Jokowi dan Kompleksitas Masalah Jakarta (2) Pudja Rukmana ; Wartawan Suara Karya |
SUARA KARYA, 19 Oktober 2012
Ancaman banjir merupakan salah satu tantangan berat Gubernur DKI yang baru, Joko Widodo (Jokowi). Mumpung musim hujan belum tiba, antisipasi banjir harus dilakukan sejak sekarang dengan kinerja ber-speed tinggi. Pada masa akhir jabatan Gubernur pendahulunya, Fauzi Bowo, Pemprov DKI telah menyiapkan dana Rp 1,4 triliun (150 juta dolar AS) untuk antisipasi banjir yang berasal dari pinjaman Bank Dunia. Gubernur Jokowi harus bisa memanfaatkan dana pinjaman itu dengan sebaik-baiknya. Hampir setiap tahun sejumlah kawasan di Jabodetabek menjadi langganan banjir, baik akibat curah hujan tinggi maupun karena fenomena banjir kiriman (dari Bogor). Masalahnya, karena sungai-sungai meluap atau terhambat akibat banyaknya tumpukan sampah di sana-sini, drainase (got) penuh lumpur atau limbah hitam pekat, kanal banjir tak mampu lagi menampung limpahan air, minim danau buatan, dan jumlah sumur-sumur resapan sangat terbatas. Apalagi, pembangunan permukiman-permukiman liar di bantaran sungai atau di jalur hijau dan kawasan terlarang terus berlangsung. Padahal, selain berbahaya dan mengganggu keindahan kota, keberadaan mereka - biasanya dari pendatang kalangan grass roots -, potensial merusak lingkungan. Mereka biasa membuang limbah/sampah sembarangan di kali atau got-got hingga menghambat kelancaran aliran air apabila hujan deras dan banjir pun tak terhindarkan. Perda No 58 Tahun 1988 jelas mengamanatkan bahwa kebersihan lingkungan menjadi tanggung jawab masing-masing. Namun, faktanya, lingkungan kotor menjadi pemandangan biasa di Ibu Kota. Bahkan pertokoan atau tempat usaha dengan lingkungan kotor tak pernah ditindak aparat. Di lain pihak, penegakan hukum (khususnya terhadap pelanggaran lingkungan) masih lemah. Banyak lokasi usaha tak sesuai peruntukan, bahkan banyak bangunan didirikan di jalur hijau atau kawasan terlarang, tak ditindak. Sementara masalah moral serta karakter individu warga masyarakat urban yang bermental 'semau gue', ikut menjadi pendorong mengapa budaya sadar lingkungan sulit disosialisasikan. Itulah sebabnya, mengapa kali-kali di Jabodetabek penuh sampah dan limbah buangan masyarakat. Sementara Banjir Kanal Barat (BKB) dengan pengendali banjir di Pintu Air Manggarai, yang dibangun sejak zaman Belanda (tahun 1933), sudah tidak memadai lagi. Perkembangan pesat kota metropolitan berpenduduk 8 juta jiwa lebih ini, menjadikan sarana penahan banjir di DKI itu, tak mampu lagi menampung luapan air. Sementara pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) untuk menampung limpahan air hujan di sejumlah kawasan Jakarta lainnya, yang mengalokasikan dana sekitar Rp 11 triliun, pelaksanaannya tersendat pembebasan tanah. Padahal, dengan BKT, banjir tahunan di DKI akan bisa dikurangi dan kerugian triliunan rupiah per tahun bisa ditekan. Celakanya, kondisi BKB dan BKT sendiri saat ini sangat memprihatinkan. Lumpur pekat dan tumpukan sampah hampir memenuhi kedua kanal ini dan mendangkalkan 13 sungai di DKI yang mengarah ke Pantai Utara. Aktivitas pengerukan kedua kanal banjir ini sudah dilakukan, bahkan biasanya dengan melibatkan peralatan berat dan aparat gabungan. Namun faktanya, kanal hanya diudak-udak agar rata dan tertutup air. Masalahnya, kalau dilakukan pengerukan yang sesungguhnya, ke mana lumpur dan sampah-sampah itu mau dibuang? Tak heran, kalau datang curah hujan tinggi, sungai-sungai di DKI tetap meluap. Selain kanal banjir yang bisa diandalkan, Jakarta idealnya memiliki drainase (got-got) dan situ-situ penahan banjir berukuran standar kota metropolitan. Warga masyarakatnya pun perlu terus didorong memiliki sumur-sumur resapan yang bisa menampung limpahan air hujan. Di lain pihak, sistem pembuangan sampah secara modern dan berwawasan lingkungan harus mulai diterapkan. Di samping itu, pengerukan sungai-sungai dan got-got perlu dilakukan secara rutin (tidak hanya setiap kali menjelang musim hujan). Ke depan, dana antisipasi banjir pinjaman Bank Dunia, selain untuk membeli peralatan berat dan pompa air, juga perlu dimanfaatkan untuk membeli lahan-lahan kosong, baik untuk permukiman ataupun tempat pengolahan sampah di setiap kecamatan DKI. Karena, dari sinilah, kekumuhan Ibu Kota akan bisa diminimalkan dan sampah-sampah buangan masyarakat akan bisa diolah untuk pemasukan dan kesejahteraan masyarakat. Rencana Gubernur membangun kampung susun bagus-bagus saja. Namun, yang perlu diingat, kampung susun memerlukan lahan yang luas dengan lokasi di pinggiran kota. Sementara yang dibutuhkan masyarakat urban sebenarnya adalah rumah-rumah petak (kalau perlu di kompleks-kompleks perumahan), di mana tanah seluas 100-200 meter persegi pun, bisa dimanfaatkan untuk 20-40 keluarga dengan penataan rapi secara terpetak dan bertingkat (sesuai kebutuhan) dengan sistem sewa. Kalau ada sepuluh lahan kosong macam ini saja, maka akan bisa dibangun pemukiman model kost (rumah petak), sehingga ribuan keluarga urban bisa ditampung secara layak. Hal penting yang tak boleh dilupakan Gubernur Jokowi, dalam membenahi Jakarta, masalah kesejahteraan masyarakat perlu diperhatikan. Selain pendidikan dan kesehatan gratis, Gubernur perlu memikirkan untuk menaikkan gaji para pegawai Pemprov, khususnya untuk pegawai strata paling bawah (termasuk para tukang sapu dan petugas kebersihan). Sebagai Ibu Kota Negara RI, gaji pegawai Pemprov DKI logikanya memang harus lebih tinggi daripada gaji pegawai pemprov-pemprov lainnya di Indonesia. Gubernur juga harus mendorong upah tinggi bagi para pekerja atau buruh yang bekerja di Ibu Kota. Ini penting untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang sudah pasti akan memiliki multi effect bagi bergairahnya kondisi perekonomian Jakarta. Kalau daya beli masyarakat meningkat, usaha-usaha macam apa pun termasuk sektor informal (para pedagang kakilima, dan lain-lain) akan ikut terimbas menikmati hasilnya. ● |