabupaten di Sulawesi   Selatan sendirian memikirkan mimpinya yang hilang untuk menjadi haji mabrur   seperti yang dijanjikan. Kapas yang dijanjikan tahan hama pun ternyata salah   sasaran, sehingga serangan hama tetap membuat sang kapas unggul tidak bisa   bertahan. Sedangkan bukti lain hasil penelitian mahasiswa tingkat magister   IPB yang menemukan adanya kontaminasi gen pada kapas lokal di sekitar lahan   kapas PRG pun dibungkam secara sistematis. Belakangan,   terbukti ketergesaan itu mengandung bau amis suap dan korupsi. Departemen   Kehakiman Amerika Serikat menemukan fakta bahwa Monsanto menyuap lebih dari   US$ 700 ribu kepada pejabat di Kementerian Pertanian, Lingkungan Hidup, dan   pihak lain. Suap itu membuktikan ada pelanggaran dari ketentuan yang berlaku.   Sayang, temuan dan fakta ini tidak ditindaklanjuti di Indonesia.  Setelah lebih   10 tahun, catatan-catatan tersebut seperti dilupakan. Dengan sederet alasan   pembenar, kembali pemerintah membuat keputusan yang tergesa-gesa. Menjaga   ketahanan pangan adalah amanat, dan mewujudkannya adalah kewajiban. Sahih   selama tujuannya adalah mensejahterakan rakyat dan melindungi bumi Indonesia.   Namun, apabila keputusan yang dibuat untuk sekadar menghamba kepada investor,   apalagi sampai menabrak aturan, sungguh disesalkan. Produk PRG   merupakan produk hasil teknologi tinggi yang dimiliki korporasi multinasional   dan dilindungi aturan Hak atas Kekayaan Intelektual. Karena hal itu memiliki   potensi dampak negatif, hampir seluruh dunia sepakat mengaturnya melalui   Protokol Kartagena. Indonesia telah meratifikasinya pada 2006. Prinsip yang   penting dari protokol adalah dianutnya Prinsip Kehati-hatian, Partisipasi   Publik, serta Kajian Sosial-Ekonomi dan Budaya. Prinsip Kehati-hatian   mengamanatkan bahwa ketiadaan bukti ilmiah tidak boleh membuat negara tidak   melakukan tindakan untuk melindungi lingkungan. Ini berarti negara berdaulat   untuk menyatakan menolak PRG, meski data ilmiah belum mencukupi, demi   melindungi diri dari dampak lingkungan yang tidak terpulihkan. Adapun   partisipasi publik merupakan syarat mutlak untuk memutuskan, karena publiklah   yang akan menanggung seluruh risiko dari komersialisasi PRG, baik sebagai   produsen maupun konsumen. Tercakup di dalamnya adalah kajian mendalam tentang   sosial-ekonomi dan budaya masyarakat.  Setelah   belajar dari ketergesa-gesaan dan ketiadaan payung hukum yang mengatur produk   rekayasa genetik, Indonesia melangkah maju dengan berupaya membuat aturan.   Namun tarik-ulur kepentingan terus terjadi. Dengan alasan lebih murah,   dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati   Produk Rekayasa Genetik. Meski dikritik lemah dalam substansi, miskin   akuntabilitas, dan lemah daya penegakannya, pemerintah tetap melaju.   Beruntung, setelah kasus suapnya terungkap, banyak pihak yang jeri dan   tiarap, sehingga tidak ada produk transgenik yang dilepas. Rupanya, semua itu   hanya menunggu waktu, di mana saat bangsa ini sudah lupa pada dampak yang   harus ditanggung dalam komersialisasi PRG. Ada instrumen   lain, yakni UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.   Prinsip kehati-hatian tercantum dan menjadi salah satu prinsip dalam   melindungi lingkungan. Penerjemahan prinsip ini secara detail dicantumkan   dalam pasal-pasal pencegahan dan perlindungan, di mana analisis mengenai   dampak lingkungan menjadi instrumen izin lingkungan, baik dalam uji maupun   usaha yang terkait dengan produk PRG. Sanksi, pidana dan perdata, akan   dijatuhkan kepada siapa pun pencemar atau perusak lingkungan, baik kepada   pengusaha maupun pejabat pemerintah terkait.  Sayang,   masyarakat, sebagai produsen dan konsumen utama negeri, terus dilupakan,   terutama saat negara mengambil kebijakan baru, seperti proses komersialisasi   PRG. Bangsa ini sering lupa, dalam konstitusi disebutkan bahwa didirikannya   negara RI bertujuan mensejahterakan rakyat dan melindungi seluruh tumpah   darah Indonesia. Dengan hanya mengkaji dokumen keamanan pakan, pangan, dan   lingkungan dari perusahaan pengusul, pemerintah tidak melindungi lingkungan   dan mensejahterakan masyarakat. Ini berarti pemerintah telah menabrak aturan   dan konstitusi. Kebijakan tersebut harus segera dikoreksi, sebelum ada korban   jatuh, seperti 10 tahun yang lalu.  Bangsa ini pun   sudah terlalu lama melupakan petani. Sungguh kezaliman apabila petani tidak   pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan, termasuk soal komersialisasi PRG   yang akan dilakukan. Pernahkah petani ditanya apakah mereka membutuhkan PRG?   Pernahkah dijelaskan bahwa PRG ini akan menimbulkan ketergantungan dan   potensi penindasan, karena sifatnya yang monopolistik? Pernahkah dijelaskan   risiko yang harus mereka tanggung, termasuk risiko lingkungan dan   sosial-ekonomi? Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh pemerintah   yang diberi mandat untuk melaksanakan amanat konstitusi. Saatnya bangsa ini membangun   kedaulatan pangan dengan masyarakat sebagai pusatnya. Bukan malah terus   membangun mitos-mitos seperti mitos PRG ini. Ingat, mempercepat dan   mempermudah komersialisasi PRG sama saja dengan meningkatkan ketergantungan   dan mendukung monopoli. Kesejahteraan petani pasti akan semakin menjauh.   Jangan sampai kita kalah cerdas dibanding keledai, yang tidak mau terperosok   ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Semoga. ●  |