Reaktualisasi Politik Islam
Ahmad Yani ; Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI |
SINDO, 29 Agustus 2012
Beberapa survei yang kerap dilakukan lembaga-lembaga survei akhir-akhir ini menunjukkan tren partai-partai Islam terus mengalami penurunan. Survei terbaru yang dilakukan oleh lembaga JSIS, partai Islam berada di bawah partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, dan Demokrat; bahkan survei yang dilakukan oleh CSIS, partai Islam tidak mampu menembus angka parliamentary threshold sebesar 3,5%.
Meskipun bukan hasil akhir, ini menandai partai Islam tidak lagi dihitung sebagai kekuatan yang menakutkan, seperti halnya pada tahun-tahun awal Indonesia merdeka dan Pemilu 1955. Kalau merujuk hasil penelitian Herbert Feith tahun 1945–1955, kekuatan politik sangat dipengaruhi lima aliran politik yang kini hanya tersisa, Islam dan nasionalis.
Herbert Feith menyatakan bahwa sumber utama pemikiran politik di Indonesia ada lima aliran politik, yaitu komunisme yang melahirkan Partai Komunis Indonesia, sosialisme demokrat dengan memunculkan Partai Sosialis Indonesia, Islam––dengan variannya melahirkan Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam, dan Partai Nahdlatul Ulama, nasionalisme radikal yang tercermin pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI), serta tradisionalisme Jawa meskipun tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang konkret.
Merupakan hal yang sangat menyakitkan bagi umat Islam di Indonesia sebagai kekuatan politik, jika kelak hasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei akan menunjukkan akurasinya pada Pemilu 2014. Tidak ada lagi perwakilan politik Islam yang akan mewarnai pertarungan ideologi dalam parlemen.
Dengan mayoritas penduduk muslim yang mencapai angka 80%, hanya akan menjadi kelompok mayoritas namun ompong; dan hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan yang tidak memiliki orientasi Islam namun berorientasi sekuler yang memisahkan secara jelas hubungan Islam dan negara.
Islam dan Kemerdekaan
Alangkah baiknya membuka kembali lembaran yang dilupakan oleh kalangan Islam. Kemerdekaan yang berdekatan waktunya dengan Idul Fitri adalah suatu alur perjalanan hidup bangsa Indonesia yang sarat dengan pesan moral; dan bukan tanpa alasan, kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadan 1366 Hijriah. Ini membuktikan bahwa perjuangan umat dan tokoh-tokoh politik Islam masa lalu sangat menentukan berdirinya bangsa Indonesia merdeka.
Dengan sedikit mengalah sebagai kekuatan politik, waktu itu Islam mengambil pilihan untuk memerdekakan dahulu bangsa Indonesia ketimbang mempertahankan syariah Islam sebagai dasar negara. Kini tidak ada lagi yang dapat dijadikan inspirasi perjuangan Islam untuk dilanjutkan, yang terjadi justru adanya modifikasi sejarah yang melenceng jauh dari proses kemerdekaan di capai dan merugikan Islam sebagai kekuatan politik di negara ini.
Kemerdekaan yang dicapai memang indah di permukaan, namun belum tentu indah dalam perjalanannya bagi umat Islam.Inilah sebuah negara yang saat ini sedang dimainkan oleh segelintir kepentingan, kepentingan yang dapat mengaburkan fakta Islam dalam meraih kemerdekaan. Kemerdekaan yang memiliki janji-janji besar untuk sebuah bangsa merdeka, tergelincir dalam sebuah sistem yang menyebabkan jauhnya bangsa ini dari janji kemerdekaan.
Kondisi inilah yang semestinya menjadi sebuah momentum bagi Islam untuk mengembalikan era kebangkitan Islam dalam dunia politik di Indonesia, agar kemenangan hakiki sebagai bangsa dan negara dapat diwujudkan. Pengorbanan yang tidak sedikit baik materiil maupun moril terutama bagi Islam. Bahkan, pengorbanan Islam sebagai ideologi perjuangan dikorbankan untuk terbentuknya identitas nasional, yaitu identitas yang menanggalkan keegoan paham agama, suku, dan daerah Indonesia.
Hegemoni kaum nasionalis tidak dapat dimungkiri memiliki peran penting untuk menggeser Islam sebagai kelompok mayoritas yang memiliki kekuatan utama kemerdekaan bangsa ini. Semua tidak disadari secara menyeluruh oleh kelompok Islam. Islam lebih mengutamakan kekuasaan, bukan pada orientasi keumatan, sehingga Islam menjadi kekuatan yang tidak memiliki kualitas untuk berkompetisi dengan kelompok nasionalis.Wajar di kemudian hari, Islam kembali menjadi tirani mayoritas hanya bagi umat Islam, tidak untuk negara.
