Minggu, 24 Februari 2013

Sejarah Hutang Indonesia Mulai dari Masa Soekarno

Kilas Balik sejarah Hutang Indonesia dari Era Soekarno sampai SBY dan Kehebatan Sri Mulyani

Jumlah utang luar negeri Indonesia sampai saat ini mencapai US$ 64,37 miliar. Dari jumlah itu ada 3 kreditur besar utama, utang Indonesia kepada 3 kreditur ini mencapai US$ 48,57 miliar atau 75,5%.

Berdasarkan data yang dikutip dari Ditjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, 3 kreditur yang terbesar memberikan utang ke Indonesia adalah Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB/Asian Development Bank), dan Bank Dunia.

Data terakhir per 31 Maret 2010, utang Indonesia ke Jepang mencapai US$ 27,36 miliar atau memiliki porsi 42,5% dari total keseluruhan utang luar negeri pemerintah Indonesia. Lalu utang Indonesia ke ADB mencapai US$ 11,24 miliar atau 17,5%, dan ke Bank Dunia mencapai US$ 9,97 miliar atau 15,5%.

Total utang luar negeri pemerintah Indonesia per 31 Maret 2010 mengalami penurunan yang tipis dibandingkan dengan posisi akhir 2009 yang sebesar US$ 65,02 miliar. Seperti diketahui, jumlah utang pemerintah sampai akhir Maret 2010 naik US$ 1,35 miliar menjadi US$ 174,89 miliar. Dari jumlah di akhir Februari 2010 yang sebesar US$ 173,54 miliar.

Namun jika dikonversi ke rupiah, jumlah utang pemerintah sampai akhir Maret 2010 mencapai Rp 1.594,15 triliun. Turun dibandingkan dengan jumlah di akhir Februari 2010 yang sebesar Rp 1.619,96 triliun. Karena penguatan nilai tukar.

Utang pemerintah di bulan Maret 2010 tersebut terdiri dari pinjaman luar negeri US$ 64,37 miliar dan surat berharga US$ 110,52 miliar.

Sumber: http://us.detikfinance.com/read/2010/05/15/170612/1357641/4/utang-ri-pada-3-kreditur-besar-capai-us–4857-miliar

Ibu Ys seorang ibu rumah tangga biasa. Setiap hari dia hanya membantu suaminya ke sawah dan ke kebon. Karena tidak ada penghasilan yang pasti dari bertani, Ibu Ys sering berhutang kepada tetangganya hanya untuk memberi makan kepada 5 anaknya yang rata-rata putus sekolah karena tidka memiliki biaya.

Karena Ibu Ys memiliki banyak hutang, hidupnya tidak pernah menikmati yang namanya hiburan, Tv, radio, tidak ada sama sekali dirumahnya. Jika malam datang, jangankan listrik, karena tak mampu membeli minyak tanah untuk mengisi lampu yang terbuat dari botol bekas Ibu Ys dan anaknyapun sering menjalani malam mereka tanpa cahaya.

Gambaran Ibu Ys seperti yang saya gambarkan diatas merupakan gambaran seseorang ketika mereka sedang memiliki banyak hutang. Karena itulah yang memang harus dilakukan. Apakah anda akan membenarkan ketika Ibu Ys yang sedang memiliki banyak hutang itu kemudian dengan Uang hasil hutangnya tersebut Ibu Ys justru membelanjakan uang tersebut untuk membeli Tv, Tape, atau hanya sebuah radio, atau mungkin malah untuk Shoping, beli Hanphone, atau untuk berfoya-foya ?? Aku pikir Hanya “ORANG TIDAK WARAS” saja yang membenarkan hal itu.

Tapi coba sekarang kita lihat bersama-sama sebuah fakta yang ada … Ada sebuah negeri yang saat ini tercatat hutangnya tertulis dengan rincian hutang sebagai berikut:

1. Total Utang dalam Negeri dalam Bentuk Surat Berharga (Sekuritas) = 1.000 Triliun Lebih.

2. Total Utang LN = 175.493 Juta Dollar US = 1.649 Triliun Rupiah ( Dollar = Rp 9400 )

Jadi Grand Total Semua Utang Indonesia adalah sekitar = Rp 1000 T + Rp 1649 T = Rp 2649 T (Dua Ribu Enam Ratus Empat Puluh Sembilan Triliun Rupiah)

Begitu luar biasanya hutang tersebut, tidak ada satu ahli ekonomi manapun yang bisa menjamin kapan hutang tersebut LUNAS !Dan sekarang coba kita lihat kehidupan pejabat-pejabat di negeri ini. Gaya hidup dan perilaku mereka sama sekali tidak menggambarkan jika mereka memiliki hutang sebesar itu. Walau memiliki hutang yang begitu banyak.

Semua pejabat-pejabat negeri ini dari para menteri, anggota dewan yang mengaku sebagai orang-orang terhormat, semuanya hidup dengan fasilitas yang serba mewah. Dari Mobil mewah, rumah mewah, dan semua fasilitas-fasilitas serba mewah mereka nikmati disetiap harinya.

Kemudian mari coba kita lihat fakta di daerah betapa rakyat di pelosok masih begitu mudah ditemukan orang-orang kelaparan, gizi buruk, meninggal hanya karena memiliki penyakit tumor ganas tapi tidak mamu pergi kedokter. Masalah pendidikan juga begitu mudah kita temukan anak-anak putus sekolah dan justru dalam usia mereka yang seharusnya bersenang-senang menikmati masa kecil mereka, justru mereka habiskan waktu mereka dengan hidup menjadi anak jalanan dan pengemis. Dan itu dilakukan mungkin karena pengabdian seorang anak untuk membantu biaya makan sehari-hari dan pengobatan Ibunya yang mungkin sedang sakit parah dirumah mereka di bantaran rel.

