Menyoal Kinerja Humas Polri
M Jamiluddin Ritonga ; Dosen Komunikasi Universitas Esa Unggul Jakarta |
SINAR HARAPAN, 30 Agustus 2012
Kinerja Humas Polri belakangan ini kerap dipertanyakan. Pasalnya, sebagian anggota masyarakat meragukan informasi yang disampaikan Humas Polri.
Penjelasan Humas Polri seputar kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri, rekening gendut, dan berbagai kerusuhan di Tanah Air, misalnya, direspons negatif oleh sebagian anggota masyarakat.
Hal itu terjadi karena Humas Polri dinilai hanya menjustifikasi sikap dan tindakan aparatnya daripada menjelaskan duduk persoalan suatu kasus yang melibatkan anggota institusinya. Penjelasan Humas Polri dinilai anggota masyarakat tidak sesuai dengan yang terjadi di lapangan.
Jumlah korban dalam suatu kerusuhan misalnya, Humas Polri dianggap menyampaikan lebih sedikit daripada yang diketahui rakyat yang terlibat dalam kasus tersebut. Begitu pula penjelasan penyebab terjadinya suatu kerusuhan yang sering dinilai tidak akurat, membuat sebagian anggota masyarakat yang mengalami kerusuhan menjadi antipati terhadap aparat kepolisian.
Dalam situasi demikian, bukan saling percaya yang bersemai, tapi justru menyuburkan tumbuhnya prasangka di antara kedua belah pihak.
Pihak Humas Polri tidak lagi memercayai rakyat, sebaliknya rakyat juga demikian. Masing-masing pihak saling curiga, yang akhirnya informasi yang dipertukarkan tidak lagi berdasarkan kejujuran dan keterbukaan, apalagi berempati.
Persoalannya menjadi runyam, karena informasi yang disampaikan Humas Polri cenderung untuk membela diri. Belum terlihat upaya Humas Polri untuk berbagi informasi dengan rakyat dalam memecahkan suatu konflik atau kerusuhan.
Humas Polri cenderung hanya menjelaskan suatu konflik atau kerusuhan dari sisi yang menguntungkan institusinya saja. Pesan sepihak ini mengabaikan kepentingan rakyat kebanyakan, sehingga mengesankan pesan-pesan yang disampaikan hanya untuk memengaruhi rakyat agar mendukung posisi Polri.
Dalam kondisi demikian, harapan agar Humas Polri menjadi pengayom dan pelindung setia rakyat menjadi sulit terwujud. Ini terjadi karena pesan-pesan yang disampaikan masih memisahkan secara tegas antara Polri dan rakyat. Pendekatan semacam ini melahirkan gap antara Polri di satu pihak dan rakyat di pihak lain. Masing-masing pihak menjadi sulit untuk bersatu, ibarat air dengan minyak.
Gap tersebut memperdalam saling curiga di antara kedua belah pihak. Humas Polri curiga terhadap setiap pesan atau informasi yang disampaikan rakyat. Sementara itu, rakyat menilai bahwa informasi yang disampaikan Humas Polri semata untuk kepentingan sepihak atau untuk membela diri.
Saling Menutup Diri
Dengan pendekatan demikian kiranya logis bila rakyat menjadi lebih curiga terhadap Polri. Lembaga ini dinilai mau benar sendiri, tanpa mau berkompromi dan memahami perasaan rakyat.
Kecenderungan ini membuat sebagian rakyat mengambil jarak, tanpa berkeinginan lagi bersahabat dengan Polri. Akibatnya, slogan Polri sebagai pengayom dan pelindung rakyat, oleh sebagian rakyat hanya dianggap basa-basi.
Dengan bekal saling curiga, komunikasi antara Humas Polri dengan rakyat sulit dapat terlaksana secara terbuka. Justru yang terjadi sebaliknya, peluang terjadinya komunikasi akan tertutup. Kalau pun terjadi komunikasi, masing-masing pihak akan menutupi sebagian informasi yang diketahuinya.
Padahal, masing-masing pihak mungkin saja memerlukan informasi yang ditutupi itu. Akibatnya, kedua pihak kehilangan bagian-bagian informasi tertentu yang sangat diperlukan untuk memahami dan mengatasi gangguan keamanan secara bersama.