Reaktualisasi Politik Islam
Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Umum Masyumi, sempat mengatakan “Jangan tinggalkan tuntunan agama karena kemilauannya kemenangan- kemenangan yang bersifat sementara. Oleh karena itu, kemenangan harus mendasarkan perjuangannya di atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu.”
Pernyataan Ketua Umum Masyumi sangat menginspirasi bahwa setelah 67 tahun kemerdekaan, bangsa Indonesia jauh dari tuntutan agama. Negara tidak lagi mengindahkan tujuan bernegara yang harus menyejahterakan rakyatnya. Kemiskinan menjadi fakta baru bagi bangsa yang merdeka pada tahun 1945, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, diiringi dengan lemahnya masyarakat dalam sektor ekonomi.
Islam selalu menuntun umatnya agar senantiasa menghormati orang lain, bahkan dalam setiap manusia ada hak manusia lainnya. Namun sebagai masyarakat berpenduduk mayoritas Islam, adalah hak Islam untuk dapat menikmati sumber daya alam yang ada di tanah airnya, hak umat Islam pula untuk mempertahankan apa yang telah menjadi haknya, serta hak masyarakat pula untuk mengelola sumber daya yang dimiliki bangsa ini. Namun fakta bicara lain, banyak sumber daya alam kini dinikmati oleh orang lain. Sumber daya alam itu dikuasai pemilik modal.
Bahkan sering kali bangsa ini dipertontonkan sikap arogansi aparat dalam hal kepemilikan tanah, sampai mengorbankan masyarakat dan umat. Itulah sebuah fakta bangsa Indonesia saat ini dalam mengisi kemerdekaan. Inilah akibat jauh dari tuntutan agama, apa yang menjadi hak negara tidak dapat dinikmati oleh rakyatnya meskipun sudah merdeka. Saat ini yang diperlukan Islam adalah melakukan reaktualisasi politiknya sebagai aliran politik dominan.
Reaktualisasi politik didasari untuk kemenangan negara sebagai yang dicita-citakan Islam, yaitu Baldatun Thaibatun Warabbun Ghoffur. Dalam konteks inilah, tuntutan agama menjadi faktor dominan dalam melakukan reaktualisasi Islam sebagai kekuatan politik agar tidak lagi didominasi kekuatan lain, kekuatan yang sangat merugikan Islam.
Kini di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang terus mengalami berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan, setidaknya mari jadikan dua kemenangan dalam waktu berdekatan ini sebagai rekonsiliasi dan internalisasi kembali nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara agar Islam tidak lagi dijadikan sebagai mayoritas, namun termarjinalkan. ●
Herbert Feith menyatakan bahwa sumber utama pemikiran politik di Indonesia ada lima aliran politik, yaitu komunisme yang melahirkan Partai Komunis Indonesia, sosialisme demokrat dengan memunculkan Partai Sosialis Indonesia, Islam––dengan variannya melahirkan Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam, dan Partai Nahdlatul Ulama, nasionalisme radikal yang tercermin pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI), serta tradisionalisme Jawa meskipun tidak muncul sebagai kekuatan politik formal yang konkret.
Merupakan hal yang sangat menyakitkan bagi umat Islam di Indonesia sebagai kekuatan politik, jika kelak hasil survei yang dilakukan lembaga-lembaga survei akan menunjukkan akurasinya pada Pemilu 2014. Tidak ada lagi perwakilan politik Islam yang akan mewarnai pertarungan ideologi dalam parlemen.
Dengan mayoritas penduduk muslim yang mencapai angka 80%, hanya akan menjadi kelompok mayoritas namun ompong; dan hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan yang tidak memiliki orientasi Islam namun berorientasi sekuler yang memisahkan secara jelas hubungan Islam dan negara.
Islam dan Kemerdekaan
Alangkah baiknya membuka kembali lembaran yang dilupakan oleh kalangan Islam. Kemerdekaan yang berdekatan waktunya dengan Idul Fitri adalah suatu alur perjalanan hidup bangsa Indonesia yang sarat dengan pesan moral; dan bukan tanpa alasan, kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan 9 Ramadan 1366 Hijriah. Ini membuktikan bahwa perjuangan umat dan tokoh-tokoh politik Islam masa lalu sangat menentukan berdirinya bangsa Indonesia merdeka.
Dengan sedikit mengalah sebagai kekuatan politik, waktu itu Islam mengambil pilihan untuk memerdekakan dahulu bangsa Indonesia ketimbang mempertahankan syariah Islam sebagai dasar negara. Kini tidak ada lagi yang dapat dijadikan inspirasi perjuangan Islam untuk dilanjutkan, yang terjadi justru adanya modifikasi sejarah yang melenceng jauh dari proses kemerdekaan di capai dan merugikan Islam sebagai kekuatan politik di negara ini.