Jika melihat fakta tersebut diatas. tidakkah ini menjadi WARNING dan RENUNGAN atau kalau boleh saya katakan mungkin TAUBAT BERJAMAAH untuk mereka para pemimpin dan pejabat-pejabat negeri ini yang sesungguhnya memang masih belum bisa mengerti apalagi menjalankan bagaimana menjadi seorang pemimpin dan pejabat yang baik untuk rakyatnya.

Yang paling IRONIS, sebagian dari mereka adalah sekelompok orang-orang yang mengklaim diri mereka merupakan segerombolan orang-orang yang beragama dan berpendidikan + terhormat.

Sumber: http://aribicara.blogdetik.com/index.php/2010/04/28/negeri-banyak-hutang-tapi-pejabat-tetap-kenyang/

Total utang pemerintah pusat pada Februari 2010 mencapai Rp 1.619 triliun dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 27 persen. Saking banyaknya, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang kementrian Keuangan Rahmat Waluyanto tidak bisa memerkirakan banyaknya uang dari total utang tersebut.

“Outstanding utang Rp 1.619 triliun. Banyak ya, mungkin kalau (uangnya) ditumpuk, berapa gedung itu. Gelora Senayan juga nggak akan cukup menampung,” kata Rahmat sambil tertawa, di sela-sela jumpa pers, di Kantornya, Jakarta, Senin ( 19/4/2010 ).

Utang ini terdiri dari pinjaman luar negeri dan Surat Berharga Negara (SBN). Angka tersebut, merupakan penghitungan sementara dengan menggunakan PDB asumsi APBN 2010. Dia mengakui, nominal utang terus bertambah dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya defisit anggaran dari waktu ke waktu. Faktor lain, disebabkan oleh utang lama yang telah jatuh tempo.

Tambahan nominal utang pemerintah didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) yang terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) dan sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah dalaj denominasi valas dan rupiah. Adapun untuk pinjaman luar negeri justru semakin berkurang setiap tahunnya.

“Porsi SBN valas meningkat karena daya serap pasar domestik masih terbatas. SBN valas ini digunakan untuk benchmarking dan memperkuat cadangan devisa,” jelas Rahmat. Menurut Rahmat, dalam menerbitkan SBN diprioritaskan karena membantu pengembangan pasar keuangan, seperti sukuk.

Kemudian, untuk memperkuat basis investor domestik seperti Obligasi Ritel Indinesia (ORI) dan Suku Ritel Indonesia (Sukri), mendukung kebijakan moneter Bank Indonesia, serta mengurangi ketergantungan pada pinjaman luar negeri.

Pinjaman luar negeri sendiri dibatasi untuk pinjaman lunak guna pembangunan infrastruktur dan energi, perubahan iklim dan pembangunan lainnya. Selain itu, juga untuk pembiayaan alutsista TNI dan alut POLRI berupa barang yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.

Sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/19/16501581/Utang.Indonesia.Senayan.Pun.Gak.Nampung

Monggo jual saja Indonesia…

Disinilah hebatnya Sri Mulyani, untuk remunerasi juga pakai duit ngutang, bule-bue itu patut berbangga dengan SMI dan menilai sebagai menkeu terhebat karena sudah dibantu mutarin duitnya, biarlah…ntar anak cucu kita yang akan melunasinya kalau Pulau dan tanah Air BETA masih tersisa.

Utang Indonesia, Senayan Pun Gak Nampung!
http://politikana.com/baca/2010/05/16/utang-indonesia-senayan-pun-gak-nampun.html

Utang Era Soekarno (1945 - 1966)

Presiden Soekarno adalah sosok pemimpin yang sebenarnya anti utang… Salah satu bapak pendiri bangsa ini pernah memberikan satu pernyataan terkenal yaitu “Go To Hell with Your Aid” yang menyikapi campur tangan IMF pada peristiwa konfrontasi Indonesia dengan Malaysia pada 1956. Dari pernyataan tersebut, Soekarno dapat dikategorikan sebagai pemimpin yang tegas dan berani mengambil sikap untuk menolak intervensi asing.

Namun, pada akhir pemerintahan Soekarno, negara ini ternyata dibebani oleh utang. Seperti dikutip dari harian Republika (17/4/2006), jumlah utang Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno sebesar US$6,3 miliar, terdiri dari US$4 miliar adalah warisan utang Hindia Belanda dan US$2,3 miliar adalah utang baru. Utang warisan Hindia Belanda disepakati dibayar dengan tenor 35 tahun sejak 1968 yang jatuh tempo pada 2003 lalu, sementara utang baru pemerintahan Soekarno memiliki tenor 30 tahun sejak 1970 yang jatuh tempo pada 1999.

Utang Era Soeharto (1966 - 1998)

Pada masa Orde Baru, utang didefinisikan menjadi penerimaan negara. Berarti pemerintah saat itu membiayai program-program pemerintah melalui instrumen pendapatan yang salah satunya adalah utang. Jika dilihat dari struktur anggaran pemerintah, maka utang dimasukkan ke dalam porsi penerimaan selain pajak.

Selama 32 tahun berkuasa, ciri kuat pemerintahan Orde Baru adalah sangat sentralistik dan sering disindir berasaskan “Asal Bapak Senang” (ABS) sehingga kerap membuat masalah utang negara menjadi hal yang “tabu” untuk dibicarakan. Akibatnya, pengelolaan utang negara pun menjadi sangat tidak transparan.