Ada dua kemungkinan yang terjadi bila hal itu terus berlangsung. Pertama, benih konflik atau gangguan keamanan tidak dapat terdeteksi secara dini. Hal itu baru diketahui setelah meledak. Situasinya menjadi seperti api dalam sekam. Inilah yang kita rasakan belakangan ini.
Kedua, persoalan keamanan tidak dapat diatasi secara tuntas. Tumpukan persoalan itu akhirnya meledak. Ledakan demi ledakan datang beruntun tanpa diketahui penyebab yang sebenarnya. Humas Polri dan rakyat akhirnya hanya bisa terperangah tanpa dapat berbuat banyak.
Celakanya, dalam situasi seperti itu, Humas Polri dengan rakyat justru saling menjauh. Saling menyalahkan tampak mengemuka, bahkan sudah mengarah pada antagonistis.
Ketika Humas Mabes Polri menyampaikan komitmen Kapolri memberantas judi, misalnya, mendapat reaksi dingin dari sebagian anggota masyarakat. Bahkan, sebagian anggota masyarakat menilai hal itu hanya hangat-hangat tahi ayam. Ini satu gambaran bahwa hubungan antara Polri dengan rakyat semakin merenggang.
Mengubah Pendekatan
Dalam kondisi demikian, Humas Polri berupaya meng-counter penilaian rakyat atas kinerja Polri dalam mengatasi berbagai konflik atau kerusuhan. Seperti kasus bentrok berdarah di Jayapura, Humas Polri begitu kerap menggunakan media massa untuk menjelaskan situasi keamanan di Papua, khususnya Jayapura.
Pendekatan yang dilakukan Humas Polri tampaknya belum mengena, karena cenderung menggunakan propaganda eksploitatif. Di sini, Humas Polri berusaha membentuk opini agar rakyat memandang dan menafsirkan setiap kejadian menurut cara yang mereka kehendaki. Dalam hal ini, pihak Humas Polri ditopang oleh pemahaman mereka sendiri mengenai krisis dan ancaman yang diharapkan akan mempersempit medan mental dan memperkuat aksi.
Untuk kepentingan itu, Humas Polri kerap menghubungkan kepentingan-kepentingan dan peristiwa aktual dengan nilai-nilai dan perasaan-perasaan yang berurat berakar secara mendalam, seperti patriotisme, agama, dan kebencian terhadap kelompok asing atau kelompok di dalam negeri.
Biasanya ini dipertegas dengan menonjolkan persoalan atau konflik yang sedang memuncak dan menghubungkannya dengan semua nilai yang sudah mapan melalui penciptaan gambaran-gambaran yang tersimplikasi secara ekstrem, yaitu baik-buruk.
Upaya menciutkan persoalan menjadi baik-buruk telah menutup momentum yang baik untuk saling berkomunikasi secara adil, jujur, dan terbuka. Padahal, hal itu menjadi prasyarat terwujudnya komunikasi yang efektif.
Humas Polri dengan rakyat akan saling berbagi informasi mengenai apa saja bila di antara mereka saling terbuka. Melalui cara ini akan diperoleh kesepakatan bersama dalam mengatasi masalah gangguan keamanan.
Kalau hal itu dapat diwujudkan, tugas Humas Polri akan menjadi lebih ringan. Persoalan keamanan dengan sendirinya akan dipahami sama oleh Humas Polri dan anggota masyarakat. Humas Polri tidak perlu lagi berpikir keras mencari strategi yang jitu untuk memengaruhi anggota masyarakat agar mau membantu aparat keamanan mengatasi setiap ada konflik atau kerusuhan.
Tanpa diminta, rakyat secara sukarela akan membantu Polri mengatasi gangguan keamanan. Ini, sekali lagi, akan dapat terwujud bila Humas Polri mau berkomunikasi dengan rakyat secara adil, jujur, dan terbuka dengan pendekatan human relation.
Pendekatan demikian baru dapat dioptimalkan bila personel Humas Polri profesional. Personel yang profesional dapat diperoleh setidaknya berlatar belakang pendidikan yang tepat. Syarat ini belum dipenuhi personel Humas Polri, karena masih dominan berasal dari bukan bidang komunikasi, khususnya Humas.
Ini tentu kurang memenuhi syarat menjadi personel Humas. Karena itu, sudah saatnya Humas Polri menempatkan sarjana komunikasi dan sarjana Humas, selain menjadi Kahumas. Mungkin ini perlu direnungkan oleh petinggi Polri dalam upaya menjadikan rakyat sebagai sahabat yang baik. ●