Agama, Etika, dan Simbol
Ahmad Sahidah ; Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia |
SUARA KARYA, 30 Agustus 2012
Konflik di Sampang Madura bukan dipicu oleh warga Sunni dan Syiah. Meskipun orang ramai menyoal penafian ini seraya mengungkap bahwa masyarakat kita tidak menghargai perbedaan keyakinan. Bagaimana pun, kasus penyerangan warga terhadap pengaut Syiah telah memaksa elite negeri ini turun ke lokasi. Betapa genting, hingga kita harus memeriksa kembali bagaimana keutuhan pesan agama mudah retak di tangan penganutnya.
Ketika Tuhan memerintah umatnya untuk menyembah-Nya, ke mana pun wajah mereka hadapkan (fatsamma wajhullah), namun pada waktu yang sama secara formal, umat Islam diwajibkan menghadap ke rumah Tuhan, Ka'bah. Sejatinya, ibadah itu bersifat pribadi, sunyi, dan sepi, namun dalam praktik umat didorong untuk memerhatikan hal-ihwal simbolik, seperti situs suci, kebersamaan (jamaah) dan mode (pakaian ihram, baju koko). Tentu saja, perlambangan itu merupakan sarana, bukan tujuan, sehingga perlu dipahami secara instrumental. Ketegangan antara simbol dan makna inilah yang acapkali menyeret umat pada pertikaian.
Kasus salaman Tifatul Sembiring, Menteri Komunikasi, dengan Ibu Negara Michelle Obama dari AS, beberapa bulan lalu bisa ditimbang untuk mengurai isu di atas. Media Amerika mengangkat kasus ini dalam pelbagai rupa, persoalan pandangan konservatif hingga olok-olok bintang film porno. Seperti biasa, di negeri ini, semua orang menyahuti dengan enteng. Twitter dan Facebook pun ramai dengan celotehan, menyoal sikap hipokrit sang menteri. Malah, gambar video pun diunduh untuk membuktikan betapa pernyataan dan kenyataan berselisih.
Mengapa kita tidak melihat persoalan ini dari dua sudut kebudayaan yang berbeda. Pertama, latar belakang sang menteri dan kedua, isteri Obama? Sepatutnya, jika nilai-nilai bersama yang diucapkan Presiden AS dihayati, pada waktu yang sama kita akan berlaku adil terhadap Tifatul dan Michele. Sebenarnya, sikap Tifatul tidak hanya menjadi keyakinan partainya, PKS, namun juga dianut oleh kebanyakan kiai dan santri tradisional, larangan bersentuhan kulit dengan bukan muhrim. Bahkan di pesantren, murid lelaki dan perempuan tidak dikumpulkan dalam satu ruangan kelas. Segregasi betul-betul diterapkan sebagaimana di negeri Arab, sesuatu yang tampak aneh (weird) di Barat.
Sepatutnya, peristiwa salaman itu tidak memercikkan bau tak sedap tentang Islam dan liyan ketika ia dipahami pada ranah penanda (signifier) dan petanda (signified) dalam tradisi Saussurian. Jika salam sebagai penanda terhadap pengakuan kedua belah pihak untuk berdamai, maka tindakan salaman dengan tangan adalah perilaku simbolik yang menunjukkan kedua belah tangan tidak sedang menggenggam pedang, tanda perdamaian.
Sejatinya, salaman itu tidak melulu menjabat tangan tetapi saling menunjukkan tanda menganggat tangan telah cukup untuk menjalin silaturahim. Adalah keliru jika seseorang meyakini ketidakbolehan bersentuhan dengan yang bukan muhrim dipaksa melakukan jabat erat hanya karena kehendak untuk menyenangkan orang lain. Kebebasan negatif, menurut Isaiah Berlin, adalah perilaku yang tidak membahayakan (harm) orang lain. Jika dasar etik ini yang dipraktikkan di Barat, maka Michelle akan berterima jika Tifatul hanya mengangkat tangan, bukan menjabat erat, karena persentuhan itu mendatangkan rasa tidak nyaman, yang tidak melulu bersifat fisik, tetapi psikis bagi sebagian individu.
Justru, karena persentuhan lelaki-perempuan ini juga berada pada wilayah perselisihan (ikhtilaf) ulama, maka sikap yang seharusnya ditonjolkan oleh muslim dan bukan-muslim adalah sikap legawa untuk saling menghargai. Dalam sebuah kesempatan, teman muslimah Iran meminta maaf kepada saya karena tak mau bersalaman dengan jabatan tangan dikarenakan keyakinannya. Justru saya merasa lebih nyaman dengan keterusterangan ini. Penghargaan terhadap keyakinan orang lain adalah pemenuhan terhadap nilai-nilai universal tentang penghormatan pada kemanusiaan.
Dengan asumsi bahwa ruang bersama adalah perjumpaan yang diandaikan untuk kebaikan bersama, hubungan individu harus didasarkan pada hal-hal yang wajar. Jika pertemuan antara bukan muhrim dalam pandangan konservatif tidak harus mensyaratkan persentuhan kulit, maka pihak lain yang mengandaikan kedekatan dengan salaman, mereka sejatinya tidak berhenti pada tindakan simbolik ini, tetapi lebih jauh pada substansi yang melatarbelakangi kebiasaan tersebut. Ia bisa dilakukan dengan mengangkat tangan seraya dirapatkan dan mengucapkan salam.
Justru, lebih jauh dari hanya sekadar menyoal ini, kita harus menyelami mengapa persentuhan ini ditabukan dalam kebudayaan tertentu. Tidak menyentuh kulit lawan jenis adalah bentuk penghormatan, sebaliknya dalam kebiasaan lain, ciuman pipi antara lawan jenis adalah ekspresi kedekatan yang dianggap komunikasi simbolik untuk menghilangkan jarak. Kalau penghormatan ini bisa diwujudkan dalam bentuk simbol lain, seperti pengucapan lisan, hakikatnya ia adalah bentuk konsensus minimal bahwa keakraban bisa berwujud dalam pelbagai bentuk. Bukankah pandangan konservatif bahwa seorang lelaki bahkan tidak boleh 'bersemuka' dengan bukan muhrim secara langsung tanpa tabir?
Oleh karena itu, tugas kita bersama adalah memperbesar ruang publik tentang penghormatan itu sendiri. Masyarakat sendiri harus belajar bahwa kehadiran pemahaman baru di tempat tertentu acapkali mendatangkan ketidaknyamanan. Pembaruan Kiai Ahmad Dahlan pernah mengusik kelompok tradisional di bawah pesona Kiai Penghulu. Film Sang Pencerah dengan baik menggambarkan betapa sesungguhnya pertikaian antara mazhab keagamaan diam-diam dipicu oleh perebutan kekuasaan dan kepentingan individu dan kelompok. Untuk itu, tugas bersama kita adalah memeriksa motif yang terselip di balik pembelaan terhadap agama. ●