Orde Baru “diklaim” berutang sebesar Rp1.500 triliun yang jika dirata-ratakan selama 32 tahun pemerintahannya maka utang negara bertambah sekitar Rp46,88 triliun tiap tahun. Sampai 1998, dari total utang luar negeri sebesar US$171,8 miliar, hanya sekitar 73% yang dapat disalurkan ke dalam bentuk proyek dan program, sedangkan sisanya (27%) menjadi pinjaman yang idle dan tidak efektif. Alhasil, di masa Orde Baru, utang negara tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Hal ini disebabkan sistem pemerintahan yang sentralistik yang mengakibatkan pemerintah sulit untuk melakukan pemerataan pembangunan berdasarkan kebutuhan daerah, bukan berdasarkan keinginan pusat.

Pada masa Orde Baru, kredit Indonesia mendapat rating BBB dari Standard & Poor”s (S&P), lembaga penilai keuangan internasional. Rating BBB, yang hanya satu tingkat di bawah BBB+, membuat iklim investasi dan utang Indonesia pada masa Orde Baru dinilai favorable bagi para investor, baik domestik maupun asing.

Komposisi utang Orde Baru terdiri atas utang jangka panjang dengan tenor 10 - 30 tahun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan pernyataan bahwa utang Orde Baru jatuh tempo pada 2009 dengan struktur utang yang jatuh tempo sepanjang tahun 2009 adalah sebesar Rp. 94 triliun, terdiri dari Rp. 30 triliun berupa utang domestik dan Rp. 64 triliun berupa utang luar negeri.

Utang Era Habibie (1998 - 1999)

Masa pemerintahan B. J. Habibie merupakan pemerintahan transisi dari Orde Baru menuju era Reformasi. Habibie hanya memerintah kurang lebih setahun, 1998 - 1999. Pada 1998 terjadi krisis moneter yang menghempaskan perekonomian Indonesia dan pada saat yang bersamaan juga terjadi reformasi politik.

Kedua hal ini mengakibatkan rating kredit Indonesia oleh S&P terjun bebas dari BBB hingga terpuruk ke tingkat CCC. Artinya, iklim bisnis yang ada tidak kondusif dan cenderung berbahaya bagi investasi. Pada masa pemerintahan Habibie, utang luar negeri Indonesia sebesar US$178,4 miliar dengan yang terserap ke dalam pembangunan sebesar 70%, dan sisanya idle.

Terjadinya penurunan penyerapan utang, yaitu dari 73% pada 1998 menjadi 70% pada 1999, disebabkan pada 1999 berlangsung pemilihan umum yang menjadi tonggak peralihan dari Orde Baru menuju era Reformasi. Banyak keraguan baik di kalangan investor domestik maupun investor asing terhadap kestabilan perekonomian, sementara pemerintah sendiri saat itu tampak lebih “disibukkan” dengan pesta demokrasi lima tahunan tersebut.

Utang Era Gus Dur (1999 - 2001)

Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, naik sebagai Presiden RI ke-4 setelah menang dalam Pemilu 1999. Namun, pada masa pemerintahan Gus Dur kerap terjadi ketegangan politik yang kemudian membuat Gus Dur terpaksa lengser setelah berkuasa selama kurang lebih dua tahun 1999 - 2001.

Pada masa Gus Dur, rating kredit Indonesia mengalami fluktuasi, dari peringkat CCC turun menjadi DDD lalu naik kembali ke CCC. Salah satu penyebab utamanya adalah imbas dari krisis moneter pada 1998 yang masih terbawa hingga pemerintahannya. Saat itu utang pemerintah mencapai Rp. 1.234,28 triliun yang menggerogoti 89% PDB Indonesia. Porsi yang cukup membahayakan bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Selain porsi utang yang besar pada PDB, terjadi pula peningkatan porsi bunga utang terhadap pendapatan dan belanja negara. Rasio bunga utang terhadap pendapatan pada 2001 meningkat sekitar 4,6%, dari 24,4% menjadi 29%, sedangkan terhadap belanja meningkat sebanyak 2,9% menjadi 25,5% pada tahun yang sama.

Saat itu Indonesia dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perangkap utang (debt trap). Pemerintahan Gus Dur mencatatkan hal yang positif dalam hal utang, yaitu terjadi penurunan jumlah utang luar negeri sebesar US$21,1 miliar, dari US$178 miliar pada 1999 menjadi US$157,3 miliar pada 2001.

Namun, utang nasional secara keseluruhan tetap meningkat, sebesar Rp38,9 triliun, dari Rp1.234,28 triliun pada 2000 menjadi Rp1.273,18 triliun pada 2001. Sementara itu, porsi utang terhadap PDB juga mengalami penurunan, dari 89% pada 2000 menjadi 77% pada 2001.

Utang Era Megawati (2001 - 2004)

Masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri hanya berlangsung selama tiga tahun (2001 - 2004). Namun, pada masa pemerintahan presiden wanita Indonesia pertama ini banyak terjadi kasus-kasus yang kontroversial mengenai penjualan aset negara dan BUMN.

Pada masanya, Megawati melakukan privatisasi dengan alasan untuk menutupi utang negara yang makin membengkak dan imbas dari krisis moneter pada 1998/1999 yang terbawa sampai saat pemerintahannya. Maka, menurut pemerintah saat itu, satu-satunya cara untuk menutup APBN adalah melego aset negara. Privatisasi pun dilakukan terhadap saham-saham perusahaan yang diambil alih pemerintah sebagai kompensasi pengembalian kredit BLBI dengan nilai penjualan hanya sekitar 20% dari total nilai BLBI.

Bahkan, BUMN sehat seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah pun ikut diprivatisasi. Selama tiga tahun pemerintahan ini terjadi privatisasi BUMN dengan nilai Rp3,5 triliun (2001), Rp7,7 triliun (2002), dan Rp7,3 triliun (2003). Jadi, total Rp18,5 triliun masuk ke kantong negara.

