Sabtu, 20 Oktober 2012

Mengatasi Sumber Korupsi


Mengatasi Sumber Korupsi
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 19 Oktober 2012
 

IKLAN televisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentang antikorupsi berbentuk sederhana dan mudah dicerna, tetapi memikat dan pesannya padat. Iklan itu memberi gambaran singkat tentang sebagian ciri calon koruptor sejak muda hingga dewasa, sampai dia masuk penjara. Penonton menghayati tontonan itu sambil merenung dan tersenyum.

Kita diharapkan menengarai unsur-unsur ketidakjujuran seseorang sejak dia muda. Pesan yang ingin disampaikan dalam iklan: jangan abaikan sikap dan perilaku anak-anak sejak kecil, jangan ceroboh mengawal dan mendidik mereka menjadi dewasa, perhatikan sistem kerja yang memungkinkan penyalahgunaan wewenang, dan seterusnya. Bila ditelusuri, masih banyak lagi penjelasan mengapa korupsi bisa mewabah di Indonesia. Selain alasan pribadi, lingkungan sosial, politik dan ekonomi pun memengaruhi.

Argumen yang timbul, bila ada cara mendapatkan dana dengan jalan pintas, mengapa tidak? Asal caranya halal, tentu. Akan tetapi, bagi yang tidak jujur, jalan tidak halal pun tetap menggiurkan. Itu sebabnya korupsi--yang meliputi suapan, pemerasan, dan nepotisme--bukan monopoli masa kini saja. Segenap masyarakat mengenalnya, kecuali yang primitif. Hanya, tarafnya berbeda-beda. Di kita, korupsi sudah sampai stadium empat. Dilemanya, mengharapkan korupsi bisa terhapus sama sekali berarti mengharapkan terciptanya tertib sosial yang sempurna. Padahal, dalam suasana perubahan pesat oleh pembangunan atau perkembangan, tertib sosial biasanya jauh ketinggalan.

Sosiologi Korupsi

Ada saja dalih yang melihat korupsi dari sisi lain dalam pertarungan bisnis dan ekonomi masa kini. “Korupsi tidak selalu mengganggu perkembangan politik dan ekonomi,“ kata ahli ilmu politik dari Amerika, Myron Weiner (1931-1999), yang menulis The Politics of Scarcity.

Menurut penulis, dengan memberi suapan, pebisnis dapat secara lancar menjalankan kegiatannya. Uang bisa membuka sikap ramah dan fleksibilitas pejabat yang berwenang. “Jika mereka mematuhi peraturan yang ada, roda bisnis dan ekonomi bisa terhenti,“ tambahnya.

Nada seperti itu dipakai sebagian pejabat di masa Orde Baru ketika menolak pendapat begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo (1917-2001) bahwa terjadi kebocoran uang negara sebesar 30% karena dikorupsi. Pangkopkamtib Sudomo (1926-2012), dalam wawancara sekitar tiga dasawarsa yang lalu, juga gusar ketika mendengar budaya korupsi mulai subur di masyarakat Indonesia.

Tidak sedikit sarjana kemasyarakatan yang bernada seperti Weiner. Namun menurut Syed Hussein Alatas (1028-2007), akademisi dan ahli sosiologi Malaysia yang menulis The Sociology of Corruption (1968), sarjana-sarjana itu hanya mengamati korupsi pada tahap awal sewaktu korupsi masih terjadi di lingkungan terbatas. Namun, yang terbatas itu akhirnya meluas, menimbulkan akibat-akibat merongrong. Pebisnis kemudian membebankan uang lelah kepada konsumen yang menyebabkan harga-harga naik. Suapan memang memungkinkan efisiensi di bidang basah, tetapi sebaliknya mengendurkan efisiensi di bidang-bidang yang dianggap kering, yang lingkupnya jauh lebih luas. Mengusahakan sesuatu lewat jalan belakang akhirnya menjadi kebiasaan semua orang. Korupsi ujung-ujungnya merongrong wibawa lembaga-lembaga pemerintahan--eksekutif, legislatif, yudikatif--karena menipisnya kepercayaan dan rasa hormat masyarakat.

Strategi Menghapus Korupsi

Daftar tokoh sejarah antikorupsi amat panjang. Ada nama-nama besar seperti Wang An Shih (1021-1086) dan Abdul Rahman Ibnu Khaldun (13321406). Dua tokoh sejarah itu pernah mencoba menganalisis sebab-musabab korupsi. Wang, seorang reformis China, mendapati ada dua unsur yang selalu muncul dalam penelaahan sumber korupsi, yakni hukum yang lemah dan manusia yang tidak benar.

Menurut Wang, kita tidak mungkin menciptakan aparat bersih hanya dengan bersandar pada hukum sebagai kekuatan pengawas, sedangkan orangorangnya bukan orang-orang yang tepat. Kata Wang, manusia bisa dikelompokkan dalam dua golongan: yang bermoral rendah dan yang bermoral tinggi. Yang berbahaya apabila yang bermoral rendah diberi kekuasaan. Perubahan taraf keberadaan mudah mengguncangkan iman orang-orang tersebut.

Dalam analisis terakhir, Wang yang pernah menjabat menteri itu berkeyakinan dua syarat untuk menumpas korupsi ialah: pejabat-pejabat yang bermoral tinggi serta hukum yang rasional dan efisien, sebab pejabat hanya bisa efisien bila tidak terlalu banyak aturan dan larangan yang sifatnya menghambat. Sejarawan dan filsuf Mesir, Abdul Rahman Ibnu Khaldun, berpendapat lain. Tokoh yang pernah menjadi hakim itu digeser dari kedudukannya karena gagal menumpas korupsi. Wawasannya patut disimak. Dia beranggapan sumber utama korupsi ialah hasrat para pejabat untuk bermewah-mewah. Kebiasaan bermewah-mewah itu menjalar ke kelompok-kelompok lain. Dia menyimpulkan korupsi tidak selalu disebabkan perubahan kultur atau konflik nilai-nilai, tidak pula karena sistem pencegah dan pengawasannya tidak memadai. 

Menurut pendapatnya, perilaku individu-individu yang `kurang'-lah yang menyebabkannya--baik ditinjau dari sisi moral maupun sosial. Disebut `kurang' karena mereka tidak mampu atau tidak mau mematuhi pola-pola normatif masyarakat. Ketidakmampuan itu tidak selalu bersifat naluriah atau psikologis, tetapi karena desakan sekitar.

Dari paparan tadi, rasanya gerakan antikorupsi apa pun yang kita rencanakan memerlukan strategi dan taktik-taktik yang pesannya gampang meresap ke masyarakat. Itu bukan lewat slogan-slogan yang gersang, melainkan mungkin, antara lain, lewat iklan-iklan pintar dan nyanyian/hiburan yang disebarluaskan komunitaskomunitas generasi muda antikorupsi. Dengan cara itu, korupsi mungkin pelan-pelan terhapus dari negeri ini.

◄ Newer Post Older Post ►