Mencetak Generasi Cinta Damai Dwi As Setianingsih ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 19 Oktober 2012
Berada jauh di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, untuk menimba ilmu tak membuat Irfan Amalee, pendiri komunitas Peace Generation, menutup telinga dari perkembangan isu kekerasan di Tanah Air. Saat terjadi tawuran antara siswa SMAN 70 dan siswa SMAN 6 Jakarta yang menewaskan Alawy Yusianto Putra (15), siswa SMAN 6, Irfan bergerak. Dia menulis di blog Kompasiana dengan artikel berjudul ”Pelajaran dari Ayam dan Monyet Tentang Tawuran”. Dalam tulisan itu, Irfan mengungkap bagaimana konflik kekerasan muncul dan apa penyebabnya. ”Apa alasan utama remaja tawuran? Apa karena perebutan uang? Sepak bola? Pacar? Bukan! Alasannya mereka mencari yang tidak mereka dapat di rumah dan di sekolah, yaitu penghargaan, pengakuan, status. Dignity,” tulis Irfan. Melalui surat elektronik, Irfan menjelaskan, sebagian konflik orang dewasa berkisar pada perebutan sumber daya. Namun, kekerasan remaja sulit diidentifikasi. ”Kita (orang dewasa) sering tak habis pikir, mengapa remaja rela naik kereta di atapnya, tawuran, atau hal lain yang membahayakan nyawa,” tutur Irfan. Sejak tahun 1998, Irfan aktif mengampanyekan gerakan anti- kekerasan di Tanah Air. Bersama konselor remaja asal AS, Erik Lincoln, Irfan, yang kini menimba ilmu tentang studi perdamaian di Heller School for Social Policy and Management, Brandeis University, membuat modul berisi 12 nilai dasar perdamaian, mulai dari mengenal diri, perbedaan suku, agama, budaya, jender, status sosial kelompok, kemampuan menghadapi konflik, menghindari kekerasan, memberikan maaf, dan memaafkan. ”Modul ini dikemas dalam cerita, permainan, dan dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada,” kata Irfan. Modul versi awal didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Kini modul diadaptasi dalam edisi Kristen dan diterapkan di sekolah Kristen. ”Modul ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dijadikan bahan pengajaran bahasa Inggris dengan muatan nilai damai. Modul ini juga sudah diadaptasi ke versi Filipina dan Malaysia. Kini sedang proses penerapan di Australia dan sudah diterapkan di dua sekolah Islam di Boston,” ujar Irfan. Hingga kini, Peace Generation sudah melatih lebih dari 1.000 guru, antara lain di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo, dan Bali. Mereka dibekali pemahaman tentang 12 nilai dasar perdamaian serta keterampilan untuk diajarkan kepada siswa. ”Ada guru yang melapor, setelah ikut pelatihan, dia tak lagi menggunakan cara kekerasan dalam mengajar. Dari sana kami sadar, masih banyak penyebab kekerasan siswa berasal dari cara guru mengajar. Kurangnya pengetahuan guru tentang pendidikan damai menyebabkan kekerasan di sekolah tak bisa dicegah atau ditangani,” ujarnya. Linda Saptadji Yahya menawarkan solusi serupa. Psikolog alumnus Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini memotori ikatan alumni fakultasnya angkatan ’80 memberikan pelatihan agar generasi muda tumbuh dalam suasana bersahabat. ”Sekarang banyak tawuran, perlu ada ajakan agar anak-anak memiliki sudut pandang yang berawal dari otentisitas manusia, sudut pandang luas yang bisa mengajak orang melihat sudut pandang orang lain,” ujar Linda. Tujuannya, menciptakan orang-orang yang punya jaringan integritas. Bagaimana mereka bisa melihat hidup sebagai anugerah. ”Untuk itu, anak-anak perlu diberikan trek, jalan. Orang harus punya visi, misi, target, milestone,” ujar Linda. Upaya itu, menurut dia, harus dilakukan dengan konkret. ”Semua sekolah punya visi bagus. Namun, apakah anak-anak dibantu mencapai targetnya,” katanya. Program pelatihan yang dilakukan membahas masalah mendasar kehidupan, seperti pengenalan diri, menciptakan mentalitas pemenang, dan kepemimpinan. Pendekatan yang dipakai adalah experiential learning agar peserta memiliki peluang untuk melihat, mendengar, melakukan, dan menghayati secara langsung. Mencetak generasi cinta damai bukan hal mudah, tetapi bukan hal mustahil. ● |