Kamis, 18 Oktober 2012

Menata Kembali Kemandirian Pangan


Menata Kembali Kemandirian Pangan
Posman Sibuea ;  Guru Besar Tetap pada Departemen Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan
SINAR HARAPAN, 17 Oktober 2012
 

Penguasaan teknologi pangan yang lambat dan nyaris stagnan belakangan ini telah mengakibatkan perlambatan pembangunan kemandirian pangan.

Meski mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, makin banyak penduduk di daerah perdesaan terlibat dalam kegiatan nonpertanian sebagai sumber penghasilan utama.

Proses pemiskinan petani berlangsung dengan cepat. Inilah salah satu permasalahan mendasar di tengah proses menyimpitnya penguasaan lahan pemilikan petani, baik karena proses fragmentasi lahan melalui pewarisan tanah dan pengalihan fungsi lahan pertanian guna berbagai keperluan hidup manusia.

Ini yang menyebabkan jumlah petani gurem meningkat. Dalam banyak hal, Indonesia mengalami kemunduran justru di bidang yang seharusnya ia unggul karena bias pengelolan (mismanajemen) pertanian. Ketidaksiapan Indonesia menyongsong era baru kebangkitan petanian adalah buah kesalahan di masa lalu.

Padahal untuk produk-produk pangan olahan berbasis sumber daya lokal (pertanian tropis), Indonesia bukan hanya berpotensi berswasembada, tetapi juga dapat meraih kedaulatan pangan.

Kedaulatan pangan terkait dengan politik formal yang berbeda dengan pembangunan ketahanan pangan. Kedaulatan pangan menekankan model produksi pertanian agro-ekologis yang berlawanan dengan pertanian industri yang dikelola secara kapitalistik yang pro WTO.

Definisi ketahanan pangan yang paling banyak dianut adalah hasil kesepakatan Pertemuan Puncak Pangan Dunia (World Food Summit) 1996, yang menekankan akses semua orang terhadap pangan pada setiap waktu, tidak memandang di mana pangan itu diproduksi dan dengan cara bagaimana proses produksi dilakukan. Ketahanan pangan lalu bias ke kemampuan untuk menyediakan pangan pada level global, nasional, maupun regional yang menjadikan perdagangan internasional menjadi suatu keniscayaan.

Seiring dengan itu, pangan (baca: beras) pun sarat dengan kepentingan politik. Fenomena ini sudah berlangsung sejak abad ke-16. Para raja yang berkuasa menyadari beras merupakan simbol stabilitas ekonomi dan politik.

Politik beras yang dilakukan Kerajaan Mataram semakin meyakinkan kita betapa beras memang komoditas yang sangat strategis (Maryoto, 2009). Apabila penguasa zaman sekarang menggunakan indikator ekonomi, penguasa zaman dulu menggunakan beras sebagai indikator stabilitas ekonomi dan politik serta pencapaian kemakmuran.

Soeharto sebagai Presiden Indonesia yang kedua sejak 1967, kebijakan pertaniannya sangat mirip dengan pilihan yang diambil oleh raja-raja semasa Kerajaan Mataram yang bertumpu pada padi. Presiden yang dilengserkan oleh kekuatan mahasiswa ini, terus mengerahkan segala cara guna memacu produksi beras hingga pada 1983 ia mendapat penghargaan dari FAO karena keberhasilan Indonesia berswasembada beras.

Diskursus global ketahanan pangan kini didominasi oleh hak atas pangan (food entitlements). Amartya Sen (1981) dalam bukunya bertajuk Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation, berhasil menggugat kesalahan paradigma kaum Maltusian yang kerap berargumentasi bahwa ketidakketahanan pangan dan kelaparan (famine) adalah soal produksi dan ketersediaan semata.

Padahal ketidaktahanan pangan justru kerap terjadi karena ketiadaan akses atas pangan (entitlements failures). Kasus busung lapar di Indonesia pada 2005 adalah salah satu bukti. Meski secara nasional produksi pangan berlimpah, sebagian anak bangsa harus meregang nyawa karena mengalami gizi buruk, bak “tikus mati di lumbung padi”.

Menjajah Perut

Masyarakat Barat berhasil mengampanyekan terigu di Indonesia. Warga kini dikepung makanan olahan berbasis terigu, mulai dari donat, roti, piza, hingga mi instan. Produk-produk ini kini menjajah perut orang Indonesia, baik yang tinggal di perdesaan maupun perkotaan.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif baik belakangan ini mendorong permintaan gandum dan produk turunannya kian meningkat. Konsumsi terigu per kapita Indonesia menunjukkan tren meningkat. Indonesia pun harus mengimpor terigu sekitar 8 juta ton/tahun dengan menghabiskan devisa tidak kurang dari Rp 9 triliun.

Pertanyaannya, haruskah produk roti dari terigu? Jawabnya sudah tentu tidak. Roti dan biskuit tidak selalu dari tepung terigu. Aneka produk olahan dari tepung ubi jalar telah mulai diproduksi di Indonesia, meski masih dalam skala kecil.

Dengan aneka warna dan fungsionalitasnya, tepung ubi jalar sungguh mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Dibantu dengan berbagai bakery ingredient yang tepat dengan flavor yang mengena dan tepat gizi, diharapkan akan muncul produk bakery khas Indonesia. Hal ini menjadi tantangan bagi food developers.

Di tengah ancaman krisis pangan, semua pihak harus mencari pangan alternatif. Selain sumber karbohidrat, sumber protein juga harus diburu. Serangga adalah salah satu sumber makanan yang kaya protein. Kesan menjijikkan harus dihilangkan agar manfaat protein serangga bisa dinikmati. Sangat mungkin pula serangga menjadi pangan nutrasetikal yang bermanfaat mencegah penyakit karena berfungsi sebagai obat.

Program mengenalkan dan menumbuhkan kecintaan pada pangan lokal patut dimulai sejak anak di usia sekolah. Pemerintah patut mengenalkan pangan lokal lewat kantin sekolah. Berbagai produk olahan umbi-umbian dan sagu harus tersedia di sana. Langkah ini menjadi bentuk kampanye untuk mengangkat citra pangan berbasis sumber daya lokal dan sekaligus mengimbangi gemburan produk makanan impor.

Seiring dengan itu, amat perlu dikaji apakah kita mampu memosisikan produk pangan lokal itu sejajar dengan produk pangan impor, baik mutu maupun harganya? Produk pangan lokal yang dikemas secara menarik menjadi salah satu faktor penting untuk memasuki pasar global yang semakin kompetitif. Inovasi-inovasi mengembangkan pangan lokal itu akan muncul lebih progresif jika dilakukan oleh generasi muda yang 
memiliki latar belakang pendidikan teknologi pangan.

Arus globalisasi yang mempermudah produk pangan impor masuk ke berbagai pasar tradisional, secara perlahan, namun pasti harus dapat dicegah lewat kebangkitan dan revitalisasi pangan lokal. Inilah titik awal Indonesia berdaulat atas pangan untuk memberi pangan dunia. ●

◄ Newer Post Older Post ►