Alhasil, selama masa pemerintahan Megawati terjadi penurunan jumlah utang negara dengan salah satu sumber pembiayaan pembayaran utangnya adalah melalui penjualan aset-aset negara.

Pada 2001 utang Indonesia sebesar Rp1.273,18 triliun turun menjadi Rp1.225,15 triliun pada 2002, atau turun sekitar Rp48,3 triliun. Namun, pada tahun-tahun berikutnya utang Indonesia terus meningkat sehingga pada 2004, total utang Indonesia menjadi Rp1.299,5 triliun.

Rata-rata peningkatan utang pada tiga tahun pemerintahan Megawati adalah sekitar Rp25 triliun tiap tahunnya. Namun, terdapat hal positif lain yang terjadi pada masa pemerintahan Megawati, yaitu naiknya tingkat penyerapan pinjaman luar negeri Indonesia.

Sejak 2002 hingga 2004, penyerapan utang mencapai 88% dari total utang luar negeri yang ada. Hal ini memperlihatkan bahwa pemerintah makin serius menggunakan fasilitas utang yang ada untuk kegiatan pembangunan. Keseriusan pemerintah dapat dilihat dari porsi utang terhadap PDB yang makin turun, yakni dari 77% pada 2001 menjadi 47% pada 2004.

Menurunnya rasio utang terhadap PDB turut menyumbang meningkatnya rating kredit yang dilakukan oleh S&P dari CCC+ pada 2002 menjadi B pada 2004.

Utang Era SBY (2004 - 2009)

Pemerintahan SBY-JK dengan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-nya menjadi pemerintahan pertama yang dipilih melalui sistem pemilihan umum langsung di Indonesia. Sistem politik yang makin solid membawa ekspektasi dan respons positif pada kondisi perekonomian Indonesia.

Hal ini terlihat dari nilai PDB Indonesia yang terus meningkat hingga mendekati angka Rp1.000 triliun pada 2009. Tingkat kemiskinan pun diklaim “turun” oleh pemerintah (meskipun sampai saat ini definisi mengenai kemiskinan masih menjadi perdebatan).

Namun, bagaimana dengan masalah pengelolaan utang negara pada pemerintahan ini ?

“Diwarisi” utang oleh pemerintahan sebelumnya sebesar Rp 1.299,5 triliun, jumlah utang pada masa pemerintahan SBY justru terus bertambah hingga menjadi Rp1.700 triliun per Maret 2009. Dengan kata lain, rata-rata terjadi peningkatan utang sebesar Rp. 80 triliun setiap tahunnya atau hampir setara dengan 8% PDB tahun 2009.

Utang pemerintah sebesar Rp1.700 triliun itu terdiri dari Rp968 triliun utang dalam negeri (57%) dan Rp732 triliun utang luar negeri (43%). Pinjaman luar negeri digunakan untuk membiayai program-program dan proyek-proyek pemerintah yang berkaitan dengan kemanusiaan, kemiskinan, lingkungan, dan infrastruktur.

Meski jumlah utang bertambah besar, dalam lima tahun pemerintahan SBY, penyerapan utang terhitung maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat penyerapan yang rata-rata mencapai 95% dari total utang.

Lalu, apa implikasi dari penyerapan ini ?

Nilai PDB Indonesia pun makin tinggi. Apabila ditelusuri lebih jauh, selama lima tahun terakhir, rasio utang negara terhadap PDB terlihat makin kecil, hingga menyentuh 32% pada 2009.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan fakta-fakta bahwa utang makin besar, tetapi tingkat penyerapan tinggi, PDB makin tinggi, dan rasio utang terhadap PDB makin rendah ?

Dengan jumlah utang meningkat rata-rata Rp 80 triliun per tahun selama lima tahun terakhir, sementara nilai PDB rata-rata meningkat 6,35% tiap tahun pada 2005 - 2008 (dengan memakai tahun dasar 2000 sesuai data Bank Indonesia) dengan target PDB 2009 mendekati angka Rp1.000 triliun, dan rasio utang terhadap PDB makin kecil, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor kunci pembangunan negara ini adalah utang.

Rasio utang yang makin mengecil terhadap PDB bukanlah karena utangnya yang mengecil, melainkan karena PDB-nya yang makin membesar. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan RI, dapat dilihat bahwa pada APBN tahun anggaran 2009 terdapat kekurangan pembiayaan anggaran sebesar Rp204,837 miliar, yang terdiri dari Rp116,996 miliar untuk kebutuhan pembayaran utang (57%) dan Rp139,515 miliar untuk menutupi defisit (68%).

Lalu, dari manakah sumber pembiayaan untuk menutupi kekurangan pembiayaan anggaran ini ?

Lagi-lagi berasal dari utang, sebesar 99% atau Rp201,772 miliar, baik berupa utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Jadi, boleh dibilang, Indonesia membayar utang dengan berutang alias gali lubang tutup lubang.

Masih menurut sumber data yang sama, pada 2033, atau 24 tahun dari sekarang, 98% utang dalam negeri pemerintah senilai Rp129 triliun akan jatuh tempo. Menurut data The Indonesia Economic Intelligence (IEI), dana sebesar Rp129 triliun itu merupakan dana eks Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang memang sudah harus dibayarkan kepada Bank Indonesia. BLBI sendiri hingga kini masih menjadi isu yang kontroversial dan belum tuntas penyelesaiannya.

Saat membuka Sidang Pleno I Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan bahwa pemerintah sekarang boleh dibilang sedang bangkrut atau tidak punya cukup uang untuk membangun dan membiayai perekonomian negara ini.

