Sabtu, 20 Oktober 2012

Tragedi Transportasi Jakarta


Tragedi Transportasi Jakarta
Bambang Soeroso ;  Profesional di Bidang Infrastruktur, Anggota Komite II DPD RI
SUARA KARYA, 19 Oktober 2012


Dengan kondisi riil infrastruktur jalan yang masih belum cukup memadai, potret buram kompleksitas persoalan transportasi di Jakarta sudah semakin "akut". Bila saja program pembangunan sarana jalan dan penataan moda transportasi massal terabaikan pembenahannya. Apalagi, tidak terintegrasi dengan pola pembangunan infrastruktur dan tata ruang kota secara sinergis, maka masalah kemacetan lalulintas dan tranportasi Jakarta akan menjadi bom waktu. Di mana, pada saatnya nanti, dapat menjadi sebuah "tragedi transportasi kota metropolitan".
Bayangkan saja, bila saat ini laju pertumbuhan penduduk Jakarta sudah menyentuh angka 2juta/tahun. Sementara laju pertumbuhan jumlah kendaraan jauh di atas rata-rata pembangunan jalan di ibu kota, maka dari data perkembangan pergerakan arus dan kebutuhan perjalanan di Jakarta (tahun 2011) mencapai 21.9 juta traffic/perjalanan/hari. Dengan jumlah kendaraan bermotor mencapai 6,5 juta unit, yang terdiri dari pengguna kendaraan pribadi mencapai 6,4juta (98,6 persen) dan kendaraan angkutan umum mencapai 88,477 (1,4 persen). Dengan tingkat pertumbuhan kendaraan rata-rata mencapai 10 persen/tahun, dan pertumbuhan panjang jalan hanya 0.01 persen per tahun, maka jelas tidaklah sebanding antara ketersediaan fasilitas sarana jalan yang ada, dengan laju pertumbuhan jumlah kendaraan.
Sebagai sebuah komparasi, Kota Jakarta kini hanya mempunyai ruas panjang jalan 5 persen dari luas tata ruang kotanya. Sementara kota-kota di negara maju memiliki ruas panjang jalan 15-30 persen dari luas kotanya. Apabila kondisi saat ini tetap tidak berubah atau terjadi perlambatan pembangunan prasarana jalan, maka imbasnya Jakarta diprediksi akan mengalami stagnasi "kelumpuhan total" arus kendaraan pada tahun 2017. Inilah sesungguhnya titik krusial, yang akan menjadi "tragedi transportasi Jakarta".
Akibat ketimpangan itu, telah mengakibatkan Indikasi kerugian secara ekonomi dari data yang terlansir mencapai Rp 22,17 triliun per tahun, yang terdiri dari kerugian tangable sebesar lebih kurang Rp 12,7 triliun/tahun, berupa kerugian BBM . serta kerugian intangable berupa waktu produktif sebesar Rp 9,77 triliun/tahun. Efek ini menimbulkan estimasi kerugian ekonomi akibat inefisiensi lainnya yang diakibat oleh kemacetan di Jakarta menyentuh angka sebesar Rp 65 triliun per tahun.
Untuk itu dibutuhkan segera sebuah terobosan, gagasan, ide dan konsep pengembangan transportasi massal melalui pendekatan pola pembangunan Integrasi Moda Transportasi (IMT), yang terkonektivitas antara satu tujuan, ke tujuan lain dan antarsatu kota ke kota penyanggah lain di lingkungan Jabodetabek secara efisien. Konsep pembangunan prasarana transportasi dengan mengintegrasikan berbagai moda transportasi, seyogianya secara teknis dapat dirancang dan dikembangkan dalam blue print, master plan pengembangan infrastruktur Kota Jakarta untuk 30 tahun ke depan.
Dalam berbagai model pengembangan infrasruktur jalan yang dikembangkan di beberapa negara, tampaknya model pembangunan jalan dengan konsep jalan layang susun tiga atau yang lebih dikenal dengan istilah Triple Decker, dapat menjadi alternatif bagi pola pengembangan terpadu dalam Integrasi Moda Transportasi (IMT) untuk Kota Jakarta.
Konsep IMT adalah suatu rekayasa enginering dalam mengembangkan dan membangun konektivitas integrasi tiga moda transportasi sekaligus. Yakni, berbasis jalan tol, LRT, dan busway dalam satu kesatuan sistim dan struktur yang humanis. IMT akan mengintegrasikan sebuah common platform yang berbasis kesetaraan humanis (philanthropy), optimalisasi aset yang ada (utility saving), serta peningkatan efektivitas dan efisiensi (mobility efficiensies).
Secara filosofis, philanthropy adalah asas kesetaraan dan keadilan sosial yang humanis bagi masyarakat pengguna LRT dan MRT yang berpenghasilan rendah.
Ketergantungan tarif akan disubsidi silang oleh pengguna jalan tol. Utility saving adalah optimalisasi aset yang ada, di mana kebutuhan lahan menjadi minimal, rolling stock menjadi ringan dengan daya angkut menjadi tinggi, biaya konstruksi dalam satu kesatuan struktur murah, daya guna maksimal dengan jasa serta produk nasional dipergunakan maksimal.
Mobility efficiencies adalah peningkatan efektivitas dan efisiensi bagi pengguna jalan tol yang akan terkoneksi ke jaringan tol nasional serta LRT yang terintegrasi dengan KRL komuter dan busway yang memiliki integrasi dengan feeder komuter dan angkutan kota. Keterpaduan ini akan lebih menciptakan kondisi transportasi massal yang efisien dan berkeadilan sosial (cross subsidi). Dalam pembangunannya, IMT dapat diintegrasikan pada pengembangan program enam ruas jalan tol Kota Jakarta yang sudah ada, sehingga bisa menghubungkan semua sistem transportasi yang dirancang dan dapat menjadi solusi terhadap pembangunan enam ruas tol dalam kota.
Pengembangan pola pembangunan IMT merupakan gagasan yang pernah dikemukakan dalam seminar infrastruktur bertajuk Solusi Permasalahan Transportasi Kota Metropolitan yang diselenggarakan oleh Koordinator Bidang Infrastruktur DPP Partai Golkar di Jakarta, baru-baru ini. Hasil seminar merekomendasikan pembangunan jalan layang susun berbasis IMT dengan tingkat efisiensi tinggi, baik dari sisi lahan, konstruksi, ruang, lingkungan maupun ekonomi.
Semoga Gubernur terpilih dapat segera mewujudkan Integrasi Moda Transportasi yang efisien, terjangkau secara ekonomis, cepat, aman dan nyaman, serta berwawasan lingkungan. Karena, sesungguhnya problematika transportasi kota akan menjadi tolok ukur pemicu, rendah-tingginya produktivitas warga yang lebih dinamis dan menjadikan Jakarta sebagai "magnetik" besar bagi pembangunan sosial dan pertumbuhan ekonomi bangsa.

◄ Newer Post Older Post ►