Kemerdekaan yang dicapai memang indah di permukaan, namun belum tentu indah dalam perjalanannya bagi umat Islam.Inilah sebuah negara yang saat ini sedang dimainkan oleh segelintir kepentingan, kepentingan yang dapat mengaburkan fakta Islam dalam meraih kemerdekaan. Kemerdekaan yang memiliki janji-janji besar untuk sebuah bangsa merdeka, tergelincir dalam sebuah sistem yang menyebabkan jauhnya bangsa ini dari janji kemerdekaan.
Kondisi inilah yang semestinya menjadi sebuah momentum bagi Islam untuk mengembalikan era kebangkitan Islam dalam dunia politik di Indonesia, agar kemenangan hakiki sebagai bangsa dan negara dapat diwujudkan. Pengorbanan yang tidak sedikit baik materiil maupun moril terutama bagi Islam. Bahkan, pengorbanan Islam sebagai ideologi perjuangan dikorbankan untuk terbentuknya identitas nasional, yaitu identitas yang menanggalkan keegoan paham agama, suku, dan daerah Indonesia.
Hegemoni kaum nasionalis tidak dapat dimungkiri memiliki peran penting untuk menggeser Islam sebagai kelompok mayoritas yang memiliki kekuatan utama kemerdekaan bangsa ini. Semua tidak disadari secara menyeluruh oleh kelompok Islam. Islam lebih mengutamakan kekuasaan, bukan pada orientasi keumatan, sehingga Islam menjadi kekuatan yang tidak memiliki kualitas untuk berkompetisi dengan kelompok nasionalis.Wajar di kemudian hari, Islam kembali menjadi tirani mayoritas hanya bagi umat Islam, tidak untuk negara.
Reaktualisasi Politik Islam
Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Umum Masyumi, sempat mengatakan “Jangan tinggalkan tuntunan agama karena kemilauannya kemenangan- kemenangan yang bersifat sementara. Oleh karena itu, kemenangan harus mendasarkan perjuangannya di atas kaidah-kaidah agama, perlu kita renungkan kembali, apakah benar di dalam mengejar kemenangan-kemenangan yang bersifat sementara itu.”
Pernyataan Ketua Umum Masyumi sangat menginspirasi bahwa setelah 67 tahun kemerdekaan, bangsa Indonesia jauh dari tuntutan agama. Negara tidak lagi mengindahkan tujuan bernegara yang harus menyejahterakan rakyatnya. Kemiskinan menjadi fakta baru bagi bangsa yang merdeka pada tahun 1945, pertumbuhan penduduk yang begitu pesat, diiringi dengan lemahnya masyarakat dalam sektor ekonomi.
Islam selalu menuntun umatnya agar senantiasa menghormati orang lain, bahkan dalam setiap manusia ada hak manusia lainnya. Namun sebagai masyarakat berpenduduk mayoritas Islam, adalah hak Islam untuk dapat menikmati sumber daya alam yang ada di tanah airnya, hak umat Islam pula untuk mempertahankan apa yang telah menjadi haknya, serta hak masyarakat pula untuk mengelola sumber daya yang dimiliki bangsa ini. Namun fakta bicara lain, banyak sumber daya alam kini dinikmati oleh orang lain. Sumber daya alam itu dikuasai pemilik modal.
Bahkan sering kali bangsa ini dipertontonkan sikap arogansi aparat dalam hal kepemilikan tanah, sampai mengorbankan masyarakat dan umat. Itulah sebuah fakta bangsa Indonesia saat ini dalam mengisi kemerdekaan. Inilah akibat jauh dari tuntutan agama, apa yang menjadi hak negara tidak dapat dinikmati oleh rakyatnya meskipun sudah merdeka. Saat ini yang diperlukan Islam adalah melakukan reaktualisasi politiknya sebagai aliran politik dominan.
Reaktualisasi politik didasari untuk kemenangan negara sebagai yang dicita-citakan Islam, yaitu Baldatun Thaibatun Warabbun Ghoffur. Dalam konteks inilah, tuntutan agama menjadi faktor dominan dalam melakukan reaktualisasi Islam sebagai kekuatan politik agar tidak lagi didominasi kekuatan lain, kekuatan yang sangat merugikan Islam.
Kini di tengah kondisi masyarakat Indonesia yang terus mengalami berbagai persoalan kebangsaan dan kenegaraan, setidaknya mari jadikan dua kemenangan dalam waktu berdekatan ini sebagai rekonsiliasi dan internalisasi kembali nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara agar Islam tidak lagi dijadikan sebagai mayoritas, namun termarjinalkan. ●