“Government is broke. Penerimaan pemerintah berkurang karena pajak yang masuk berkurang,” kata Presiden ketika menyikapi kondisi perekonomian Indonesia saat krisis global terjadi. Pernyataan tersebut merefleksikan kondisi ekonomi nasional yang sangat rapuh saat menghadapi krisis. Maka, jalan untuk keluar dari masalah ini adalah lagi-lagi dengan berutang.

Utang Rp1.700 Triliun, Siapa Tanggung Jawab? (Utang Era Soekarno Hingga Sekarang)
http://polhukam.kompasiana.com/2010/05/08/utang-rp1700-triliun-siapa-tanggung-jawab-utang-era-soekarno-hingga-sekarang/

Sri Mulyani ditarik oleh Bank Dunia untuk menyelematkannya dari kejaran KPK ?

Bisa jadi iya, karena sekalipun KPK menyatakan keyakinannya dengan mengatakan tak masalah asalkan masih di muka dunia, maka pemeriksaan akan tetap berjalan terus. Akan tetapi kenyataannya, toh KPK tak berkutik dalam kasus lainnya, terbukti tak berkutik dengan kepergian Nunun Nurbaeti yang pergi ke Singapura untuk berobat jalan saja.

Namun bisa jadi juga tidak, mengingat proteksi yang diberikan rezim pemerintah saat ini terhadap kasus ini luar biasa all out-nya. Terbukti dengan pemberian hak istimewa dalam kunjungan sowannya KPK ke gedung Kemenkeu. Bahkan dengan dalih soal tata tertib, maka berkas hasil investigasi Pansus pun tak pernah terkirimkan ke KPK.

Jadi, dalam konteks apa Sri Mulyani ditarik Bank Dunia di saat tekanan terhadapnya semakin hari semakin kuat itu ?

Patut diduga, pihak Bank Dunia tak ingin “orangnya” menjadi bagian dari sebuah rezim yang akan tumbang. Istilah kasarnya, pihak Bank Dunia tak ingin Sri Mulyani yang merupakan anak kesayangannya itu masih menjadi menteri di sebuah pemerintahan yang mereka perkirakan akan segera roboh.

Jika rezim roboh di saat Sri Mulyani sudah tidak menjadi bagian daripadanya, maka catatan karier Sri Mulyani menjadi terhindar dari noda, dan di masa mendatang pihak Bank Dunia tidak kehilangan orang yang masih bisa berkiprah lagi di Indonesia bagi kepentingannya.

Lho, apakah rezim pemerintahan Presiden SBY akan segera lengser keprabon ?

Bisa jadi iya, jika KPK dalam kasus Century ini segera bisa menemukan titik masuk yang tepat sehingga permasalahannya langsung mengarah ke jantung kekuasaan pemerintahan. Namun bisa jadi juga tidak, jika KPK menemui jalan buntu untuk masuk ke titik permasalahannya yang sangat patut diduga akan mengarah ke jantung kekuasaan pemerintahan.

Lha, apa KPK sudah menemukan titik permasalahannya itu ?

Bisa jadi iya, mengingat KPK sudah berani mulai menjamah Sri Mulyani dan Boediono, walau kelihatannya KPK masih malu-malu sehingga rela sowan kepada pihak yang terperiksanya. Namun, bisa jadi juga tidak mengingat Bibit dan Chandra terlihat kikuk yang menyiratkan adanya trauma akan permasalahan yang pernah ditimpakan kepada mereka.

Kalau pun benar begitu, jika ternyata rezim pemerintahan Presiden SBY masih tetap kokoh, maka apakah pihak Bank Dunia tidak rugi kehilangan operator handalnya di jantung kekuasaan kebijakan ekonomi Indonesia ?

Bisa jadi tidak rugi, karena kalau pun dugaan dan perkiraan Bank Dunia meleset, toh jika kasus Century sudah mereda maka Sri Mulyani nantinya masih dimasukkan lagi ke jantung kekuasaan pemerintahan yang bahkan mungkin dengan posisi jabatan dengan level yang lebih tinggi dan menentukan.

Dan lagian, dengan kepergian Sri Mulyani ini maka KPK akan menjadi kesulitan meneruskan pemeriksaan lebih mendalam lagi atas kasus Century ini, yang sangat bisa jadi permasalahannya bisa berkembang mengarah ke jantung kekuasaan pemerintahan.

Berarti, kepergian Sri Mulyani ini menguntungkan bagi karier Sri Mulyani di masa mendatang dan juga bagi Presiden SBY dong ?

Bisa jadi begitu, menguntungkan bagi kedua-duanya. Mungkin jika dalam permainan sepakbola dapat disamakan dengan strategi save the keeper (menyelamatkan keadaan dengan memberikan bola kepada kiper) disaat tim lagi dalam posisi tertekan. Jadi, ya mungkin bisa juga dikatakan bahwa pihak Bank Dunia itu dari dulu sampai sekarang itu memang masih tetap sayang kepada Sri Mulyani dan Presiden SBY.

Lalu, kenapa pihak Bank Dunia itu sayang sama Sri Mulyani dan Presiden SBY ?

Bisa jadi karena dua tokoh pimpinan Indonesia itu maka kepentingan Bank Dunia di Indonesia menjadi terakomodasi dengan baik.

Wah, apakah itu berarti Sri Mulyani dan Presiden SBY adalah komprador dan anteknya Bank Dunia di Indonesia ?

Sulit untuk mengatakannya iya, karena tidak berarti begitu. Jikapun kepentingannya Bank Dunia terakomodasi maka bukan berarti mereka itu adalah anteknya.

Ah, apa iya begitu ?

Ya’..Wallahulambishshawab.

