Advokat Bukan Klien
Mohammad Fajrul Falaakh ; Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta; Majelis Ad Hoc Dewan Kehormatan Pusat Perhimpunan Advokat Indonesia 2008-2012 |
KOMPAS, 31 Agustus 2012
Tradisi hukum modern menyebut advokat sebagai officer of the court, pejabat peradilan, meski Undang- Undang Advokat tahun 2003 memilih sebutan sebagai ”penegak hukum” yang sejajar dengan penegak hukum lainnya.
Pilihan istilah penegak hukum (law enforcement officer) ini dapat dikembalikan pada konteks implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Nomor 8 Tahun 1981, terutama karena bekerjanya sistem politik Orde Baru, yang menyulitkan pendampingan tersangka tindak pidana oleh advokat.
Advokat adalah profesi independen dan terhormat (officium nobile) yang dijalankan berdasarkan hukum, undang-undang, dan kode etik profesi. Klien advokat pada dasarnya adalah pencari keadilan. Maka tidak tepat menggunakan silogisme guilty by association untuk mengidentikkan advokat dengan klien pengguna jasa hukum.
Persoalan elementer ini sudah disikapi dalam UU Advokat (Pasal 18 Ayat (2): Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat).
Pola Hubungan Advokat-Klien
Tak berarti pola hubungan advokat dengan klien tanpa masalah, baik teoretis maupun praktis. Salah satu faktornya adalah kualifikasi yang umum dan abstrak, yaitu jabatan profesional yang mulia karena ikut menjaga kesetimbangan neraca keadilan. Penilaian atas ketidakmuliaan pengemban profesi ini, karena itu, terbentang selebar belantara makna kemuliaan profesi.
Maka tak sedikit advokat dijatuhi sanksi karena merangkap jadi makelar bisnis klien, menyerobot klien advokat lainnya, atau tidak menuntaskan jasa hukum meski biaya sudah dipungut dari klien. Pihak kepolisian mungkin sudah bosan menerima pengaduan klien atau sesama advokat dalam perkara penipuan oleh advokat.
Dalam waktu yang terbatas ”ikut mengadili” di dewan kehormatan advokat, saya belum menemukan advokat diadukan karena membela tersangka pembunuhan atau terorisme. Dengan kata lain, perkara-perkara kode etik advokat tidak mencakup pengaduan tentang jenis perkara hukum yang boleh atau tak boleh ditangani advokat. Tampaknya diakui secara universal bahwa menangani perkara tindak pidana, kejahatan perang sekalipun, bukan larangan bagi advokat. Dalam beberapa hal, terutama kalau ancaman pidananya melebihi batas tertentu seperti di atas lima tahun penjara dan bahkan pidana mati, pemberian jasa hukum oleh advokat merupakan keharusan (mandatory legal counsel).
Jadi, titik pijaknya bukan jenis perkara, seperti korupsi atau terorisme, melainkan karena statusnya baru dipersangkakan. Persangkaan dalam hukum pidana bergantung pada pengungkapan kebenaran yang terbukti secara sah dan meyakinkan (beyond reasonable doubts) di hadapan hakim; bukan berdasarkan klaim sepihak oleh jaksa penuntut pidana.
Kedua, hakim adalah manusia yang memerlukan mitra dalam penerapan hukum pada kasus konkret. Peran advokat dan keterangan ahli, misalnya, dimaksudkan untuk ini.
Ketiga, peradilan pidana bukan sekadar membuktikan kebenaran terjadinya suatu tindak pidana, melainkan juga menentukan faktor kesalahan, yang mengandung alasan pemaaf atau setidak-tidaknya faktor yang dapat meringankan hukuman. Unsur teknis hukum ini sering kali hanya dipahami oleh advokat. Akibatnya, pengakuan tindak pidana oleh tersangka, misalnya ”kicauan” Agus Condro pada kasus pemilihan Deputi Gubernur Senior BI di DPR, juga tidak menghalangi perlunya peran advokat.
Dengan demikian, keempat, hanya cara pandang dan sistem hukum otoriter yang melarang tersangka didampingi kuasa hukum. Sering dilupakan, hukum acara dan jasa hukum dalam peradilan pidana dimaksudkan untuk mengontrol negara agar menghasilkan peradilan yang baik (good judicial governance) pada penerapan nestapa pemidanaan.
Keadilan Pidana
Sistem hukum dan otoritas profesi advokat (mandatory bar association), terutama di negara yang menjamin hak konstitusional untuk memperoleh bantuan hukum di muka pengadilan (constitutional right to legal counsel), bahkan mewajibkan advokat untuk membela fakir-miskin dan perkara tak populer (the duty to represent the poor and indigent and unpopular clients). Negara juga menyediakan anggaran untuk pemberian jasa hukum dalam peradilan pidana.
Pertimbangan ekonomis, teknis-yuridis, dan sosialnya jelas. Pertama, berbeda dari perkara perdata dan komersial, perkara pidana tak banyak mendatangkan penghasilan. Dalam suatu analisis struktural ditemukan fakta bahwa kebanyakan mereka yang terjerat perkara pidana adalah golongan ekonomi lemah, berpengetahuan terbatas tentang teknis hukum, dan tak mampu membayar jasa advokat (ingat kasus mbok Minah ”pemulung” biji kakao).
Kedua, advokat yang membela keadilan pidana tidak mungkin dibebani biaya perkara. Kalaupun business lawyers (yang berkecukupan) dapat meluangkan waktu untuk menangani perkara pidana, dikhawatirkan ketakbecusan (unexpertness) akan menjerumuskan klien pada nasib yang tak seharusnya.
Ketiga, advokat yang menangani perkara tidak populer dapat dikucilkan oleh masyarakat dan rekan seprofesi sehingga penghasilannya berisiko terhenti. Dalam beberapa tahun ke depan, sambil menunggu alokasi anggaran negara, kewajiban advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma dapat ditujukan untuk perkara tindak pidana korupsi. Sebagai bagian dari masyarakat sipil sudah sepatutnya advokat unjuk kebolehan dengan memilih criminal policyini. ●