Penyederhanaan nominal alias redenominasi bukanlah isu baru. Tiga tahun lalu, pemerintah menggulirkan gagasan serupa, tapi kemudian melempem, setelah ditentang banyak kalangan, termasuk DPR. Namun, kali ini, rencana redenominasi agaknya berdering lebih nyaring. Selain meniup tanda dimulai sosialisasi, pemerintah juga akan segera mengajukan RUU Redenominasi kepada DPR. Setelah melalui masa transisi dan sosialisasi, diharapkan penyederhanaan nilai mata uang bisa dimulai tahun 2017 mendatang.
Persoalannya, apa arti redenominasi bagi ekonomi dan buat hidup kita sehari-hari?
Redenominasi adalah penyederhanaan nominal mata uang, tanpa mengubah nilai tukarnya. Demi kepraktisan, Bank Indonesia (BI) dan pemerintah akan membuang tiga nol terakhir dalam uang rupiah kita. Jadi, pecahan Rp 10.000 ungu bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II yang kini beredar, misalnya, kelak akan ditarik, dan diganti pecahan baru dengan nominal Rp 10, tapi nilainya tetap sama. Jika uang ungu bergambar Sultan Mahmud bisa dipakai untuk membeli semangkok bakso, pecahan Rp 10 penggantinya kelak, juga dapat membeli bakso yang sama.
Jadi jelas, seperti kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo, redenominasi bukanlah sanering atau pemotongan nilai uang. Nilainya tidak dipotong, yang diringkas hanya cara penulisan nominalnya saja. Singkatnya, tampilannya saja yang diubah.
Lalu kenapa tampilan itu harus diubah? Menurut Menteri Agus Martowardojo, redenominasi perlu dilakukan karena pecahan uang rupiah kita saat ini jumlah digitnya terlalu banyak, sehingga bisa menyebabkan inefisiensi. Nominal uang rupiah kita saat ini, tidak praktis.
Dalam proses input dan pelaporan data, misalnya, jumlah digit yang terlalu banyak akan merepotkan dan mengundang kesalahan. Mengetik "Rp 10", misalnya, tentu lebih ringkas dan lebih cepat ketimbang mengetik "Rp 10.000". Jika yang diketik hanya satu atau 10 data, selisihnya mungkin tidak kentara, tapi bagaimana jika ada jutaan atau miliaran entry data yang harus di-input?
Lebih Efisien
Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution memberi gambaran kerepotan tersebut dalam angka-angka yang lebih jelas. Menurut Darmin, nilai transaksi antarbank yang direkam bank sentral, setiap hari kini telah mencapai Rp 404 triliun. Ini melonjak hampir tiga kali lipat dari tahun 2009. "Tiga tahun naik tiga kali lipat, bagaimana lima tahun ke depan? Itu cuma transaksi sehari, lalu berapa jumlahnya dalam setahun? Bayangkan, betapa banyak jumlah digit 0 yang ada di pencatatan di Bank Indonesia," kata Darmin dalam acara sosialisasi redenominasi.
Itu sebabnya, Darmin menegaskan pentingnya penyederhanaan nilai nominal agar transaksi, pencatatan, dan pelaporan lebih efisien. "Dengan redenominasi, jumlah digit rupiah lebih sederhana. Penyelesaian dan pencatatan transaksi lebih singkat dan biayanya lebih murah," katanya.
Darmin menambahkan, redenominasi penting untuk penyederhanaan pembukuan. Penulisan nilai barang dan jasa akan lebih ringkas dan sederhana, begitu juga penulisan uang. Ini akan menyederhanakan sistem akuntansi dalam sistem pembayaran.
Jumlah digit yang kebanyakan juga merumitkan penghitungan, sehingga berpotensi menimbulkan kekeliruan, juga makan waktu. Dalam sistem transaksi nontunai, misalnya, jumlah digit yang kepanjangan bisa melampaui jumlah digit yang ditoleransi oleh infrastruktur sistem pembayaran dan sistem pencatatan.
Pengamat pasar modal dan pasar uang, Budi Frensidy, punya gambaran lebih gamblang. Angka-angka agregat ekonomi kita ditulis dalam satuan angka yang begitu besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana pihak ketiga di perbankan, atau kapitalisasi pasar saham, misalnya, sudah ribuan triliun. Ini angka yang besar sekali, sulit dibayangkan.
Kelak, dengan perekonomian yang terus tumbuh, angka-angka ini terus membengkak menjadi ratusan ribu triliun atau jutaan triliun, sehingga kian sulit dibayangkan betapa banyak deretan nol di belakang satuan ini. Angka-angka itu juga sering kali sulit diproses oleh kalkulator finansial yang lazimnya hanya memuat 10 digit alias hanya untuk satuan belasan miliar saja. Nah, redenominasi akan menyederhanakan atau meringkas deretan panjang ini.
Agar masyarakat tidak bingung, pemerintah berjanji untuk melakukan penyederhanaan ini secara bertahap, bukan sekaligus. Jadi, pecahan Rp 10.000 tadi, misalnya, akan beredar mendampingi pecahan Rp 10 uang baru. Secara bertahap uang ungu ditarik dan pelan-pelan, digantikan uang baru. Proses ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun.(Berita Satu)
Penulis: Dwi Setyo Irawanto/AB