Catatan Kaki :

    Artikel bertema Sri Mulyani dapat dibaca di “Sri Mulyani Wapres 2014-2019″ , dan “Menggagas duet Syafrie  -  Mulyani” , serta “Pilih Sri Mulyani atau Susno Duadji ?”
    Artikel bertema lainnya dapat dibaca di “Sekolah Negeri tak Gratis, Swasta pun tetap Mahal” , dan “Indonesia Hamil Tua” , serta “Rakyat Tuyul dan Pemimpin Pencuri” .
    Sri Pergi, SBY Terjungkal
    http://polhukam.kompasiana.com/2010/05/08/sri-pergi-sby-terjungkal/

Konon katanya yang disebut dengan Redenominasi itu berbeda dengan yang disebut dengan Sanering. Jika redenominasi itu adalah pemotongan nilai mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai mata uang suatu menjadi lebih kecil tanpa jaminan tidak berubahnya nilai tukarnya.

Dalam redenominasi, uang Rp 10.000 dipotong menjadi Rp 10, dengan harga barang yang semula Rp 10.000 juga berubah menjadi seharga Rp 10. Fisik uangnya tak digunting sebagaimana yang dilakukan di program sanering. Pecahan lama sebelum redenominasi tetap berlaku, namun disertai dengan cara penulisan baru, dan penerbitan pecahan baru yang sudah disesuaikan dengan nilai redenominasinya.

Berbeda dengan sanering yang secara fisiknya uang dipotong atau digunting. Dimana uang Rp 10.000 dipotong menjadi Rp 10, sehingga dengan demikian harga barang yang semula Rp 10.000 belum tentu berubah menjadi seharga Rp 10.

Jadi, redenomanasi hanya semacam penyederhanaan penulisannya saja yang tak akan merugikan rakyat. Sedangkan sanering itu merugikan rakyat, lantaran yang berubah adalah nilai uangnya. Pendek kata, redenominasi itu jauh lebih baik daripada sanering.

Dan perlu dicatat, konon menurut kabar program sanering itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi. Sedangkan program redenominasi itu dilakukan bukan karena ekonomi negara itu buruk serta bukan karena hiper inflasi. Namun semata-mata hanya karena tujuan efisien penulisan dan pembukuan saja.

Benarkah begitu ?

Bisa jadi benar memang begitu, redenominasi berbeda dengan sanering, dan redenominasi tak akan merugikan rakyat. Ya, apa mau dikata, jika pakar ekonomi sudah yang mengatakannya berdasarkan teori ekonominya yang diyakininya bagaikan kebenaran mutlaknya ayat-ayat kitab suci, maka rakyat ya nurut dan manut saja apa kata para pakar ekonomi.

Namun sesungguhnya, teori-teori ilmu ekonomi itu bukanlah wahyu Illahi yang mutlak kebenarannya, dan ilmu ekonomi itu tetaplah bukan ilmu matematika yang eksak dan pasti jumlah hasilnya sesuai dengan rumusnya. Sehingga tetap saja yang namanya redenominasi itu ternyata juga tidak mutlak pasti benar begitu sesuai dengan teorinya.

Pemotongan sejumlah digit nominal mata uang pada program redenominasi itu ternyata juga ada potensi meleset, dalam arti kata tak serta merta pasti diikuti dengan penyesuaian harga berdasarkan nominal baru itu. Contohnya adalah yang pernah terjadi di Zimbabwe, program redenominasi justru memicu inflasi ribuan persen.

Otoritas moneter Zimbabwe tak melakukan pemotongan atas fisik uangnya, tapi dengan mengeluarkan pecahan dalam nilai baru yang sudah disesuaikan dengan nilai redenominasi. . Namun, kenyataannya perdagangan barang dan jasa serta nilai tukarnya tak patuh dengan nilai redenominasi itu.

Sehingga, dimana program yang ingin dijalankannya itu sebenarnya adalah redenominasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan menjadi mirip tak ubahnya seperti dampak sanering.

Terlepas dari perdebatan soal definisi dan tetak bengek perbedaan antara redenominasi dengan sanering,sebenarnya ada apa kok Indonesia mulai mewacanakan akan melakukan redenominasi ?

Konon menurut kabar, dari hasil riset Bank Dunia (World Bank) menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua di dunia, dengan pecahan mata Rupiah sebesar 100.000. Negara pemilik pecahan mata uang terbesar di dunia adalah Vietnam, dengan pecahan mata uang Dong Vietnam sebesar 500.000.

Sebenarnya tadinya itu Indonesia ada di urutan ketiga, dimana Zimbabwe di urutan pertama dengan pecahan sebesar 10 juta dolar Zimbabwe, lalu Vietnam dengan di rangking kedua dengan pecahan 500.000 Dong Vietnam, selanjutnya Indonesia di peringkat ketiga dengan pecahan 100.000 Rupiah.

Namun lantaran kemudian Zimbabwe melakukan redenominasi maka Vietnam naik rangking dari kedua menjadi pertama, dan Indonesia pun naik juga tingkatannya dari ketiga menjadi urutan kedua. Nah, jika Indonesia kemudian mengikuti jejak langkah Zimbabwe dengan melakukan redenominasi, maka Indonesia mungkin akan terlepas dari daftar negara-negara dengan pecahan mata uang terbesar di dunia.

Lho, bukankah pecahan mata uang itu berkaitan dengan tingkat besar kebutuhan pecahan mata uang dalam transaksi yang secara tidak langsung juga mencerminkan tingkat inflasi juga ? Berarti, selama ini menurut laporan resmi inflasi rendah tapi sesungguhnya inflasinya tinggi ? berarti ekonomi indonesia jeblok ?

