Kamis, 28 Februari 2013

Fenomena Rok Mini

Fenomena rok mini memang sudah sejak lama menjadi standar fisik penunjang penampilan bagi kalangan perempuan bekerja, khususnya yang tidak menutup aurat. Dan terkait dengan hal ini, maka sekali lagi, ada-ada saja yang diurus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah merealisasikan sejumlah proyek fasilitas internal DPR bernilai milyaran rupiah, kini lembaga yang mengatasnamakan Wakil Rakyat itu mengatur pakaian para stafnya. Aturan itu adalah, DPR melarang perempuan yang menjadi stafnya memakai rok mini. Mereka harus berpakaian sopan dan tidak boleh berpenampilan seksi (haluan kepri, 06/03/2012).
Fenomena, Rok Mini


Berkenaan dengan citra DPR sebagai tempat bertugasnya anggota dewan yang terhormat, maka Ketua DPR, Marzuki Alie pun angkat bicara. Ia menyatakan bahwa pelarangan penggunaan rok mini bagi staf menjadi bagian tugas kesekjenan. Namun, ia berpandangan bahwa pakaian perempuan yang tidak pantas menjadi salah satu pendorong kaum laki-laki untuk melakukan tindakan asusila hingga pemerkosaan. “DPR ini nggak ngurusi rok mini. Tapi, kita tahu, banyak sekali terjadinya perkosaan, kasus-kasus asusila, karena perempuannya tidak berpakaian yang pantas sehingga membuat hasrat laki-laki itu menjadi berubah. Itu yang harus dihindari. Namanya laki-laki, ada pakaian yang tidak pantas, itu yang menarik laki-laki itu akhirnya berbuat sesuatu,” kata Marzuki di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (6/3/2012) (tribunnews.com, 06/03/2012).

Menurut Marzuki, dengan negara Indonesia berlandaskan Pancasila, maka setiap warganya berhak berpakaian dengan jenis dan ukuran apapun. “Orang mau berpakaian ini, kita tidak mungkin melarang. Akan tetapi, berkaca dari kasus-kasus pelecehan dan perkosaan yang ada, maka sebaiknya perempuan menggunakan pakaian yang pantas, patut, dan sesuai kultur bangsa Indonesia. Itu perlu supaya tidak tejadi hal-hal yang kita tidak inginkan. Itu saya hanya mengimbau untuk di luar (DPR),” lanjut Marzuki, yang sebelumnya juga mengomentari tentang sampah kondom yang berserakan di lingkungan lembaga yang dipimpinannya itu (tribunnews.com, 06/03/2012). Pernyataan ini khas, karena lahir dari konsep hak asasi manusia, sebagai produk demokrasi kapitalistik.

Sayangnya, berita ini sudah terlanjur booming sebagai berita nasional, termasuk di sejumlah jejaring sosial. Kini masyarakat tahu betul bagaimana tindak-tanduk anggota DPR yang terhormat itu. Citra anggota DPR ‘terjun bebas’ di mata sebagian masyarakat. Maka muncullah sejumlah guyonan tidak lucu seperti “Sejak kapan anggota DPR concern dengan urusan moral. Oh, mungkin mau dimulai sejak sekarang kali ya. Tapi ingat, yang diimbau adalah ‘perbaikan’ moral orang lain, bukan perbaikan moral anggota dewan”. Guyonan lain yang tak kalah pedas misalnya “Rok mini dilarang, dan kalo rok sudah setinggi lutut dilarang untuk naik lebih tinggi lagi. Lalu bagaimana dengan rencana kenaikan BBM? Jika kenaikan rok dilarang, maka kenaikan harga BBM kemungkinan besar akan disetujui anggota DPR. Kalo harga BBM udah setinggi lutut, naikan lagi biar semakin sehat.” (kompasiana, 07/03/2012).

Hal ini pun cukup beralasan ketika anggota Komisi IX DPR, Rieke Dyah Pitaloka, mencurigai isu pelarangan rok mini hanyalah permainan untuk mengalihkan isu kenaikan bahan bakar minyak (BBM) yang kini semakin marak. “Ada pengalihan isu. Rok mini tidak akan menyebabkan pengaruh pada kebutuhan pokok,” ujarnya saat ditemui wartawan di DPR. “Saya merasa ini ada pengalihan isu. Kenapa publik diarahkan pada rok mini,” imbuh Rieke. Usaha untuk mengalihkan isu tersebut dinilai tidak substantif. Lebih lanjut Rieke mengatakan bahwa anggota dewan harus fokus pada tugas pokoknya masing-masing (waspadaonline, 06/03/2012).

