Membumikan Khilafiah
M Yusuf Amin Nugroho ; Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Wonosobo |
SUARA MERDEKA, 31 Agustus 2012
Suatu ketika, Sultan Harun Ar-Rasyid meminta izin kepada Imam Malik untuk menggantungkan kitab Al-Muwaththa’ di Kakbah dan memaksa seluruh umat Islam mengikuti isinya. Imam Malik menjawab,’ ’Jangan engkau lakukan itu karena para sahabat Rasulullah saw saja berselisih pendapat dalam masalah furu’(cabang), apalagi mereka telah berpencar ke berbagai negeri.’’
Membaca kisah itu kita bisa memetik pelajaran berharga berkaitan dengan persoalan khilafiah atau perbedaan pendapat. Perbedaan merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari. Lebih-lebih terkait dengan fikih dan paham teologis. Alquran dan hadis sebagai landasan umat dalam berakidah butuh penafsiran, adapun penafsiran menggunakan metode. Padahal metode yang digunakan para ulama kadang berbeda antara satu dan yang lain.
Belum lagi kalau kita berbicara masalah kondisi dan situasi (sosial, budaya, dan politik) di mana hukum Islam itu ditetapkan, termasuk ayat Alquran dan hadis apa yang menjadi dasar. Sesuatu yang mustahil dan menjadi keajaiban bila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, mazhab, paham teologis, dan sikap terkait masalah ushul, furu’, dan siyasah.
Disadari atau tidak, khilafiah sering memicu perpecahan di kalangan umat Islam. Sayang, mata pelajaran Agama Islam yang di dalamnya terdapat materi akidah dan fikih kadang terpaku pada satu pendapat (mazhab). Siswa didik hanya dijejali dengan pendapat dari mazhab yang dianut oleh sang guru, yang akhirnya mengesampingkan aspek khilafiah.
Pendapat lain yang tak sesuai dengan mazhab sang guru kelas tidak dianggap ada dan karenanya tak pernah disampaikan kepada siswa. Akibatnya, pembelajaran Agama Islam di sekolah cenderung bersifat doktriner dan pragmatis, tanpa pengayaan pada aspek perbedaan. Tidak heran jika wawasan siswa didik menjadi sempit, kaku, dan akhirnya sulit menghargai perbedaan pendapat yang mereka temui di luar pagar sekolah.
Islam memang sangat membenci perpecahan dan perselisihan tetapi juga amat menghargai perbedaan. Rasulullah bahkan pernah memerintah seorang sahabat yang sedang membaca Alquran agar menghentikannya karena materi yang ia baca bisa mengakibatkan perpecahan. Konflik di Sampang Madura belum lama ini yang dipicu oleh perbedaan paham bisa menjadi contoh kemelemahan toleransi internal umat Islam.
Mudah Terprovokasi
Sebenarnya perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak banyak dan tidak perlu dibesar-besarkan. Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat mengatakan perbedaan antara Sunni dan Syiah hanya terletak pada hadis. Jika hadis Sunni paling banyak berasal dari sahabat Nabi seperti Abu Hurairah maka hadis Syiah berasal dari ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad saw).
Tetapi karena pemahaman agama yang sempit itu umat cenderung mudah terprovokasi dan pertikaian menjadi sulit dihindari. Pada titik inilah pendidikan Agama Islam di sekolah memiliki peran utama membentuk sikap dan mental. Bukankah mental dan sikap positif sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan dijalankan?
Membaca kisah itu kita bisa memetik pelajaran berharga berkaitan dengan persoalan khilafiah atau perbedaan pendapat. Perbedaan merupakan keniscayaan yang tak bisa dihindari. Lebih-lebih terkait dengan fikih dan paham teologis. Alquran dan hadis sebagai landasan umat dalam berakidah butuh penafsiran, adapun penafsiran menggunakan metode. Padahal metode yang digunakan para ulama kadang berbeda antara satu dan yang lain.
Belum lagi kalau kita berbicara masalah kondisi dan situasi (sosial, budaya, dan politik) di mana hukum Islam itu ditetapkan, termasuk ayat Alquran dan hadis apa yang menjadi dasar. Sesuatu yang mustahil dan menjadi keajaiban bila seluruh umat Islam di dunia ini dapat dipersatukan dalam satu pendapat, pandangan, mazhab, paham teologis, dan sikap terkait masalah ushul, furu’, dan siyasah.
Disadari atau tidak, khilafiah sering memicu perpecahan di kalangan umat Islam. Sayang, mata pelajaran Agama Islam yang di dalamnya terdapat materi akidah dan fikih kadang terpaku pada satu pendapat (mazhab). Siswa didik hanya dijejali dengan pendapat dari mazhab yang dianut oleh sang guru, yang akhirnya mengesampingkan aspek khilafiah.
Pendapat lain yang tak sesuai dengan mazhab sang guru kelas tidak dianggap ada dan karenanya tak pernah disampaikan kepada siswa. Akibatnya, pembelajaran Agama Islam di sekolah cenderung bersifat doktriner dan pragmatis, tanpa pengayaan pada aspek perbedaan. Tidak heran jika wawasan siswa didik menjadi sempit, kaku, dan akhirnya sulit menghargai perbedaan pendapat yang mereka temui di luar pagar sekolah.
Islam memang sangat membenci perpecahan dan perselisihan tetapi juga amat menghargai perbedaan. Rasulullah bahkan pernah memerintah seorang sahabat yang sedang membaca Alquran agar menghentikannya karena materi yang ia baca bisa mengakibatkan perpecahan. Konflik di Sampang Madura belum lama ini yang dipicu oleh perbedaan paham bisa menjadi contoh kemelemahan toleransi internal umat Islam.
Mudah Terprovokasi
Sebenarnya perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak banyak dan tidak perlu dibesar-besarkan. Ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Jalaluddin Rakhmat mengatakan perbedaan antara Sunni dan Syiah hanya terletak pada hadis. Jika hadis Sunni paling banyak berasal dari sahabat Nabi seperti Abu Hurairah maka hadis Syiah berasal dari ahlul bait (keluarga Nabi Muhammad saw).
Tetapi karena pemahaman agama yang sempit itu umat cenderung mudah terprovokasi dan pertikaian menjadi sulit dihindari. Pada titik inilah pendidikan Agama Islam di sekolah memiliki peran utama membentuk sikap dan mental. Bukankah mental dan sikap positif sangat ditentukan oleh bagaimana pendidikan dijalankan?
Untuk membentuk sikap tersebut, mula-mula yang mesti dijalankan adalah mengenalkan perbedaan itu sendiri sejak awal. Karena itu, sudah saatnya lembaga pendidikan berupaya membumikan pendidikan multikultural dengan memberikan pemahaman kepada siswa didik akan keniscayaan perbedaan agar konflik-konflik semacam itu tidak kembali terulang.
Kita sepakat bahwa umat Islam harus bersatu. Tapi persatuan itu bukanlah dengan cara menyatukan pendapat fikih atau paham teologis melainkan dengan berusaha sekuat mungkin agar umat bisa saling menghargai perbedaan di antara kalangan setauhid. ●