Ya, tidak berarti begitu. Haruslah diingat, Indonesia itu pernah mempunyai Menteri Keuangan Terbaik di Asia dan di Dunia, jadi mosok jeblok begitu. Tapi, memang jika dirasa-rasakan, setiap tahun selalu ada kenaikan harga.

Harga es cendol di tahun lalu tentu lebih murah daripada harga es cendol di tahun ini. Begitu juga biaya sekolah, biaya rumah sakit, dan biaya hidup lainnya, termasuk dan tak terkecuali harga mobil juga sepeda motor.

Tapi ya sudahlah, rakyat jelata manut dan nurut saja apa kata para pakar ekonomi bahwa ekonomi Indonesia kuat dan hebat serta spektakuler lantaran dikelola oleh Menteri Keuangan Terbaik di Asia dan di Dunia, sehingga inflasi di Indonesia pun itu rendah saja.

Walau ya itu tadi, kebanyakan rakyat kebanyakan itu merasakan bahwa pendapatannya itu semakin tahun semakin tak sebanding dengan biaya kehidupannya. Dimana kecepatan kenaikan pendapatannya kalah tinggi dibanding dengan kenaikan biaya kehidupannya.

Rakyat manut saja, bahwa yang dirasakannya itu bukanlah inflasi tinggi. Ndak usah berdebat dan jalani hidup saja, toh Allah SWT tak akan mungkin membiarkan hamba-Nya eyang soleh dan solekah itu mengalami kesulitan dan mati kelaparan.

Toh, jika redenominasi gagal berbuah hasil sesuai teorinya, sang Menteri Keuangan Terbaik di Asia dan di Dunia pun tak akan bisa lagi ikutan disalahkan, lantaran sudah menjadi petinggi di jajaran pimpinan tertingginya Bank Dunia.

Oh ya, menurut kabar rumornya, kewenangan mengetuk palu perihal keputusan kebijakan redenominasi itu, jika jadi dilaksanakan, ada pada pemerintah (lembaga eksekutif) bukan pada BI (Bank Indonesia).

Akhirulkalam, janganlah panik, ikuti petuahnya para pakar ekonom bahwa redenominasi itu bukan sanering. Dimana redenominasi itu hanyalah efesiensi dipenulisannya saja atau hanya merupakan bentuk penyederhanaan nominal saja, yang tak akan mengubah nilai barang.

Semoga begitu.
Wallahulambishshwab

Catatan Kaki :

    Artikel tema terkait dapat dibaca di “Inflasi Tinggi, Sanering-kah Ini ?” , dan “Cukup 1 Riyal Saja” , serta “Gaji standar Lokal, Biaya Hidup standar Internasional” , dan “Sekolah Negeri tak Gratis, Swasta pun tetap Mahal” .
    Artikel tema lainnya dapat dibaca di “Sri Pergi, SBY Terjungkal” , dan “Pilih Sri Mulyani atau Susno Duadji ?” , serta “Jangan Remehkan Priok” , dan “Rakyat Tuyul dan Pemimpin Pencuri” .
    Redenominasi dan Sanering
    http://ekonomi.kompasiana.com/2010/05/08/redenominasi-dan-sanering/

Nasib anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dengan bekal kemampuan otak rata-rata yang standar saja memang tak beruntung di negeri ini. Keinginan mereka untuk mendapatkan pendidikan di bangku sekolah dan kuliah di perguruan tinggi haruslah dipupusnya.

Ironisnya, keadaan seperti itu justru terjadi di saat anggaran pendidikan telah berhasil diperjuangankan sehingga mencapai 20% dari total APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara). Alasan mahalnya biaya pendidikan selalu bernada klasik yaitu anggaran yang 20% dari APBN itu belum mencukupi untuk melaksanakan pendidikan gratis di sekolah-sekolah negeri.

Ajaibnya, ditengah keluhan anggaran yang tak mencukupi itu justru negara sangat berbaik hati membagi-bagikan anggaran uang negara itu tak hanya untuk khusus diperuntukkan bagi sekolah negeri saja, namun sekolah swasta pun ikut kebagian mendapatkan jatah uang dari anggaran APBN. Hasilnya, sekolah-sekolah negeri menjadi tak bisa digratiskan dan sekolah-sekolah swasta pun tetap mahal.

Mungkin ada diantara kita yang masih bernafas lega dan merasa beruntung, lantaran mereka merasa bahwa anak-anak mereka tak akan terlantar dalam pendidikan, disebabkan dirinya merupakan karyawan kantoran yang bukan gelandangan dan pemulung.

Mereka merasa bahwa kerepotan lantaran biaya pendidikan itu hanyalah persoalan miliknya anak-anak dari kaumnya para pengemis dan gelandangan serta pemulung saja, bukan persoalannya anak-anak dari karyawan kantoran.

Ya, bisa jadi memang begitu, lantaran mereka adalah karyawan kantoran yang gajinya sangat memadai. Atau, jika pun karyawan kantoran yang sesungguhnya gajinya juga tak memadai tapi anak-anaknya masih kecil sehingga belum merasakan mahalnya biaya pendidikan di zaman ini.

Atau, bisa juga mereka adalah karyawan kantoran yang gajinya tak memadai akan tetapi anaknya berotak brilian nan jenius sehingga anak mereka mendapatkan beasiswa untuk biaya pendidikannya.

Terlepas dari soal gaji yang memadai atau tidak memadai, dan perdebatan soal setuju atau tidak setuju dengan pendapat bahwa biaya sekolah di zaman ini memang mahal, yang jelas Menteri Diknas secara tersirat telah mengakui bahwa di saat ini memang biaya pendidikan itu mahal.