Perempuan yang akrab disapa Oneng ini mengimbau kepada anggota dewan untuk mengkritisi proyek pembangunan ruang Banggar DPR dengan dana Rp 20 miliar, ketimbang mengedarkan pelarangan rok mini. “Fokus pada tugas pokok dewan sendiri untuk membicarakan yang lebih penting, misalnya ruang banggar yang tidak penting,” pungkasnya. Peraturan tentang penampilan perempuan di gedung wakil rakyat ini pun didukung oleh Wakil Ketua DPR dari fraksi PDIP, Pramono Anung. Menurutnya, peraturan ini penting untuk memulihkan citra DPR. Bagi Pramono, pakaian pejabat lembaga negara dan staf anggota dewan harus mencerminkan kesopanan dalam berpenampilan (waspadaonline, 06/03/2012).

Ketidakpantasan di Gedung DPR ini tentu tidak boleh dibiarkan. Uraian di atas harus menjadi motivasi untuk melakukan perubahan. Perubahannya pun bukan sebatas langkah konkrit secara fisik seperti pembuatan aturan pelarangan rok mini itu sendiri, melainkan harus berawal dari konsep yang mendasar. Jika permasalahan yang timbul berupa hak kebebasan berpakaian dan berperilaku, maka perkara yang harus diganti adalah pihak yang telah melahirkan masalah tersebut, yaitu ideologi kapitalisme. Perubahan konsepnya pun harus dimulai dari penggantian ideologi yang memiliki kekuatan sebanding dengan ideologi kapitalisme, yaitu ideologi Islam, bukan yang lain.

Islam merupakan seperangkat aturan yang datang dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia dan seluruh alam semesta, maka sudah pasti aturan tersebut sesuai untuk mengatur ciptaan-Nya. Dengan demikian, pengaturan kehidupan manusia, termasuk aturan berpakaian dan sikap moral para pegawai pemerintahan, akan memberikan kenyamanan dan ketenangan jika diatur dengan sistem Islam.

Islam memandang perempuan sebagai suatu kehormatan yang wajib dijaga dan dipelihara. Islam mensyariatkan kerudung dan jilbab adalah untuk menjaga dan memelihara kehormatan itu. Nabi saw bersabda: “Perempuan itu adalah aurat.” Badan perempuan harus ditutupi sebagai aurat yang merupakan kehormatan baginya. Jika aurat itu dilihat orang yang tidak berhak, maka perempuan itu dilecehkan kehormatannya.

Dalam Islam, perintah menutup aurat tercantum dalam QS. An-Nuur [24] ayat 31 dan QS. Al-Ahzab [33] ayat 59 berikut ini:
“Katakanlah kepada perempuan yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nuur [24]: 31).

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya[1232] ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 59). -- [1232] Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

Hal ini sebagaimana kisah di zaman Rasulullaah saw. Jika orang-orang fasik melihat seorang perempuan yang mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini perempuan merdeka dan mereka tidak berani mengganggu perempuan itu. Jika mereka melihat perempuan itu tidak mengenakan jilbab, maka mereka mengatakan bahwa ini budak perempuan, sehingga mereka menggodanya. Perempuan berjilbab itu menjadi mulia karena diketahui bahwasanya mereka adalah perempuan merdeka sehingga orang-orang fasik itu tidak mengganggunya. Orang-orang fasik tidak berani mengganggu muslimah, karena pelecehan terhadap muslimah akan menerima hukuman besar. Disamping itu, segala gangguan dan pelecehan terhadap muslimah pada hakikatnya adalah pelanggaran terhadap kehormatan kaum muslimin secara keseluruhan (Buku “Jilbab, antara Trend dan Kewajiban”).

Sejatinya, Rasulullaah saw telah mencontohkan langkah teknis dalam memilih para pegawai beliau. Beliau memilih para pegawai negara dengan dua kriteria, yaitu (1) yang paling dapat berbuat terbaik dalam kedudukan yang akan disandangnya, dan (2) mereka yang hatinya telah dipenuhi dengan keimanan (Kitab Daulah Islam). Atas dasar ini, sejatinya setiap muslim memiliki peran dan tanggung jawab yang sesuai dengan kapasitas yang telah Allah Swt tetapkan. Aturan berpakaian dan sikap moral para pegawai pemerintahan tidak perlu repot untuk ditekankan selama ukurannya adalah ketaatan masing-masing individu berdasarkan posisinya sebagai makhluk Allah Swt, karena hal ini akan menentukan kemuliaan dan derajatnya. Allah Swt pun sudah jelas dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa…” (QS Al-Hujurat [49]: 13).

[sumber;istanaparamufakkirsiyasi.blogspot.com]
◄ Newer Post Older Post ►