Tiga Tahun (Tanpa) Perubahan Joko Riyanto ; Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan (Puskalitbang) Solo |
SINAR HARAPAN, 20 Oktober 2012
Tanpa terasa pada 20 Oktober 2012 genap tiga tahun berjalan masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono sejak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden terpilih hasil Pemilu 2009. Menanggapi kinerja tiga tahun Pemerintahan SBY-Boediono, tampaknya nada-nada ketidakpuasan dari berbagai pihak lebih mendominasi. Selama tiga tahun pemerintahan, rakyat masih merasa pemerintahan SBY dan Boediono tidak membawa perubahan yang berarti untuk meningkatkan kesejahteraan, mengatasi persoalan sosial politik, dan melakukan penegakan hukum, terutama korupsi yang semakin merajalela. Sebagian rakyat Indonesia makin terperosok ke jurang kemiskinan karena biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok makin mahal. Rasa aman dan damai makin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM dan kebebasan beribadah, kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta hukum yang tidak berdaulat. Secara nyata, bangsa ini sedang sakit, sekarat secara sosial, ekonomi, hukum, dan politik, bahkan peradaban. Kebijakan yang selalu mendera rakyat kecil merupakan wujud dari negara sakit itu. Penderitaan rakyat saat ini telah mengisyaratkan sejarah yang semakin tidak ramah. Sejarah yang terus merampas keinginan negara dari komunitas masyarakat bangsa ini. Sejarah keberadaan negara yang diskriminatif. Sebuah pengkhianatan sosial yang sedang membentang di hadapan kita semua. Ketidakberdayaan rakyat miskin adalah “situasi batas” sebagai komunitas bangsa yang mempertaruhkan masa depan negeri ini. Negara seolah semakin melestarikan kemiskinan dengan kebijakan-kebijakan yang bukan saja apopulis tetapi semakin tidak menjadi dentuman persoalan publik, dan sebaliknya semakin mengasah mesin kekuasaan selama ini yang begitu represif. Inilah ironisnya, di mana negara sebenarnya lahir dan dibangun di atas dasar kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, yang sama-sama menderita, dan teleologi-kebaikan umum (common good) sebagaimana tesis Ernest Rennan tentang lahirnya sebuah negara kebangsaan dengan memiliki cita-cita yang sama. Tetapi, dalam praksisnya negara tidak pernah sanggup membangun kesejahteraan bagi seluruh masyarakat bangsa dan mengantarkannya kepada pemenuhan cita-cita bersama sebagai wujud moralitas dan etika politik negara. Masyarakat tidak pernah mengalami proteksi sosial, politik, dan ekonomi memadai. Itu juga sebagai gambaran situasi dan kondisi kehidupan masyarakat bangsa di mana negara tidak pernah hadir secara serius untuk menunjukkan keberpihakannya. Atau dengan kata lain, Pemerintahan SBY-Boediono sebagai pemimpin “tidak hadir” dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Ketidakhadiran pemimpin negeri (SBY-Beodiono) ini terlihat jelas dari beragam persoalan bangsa yang terus menumpuk dan berlarut-larut. Pemerintah seperti membiarkan semuanya terjadi tanpa penyelesaian konkret. Tak heran jika Pemerintahan SBY-Boediono dikritik dengan label “Negeri Autopilot” atas ketidakhadiran pemimpin dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Perlu diingatkan di sini bahwa memerintah secara efektif dalam sistem demokrasi tidak sesederhana seperti dalam sistem otokrasi. Persoalan lebih rumit ketika sosok kepemimpinan dalam pemerintah memberi kesan sebagai sosok yang hati-hati, penuh timbang rasa, sehingga memberi impresi dan dampak kurang efektif. Era globalisasi yang serba cepat membuat bukan hanya yang kuat yang akan menang, tetapi mereka yang bertindak cepat berpeluang memenangi persaingan. Jargon survival of the fittest sudah bergeser menjadi survival of the fastest. Era reformasi dan demokratisasi membuat setiap soal diperdebatkan dan diwacanakan sehingga cenderung menghabiskan waktu dan tenaga. Korsel dan Kosta Rika Indonesia perlu belajar dari negara lain, karena apa yang kita alami saat ini bukan persoalan khas, artinya beberapa negara lain pernah mengalaminya. Ambil contoh Korea Selatan (Korsel) dan Kosta Rika. Tahun 1950-1993, Korsel mengalami masalah ekonomi yang cukup berat. Kunci sukses yang mereka miliki adalah pada faktor Presiden Park Chung-hee. Dia memiliki sikap tegas, disiplin, mau bekerja keras, dan mampu memberikan keteladanan yang baik bagi rakyatnya. Alhasil, dalam waktu 30 tahun, Negeri Ginseng ini sudah mampu mensejajarkan diri dengan kelompok negara industri maju yang lain. Contoh lain adalah Kosta Rika. Negeri di belahan benua Amerika ini mampu merubah image dari bananas country menjadi high tech country. Kosta Rika yng semula mengandalkan komoditas pisang, gula, dan kopi, sekarang menjadi pemasok terpenting komponen semikonduktor bagi pasar Amerika Serikat. Sama dengan Korsel, Kosta Rika juga memiliki figur presiden ideal yang ada pada diri Maria Figures Olsen. Dia dilantik menjadi presiden tahun 1994 dan saat itu baru berusia 39 tahun. Olsen adalah figur pemimpin yang visioner, berdedikasi tinggi, dan menjadi teladan bagi rakyatnya. Jika SBY tidak responsif dan tidak segera berubah haluan dengan meninggalkan politik pencitraan berbasis retorika, mengurangi politik akomodatif (kompromi), pidato-pidato yang hampa tanpa tindakan konkret, serta meninggalkan politik transaksional maka hampir dipastikan dua tahun mendatang pemerintahan tetap tersandera dan rakyat tidak akan mengalami perubahan sesuai janj-janji SBY pada masa kampanye. SBY-Boediono harus mencatat sejarah dalam kepemimpinan nasional sebagai pasangan pemimpin yang banyak melakukan perubahan dan berprestasi. Keduanya tidak hanya tercatat sebagai pemimpin yang hanya sekadar mengisi satu-dua periode kepemimpinan, lantas setelah itu terlupakan. Rakyat Indonesia dengan perasaan cemas menunggu SBY-Boediono untuk menjawab tantangan dengan keputusan moral dan pilihan politik yang tepat. Keputusan dalam pilihan ini memutuskan seberapa cepat Indonesia menuju ke masa depan yang adil, sejahtera, dan bermartabat. ● |