TNI-AU, Belajarlah pada AU Husnun N Djuraid ; Jurnalis Malang Post (Jawa Pos Group) dan Dosen Jurnalistik |
JAWA POS, 18 Oktober 2012
KEKERASAN yang dilakukan seorang perwira TNI-AU terhadap seorang wartawan foto Didik Herwanto saat meliput jatuhnya pesawat Hawk 200 di Kampar, Riau, Selasa lalu (16/10/2012) menimbulkan aneka reaksi negatif. Sungguh memprihatinkan. Sebab, kekerasan itu dilakukan seorang perwira berpangkat letkol. Biasanya kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di lingkungan tentara dan polisi dilakukan anggota berpangkat rendah. Seorang perwira tentu sudah mengalami dan menjalani aneka pendidikan serta penggemblengan fisik dan mental agar mampu bertindak terukur dengan landasan intelektualnya. Mustahil seorang berpangkat letkol tidak tahu soal tugas wartawan sehingga menghalau wartawan yang akan meliput pesawat jatuh dengan cara membuatnya terkapar, lalu mencekiknya. Seharusnya, dia bisa menempuh cara baik-baik, memberi tahu wartawan atau warga untuk tidak mendekat ke lokasi jatuhnya pesawat -kalau itu sudah menjadi standar pengamanan. Seharusnya pula, perwira itu tahu bahwa dampak dari tindakannya yang sangat emosional tersebut mencoreng instansinya. TNI-AU dihujat dan ditertawakan. Peristiwa itu mengingatkan pentingnya media relation di kalangan tentara dan polisi. Dalam situasi tegang seperti itu, seharusnya tidak semua ikut tegang penuh amarah. Hadapi wartawan dengan penuh kesabaran, meskipun terkadang ada wartawan yang tindakannya menyulut emosi. Berikan penjelasan yang jujur dalam jumpa pers tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Kalau ada yang tidak boleh diekspos -misalnya untuk kepentingan keamanan negara-, bisa saja disampaikan off the record. Hal itu pernah dilakukan para petinggi TNI-AU saat terjadi kecelakaan pesawat Fokker 27 milik TNI-AU. Pesawat tersebut jatuh di kompleks Halim Perdanakusuma, Jakarta (21/6/2012). Sesungguhnya yang mengejutkan dari kecelakaan itu adalah keterbukaan pihak TNI-AU dalam memberikan informasi kepada publik melalui media. Tak lama setelah kecelakaan tersebut, pihak Lanud Halim Perdanakusuma menggelar press conference untuk menjelaskan kecelakaan itu, meskipun yang dijelaskan baru data awal dari kecelakaan tersebut. Memang, terkait dengan insiden itu, pihak Lanud Halim Perdanakusuma melarang reporter dan fotografer mendekat ke lokasi kecelakaan. Beberapa fotografer dan kamerawan TV sempat diusir para petugas yang bersiaga di sekitar reruntuhan pesawat. Hal tersebut sempat menimbulkan protes. Tapi, pihak TNI -dalam hal ini Lanud Halim Perdanakusuma- langsung memberikan klarifikasi dan minta maaf. Press conference tidak hanya dilakukan sekali pada hari itu, melainkan beberapa kali, baik oleh pihak Lanud Halim Perdanakusuma maupun pihak Mabes TNI-AU, dengan materi yang gamblang. Yang dilakukan TNI-AU itu merupakan sesuatu yang baru. Sebab, biasanya pihak yang mengalami kecelakaan selalu menutup informasi kepada media dengan berbagai alasan. Ada anggapan di kalangan masyarakat, kalau informasinya diberikan kepada media justru akan memperpanjang masalah, sehingga lebih baik dirahasiakan. Itu adalah anggapan yang kuno. Apalagi, peristiwanya menjadi perhatian publik. Alangkah mustahil menutupi fakta ada pesawat jatuh. Kalau akses wartawan untuk mendapat informasi dari sumber formal ditutup, mereka akan mencari informasi dari sumber lain. Tidak ada jaminan bahwa informasi "sumber lain" lebih akurat. Semakin ditutup, semakin bersemangat untuk membukanya. Berita yang muncul pun berlarut-larut sampai berhari-hari. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (AU) adalah contoh baik lain dalam menghadapi wartawan. Pemeriksaan AU oleh KPK menarik perhatian banyak wartawan, baik saat AU datang maupun usai diperiksa selama tujuh jam. Seperti biasa, saat seorang terperiksa keluar dari Kantor KPK, puluhan wartawan yang sudah menunggu cukup lama siap memberondongkan pertanyaan. Yang dilakukan AU di luar dugaan. AU tetap tenang melayani permintaan wawancara. Tidak hanya melayani wawancara, AU malah menggelar press conference dadakan sambil duduk di tangga masuk gedung KPK. Sebelum para wartawan bertanya mengenai materi pemeriksaan terhadap dirinya, AU sudah langsung memberikan penjelasan lengkap. AU pun membuka kesempatan kepada wartawan untuk bertanya. Tidak banyak wartawan yang bertanya soal materi pemeriksaan terhadap AU karena memang sudah dijelaskan dengan gamblang (atau wartawan tak siap banyak pertanyaan karena tak menyangka AU akan mau jumpa pers). AU berhasil mengatasi dirinya yang tengah "dikeroyok" wartawan dengan penampilan yang tenang. AU mampu menghadapi dan melayani wartawan yang ingin mengorek informasi pemeriksaan dirinya. AU dan Mabes TNI-AU memberikan pelajaran yang sangat baik soal media relation yang menempatkan media sebagai mitra, bukan subordinasi. Sebagai mitra, media tidak bisa dihalangi untuk memberitakan sebuah peristiwa, begitu juga sebaliknya, diminta memberitakan sebuah peristiwa sesuai dengan permintaan. Pesawat jatuh dan seorang ketua umum partai besar diperiksa lembaga antikorupsi adalah sebuah peristiwa besar yang tidak mungkin dihentikan pemberitaannya. Media memberitakan pemeriksaan AU dengan porsi besar karena memang kapasitas ketua umum partai memiliki magnitude untuk diberitakan secara besar. Kalau ada pesawat jatuh, kemudian diberikan penjelasan kepada masyarakat melalui media, itu bukan aib, melainkan tindakan kesatria. Kalau ada kecelakaan pesawat, TNI-AU bersikap tertutup, bahkan bermusuhan dengan wartawan, dua kemalangan telah menimpa: kecelakaan itu sendiri dan citra yang jelek di masyarakat. Bukankah dengan memberitakan kecelakaan pesawat tempur, akan ada berkah berupa opini publik untuk mendesak pemerintah memperbarui alutsista yang sudah renta? ● |