“Memang harus ada regulasi agar sekolah tidak memungut biaya terlalu mahal, hingga belasan juta” , kata Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan Nasional. “Akan kita dorong (mekanisme) subsidi silang agar sekolah tidak menjadi eksklusif dan elite. Ini harus diatur. Kalau tidak, nanti sekolah X, misalnya, sudah (kumpulan) anak pintar, kaya-kaya lagi“, tuturnya. Begitu pernyataan Mendiknas yang dimuat di harian Kompas dalam berita yang bertajuk “Pendidikan Kian Menguras Air Mata”.

Kembali ke bahasan soal alasan soal mahalnya biaya pendidikan, biasanya alasan klasik yang lainnya adalah soal konsekuensi dimana sekolah yang berkualitas itu memang mahal biayanya. Ya, bisa jadi begitu, biaya sekolah berkualitas memang mahal, sedangkan yang tak mahal itu berarti tak berkualitas. Jika begitu, maka hasil produk dari sekolah tak berkualitas tentunya produk lulusannya juga tak berkualitas.

Akhirulkalam, berdasarkan alasan dan logika itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa seluruh jajaran pemimpin negeri ini beserta seluruh menteri-menteri kabinetnya lengkap dengan semua anggota parlemennya itu semuanya merupakan hasil dari pendidikan yang tak berkualitas. Lantaran mereka-mereka itu merupakan produk lulusan dari sekolah-sekolah di zamannya biaya sekolah masih belum mahal alias masih murah .

Wallahulambishshawab.

Catatan Kaki :

    Artikel dengan tema terkait soal biaya pendidikan dapat dibaca di “SBY dan Biaya Pendidikan” .
    Artikel dengan tema lainnya dapat dibaca di “Gaji Lokal, Biaya Hidup Internasional” , dan “Industri Pariwisata Gigolo Kuta Bali” , serta “Indonesia Hamil Tua” , dan “Pilih Sri Mulyani atau Susno Duadji ?”
    Negeri Tak Gratis, Swasta Pun Mahal
    http://edukasi.kompasiana.com/2010/05/08/negeri-tak-gratis-swasta-pun-mahal/

Saya tertarik dengan tilisannya kang pepih yang berjudul “Mau Tahu Seberapa Pantas Gajimu ?”

Saya merasakan ada nuansa “visi modern dan internasional” yang direfleksikan dengan adanya kekhawatiran soal jangan sampai gaji kita ada di bawah standar dari yang seharusnya bisa (pantas) didapatkan. Namun ada nuansa “kearifan tradisional” yang nrimo ing pandum yang direfleksikan dengan adanya kepasrahan dari apa yang telah diterimanya dari perusahaan tempatnya bekerja selama 20 tahun ini yang sudah terasa cukup untuk menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak.

Jadi seyogyanya cukup bersyukur sajalah. Inilah mungkin ciri khasnya manusia-manusia yang berbudaya timur, tentunya mungkin termasuk diri saya ini. Ada sisi baiknya, namun tentu banyak pula sisi lemahnya. Bagi para pemimpin yang culas dan zalim, soal nrimo dan pasrah ini akan selalu diekploitasi agar rakyatnya memaklumi kegagalan kinerja pemerintah yang dipimpinnya.

Bahkan dulu, pernah ada ustadz paling kondang yang dengan rela hati menjadikan dirinya sebagai bintang iklan kenaikan harga BBM. Didalam iklan itu, si ustadz mentausiahi rakyat Indonesia agar nrimo dengan kenaikan harga BBM yang berlipat kali itu, dan disikapi saja dengan tawakal.

Giliran disuruh pasrah dan nrimo, rakyat digiring kearah suasana batin yang menghormati “kearifan tradisional”. Padahal disisi lain, setiap kali menaikkan harga komoditi tertentu, seperti harga BBM misalnya, pendukung pemerintah ribut membelanya dengan mengkaitkannya dengan standar harga internasional.

Saat biaya pendidikan perguruan tinggi melonjak naik sebab akibat dari kebijakan BHP/BHMN dan keengganan pemerintah mengucurkan subsidinya, alasannya pun internasinoal, yaitu agar dapat bersaing dengan standar internasional. Semua menjadi serba internasional, termasuk biayanya tentunya.

Namun giliran diperbandingkan dengan biaya pendidikan di India misalnya (ini India juga standar internasional lho) kok malah berang dan marah serta membentak. Untuk perbandingan kebijakan pemerintah Indonesia dengan pemerintah India silahkan baca di “Pak eSBeye dan Pendidikan yang Meng-Internasional” dengan mengklik disini.

Visi internasional itu baik namun jangan hanya dipakai untuk jargon mengelabuhi rakyat, seperti dalam soal hutang Negara dipakai standar internasional yang patokannya adalah Rasio Hutang terhadap PDB. Padahal itu cuma menyembunyikan fakta bahwa jumlah hutang negara yang sebenarnya malahan naik tajam secara jumlah nominalnya.

Ndak masalah sih, jika semua mau diinternasionalkan, termasuk katanya BUMN pun juga akan diprivatisasi kepada pihak asing agar menginternasional. Ndak masalah juga jika biaya hidup juga menginternasional, harga kebutuhan pokok juga menginternasional.

Namun masalahnya, apakah gajimu dan pendapatanmu juga sudah menginternasional pula ? Jangan sampai, gaji standar lokal, tapi biaya hidup dan harga kebutuhan pokok berstandar internasional. Giliran menyekolahkan anak ke perguruan tinggi yang standarnya katanya internasional, gaji yang standar lokal ini tak mampu untuk menjangkau biaya kuliah Universitas Negeri yang biaya kuliahnya berstandar internasional.

http://umum.kompasiana.com/2009/07/03/gaji-standar-lokal-biaya-hidup-standar-internasional/



itu dia Sejarah Hutang Indonesia dari Masa soekarno

◄ Newer Post Older Post ►