Belajar dari KTT Teheran
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Jogjakarta |
JAWA POS, 30 Agustus 2012
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) Ke-16 Gerakan Nonblok (GNB) dilangsungkan di Teheran, Iran, mulai hari ini hingga besok atau 30-31 Agustus 2012. Pertemuan puncak itu telah didahului pertemuan tingkat pejabat senior dan tingkat pejabat tinggi (26-29 Agustus). Lebih dari seratus negara anggota memastikan mengirim delegasi masing-masing di KTT itu dan 36 delegasi di antara mereka dipimpin langsung oleh kepala negara/pemerintahan.
Salah satu di antara mereka adalah delegasi Mesir yang diketuai Mohammed Morsi, presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis Juni lalu. Kehadiran Morsi merupakan kunjungan pertama presiden Mesir sejak 1979. Kehadirannya itu sekaligus menyempurnakan normalisasi hubungan diplomatik Teheran-Kairo yang membeku sekitar tiga dekade terakhir. Penyebab pertentangan itu adalah Iran tak suka terhadap penandatanganan perjanjian damai Mesir-Israel di Camp David 1978 serta dukungan Mesir kepada Iraq dalam perang Iraq-Iran 1980-1988. Shah Iran Reza Pahlevi juga meninggal di pengasingan di Kairo, padahal pemerintah Republik Islam Iran menuntut Shah yang terguling dalam Revolusi Islam Iran 1979 itu dipulangkan. Iran juga menganggap Khalid Islambouli yang membunuh Anwar Sadat, presiden Mesir penanda tangan Camp David, sebagai pahlawan.
Selain dihadiri para kepala negara/pemerintahan, KTT Ke-16 GNB juga akan dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-Moon. Walaupun pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Israel pada 17 Agustus lalu mencoba meminta Ban Ki-Moon tidak menghadiri KTT GNB di Teheran, orang nomor wahid di PBB tersebut memutuskan untuk hadir.
Sayang sekali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir dan mewakilkan kepada Wapres Budiono untuk ke Teheran. ''Kebetulan'' ketidakhadiran SBY itu sejalan dengan ketidaksukaan AS dan Israel atas KTT GNB di Teheran. Padahal, pada masa lalu, sejak Presiden Soekarno hingga Pak Harto, nama Indonesia selalu dianggap sebagai pemuka GNB.
KTT Teheran itu juga memiliki arti sangat penting dan strategis, baik dalam konteks keanggotaan GNB secara keseluruhan maupun Iran selaku tuan rumah. Dalam konteks GNB, tentu arti penting itu erat terkait tema yang diusung dalam KTT, yaitu ''Perdamaian Berkesinambungan Melalui Kepemimpinan Global Bersama''. Tema itu secara implisit menyiratkan penolakan GNB atas kecenderungan kepemimpinan global secara tunggal yang diperlihatkan AS pasca-Perang Dingin, yang kenyataannya tidak pernah menciptakan perdamaian sejati.
Sebaliknya, tema tersebut merefleksikan keinginan GNB yang kini beranggota 120 negara (termasuk Palestina) untuk menciptakan kepemimpinan global bersama yang diharapkan dapat menciptakan perdamaian di berbagai kawasan secara berkelanjutan. Kepemimpinan global bersama jelas mensyaratkan terciptanya persatuan dan kesatuan yang kuat di antara segenap negara-bangsa di dunia.
Repotnya, memperkuat persatuan dan kesatuan sikap di lingkup keanggotaan GNB saja sulit dilakukan. Berulang-ulang, dari masa ke masa, GNB terbelah dalam menyikapi beragam isu strategis. Misalnya, mulai Revolusi Islam Iran 1979, Perang Teluk I (Perang Iraq-Iran) 1980-1988, agresi Iraq ke Kuwait 1990 yang berlanjut dengan Perang Teluk II (Iraq versus pasukan multinasional pimpinan AS) 1991, invasi pasukan AS dan sekutu atas Afghanistan 2001, hingga Perang Teluk III (Iraq versus sekutu) yang mengakhiri rezim Saddam Hussein pada 2003.
Meski demikian, semangat GNB untuk menciptakan kepemimpinan global bersama itu perlu diapresiasi positif meski sulit. Siapa tahu di Teheran akan lahir banyak inisiatif.
Sementara dalam konteks Iran, arti penting KTT Ke-16 GNB tentu terletak pada kesanggupan Negeri Para Ayatollah itu menuanrumahi pertemuan puncak selevel KTT GNB. GNB merepresentasikan 2/3 keanggotaan PBB dan 55 persen populasi dunia.
Apalagi, hal itu terjadi saat Iran diisolasi negara-negara Barat, buntut perseteruan Iran-Barat terkait program nuklir Iran. Kesanggupan Teheran menuanrumahi KTT GNB dapat memberikan pesan politik kepada Barat bahwa Iran tetap ''kuat eksis''. Iran bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga sanggup berbuat banyak demi mempertahankan harkat, martabat, dan harga diri sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat hingga keberadaaannya betul-betul diperhitungkan dan dihormati oleh masyarakat internasional pada umumnya.
Tentu, hal itu juga tidak terlepas dari cukup banyaknya kepala negara/ pemerintahan yang memastikan menghadiri KTT Teheran yang mengagendakan pembahasan isu-isu krusial seperti Palestina, krisis Syria, Afghanistaan, Iraq, dan (tentu) perseteruan Iran-Barat terkait program nuklir Iran itu. Solidaritas di kalangan GNB bisa membuat AS bersama sekutunya akan lebih repot menghadapi Iran ke depan di lapangan diplomasi.
Iran semakin percaya diri dalam mengetuai GNB tiga tahun ke depan. Posisi itu memungkinkan Iran akan all out menggalang GNB guna mengeblok setiap upaya Barat menggagalkan program nuklir Iran untuk keperluan sipil.
Bagi Iran, program nuklirnya untuk keperluan pembangkit listrik rupanya benar-benar menjadi harga diri dan harga mati. Tak bisa ditawar sedikit pun oleh pihak mana pun, termasuk negara-negara Barat yang diujungtombaki AS. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan perjuangan militer (perang) bila keadaan memaksa.
Kita, bangsa Indonesia, sebagai sebuah nation-state berdaulat tentu sangat perlu mengambil hikmah ataupun pelajaran berharga dari keberanian, tekad kuat, keteguhan, kecerdikan, dan kepercayaan diri (pede) tinggi Iran mempertahankan obsesinya memiliki program nuklir untuk pembangkit listrik meski Iran harus menghadapi aneka macam tekanan negara-negara Barat. Presiden kita mestinya belajar percaya diri dengan datang sendiri ke Iran. ●
Salah satu di antara mereka adalah delegasi Mesir yang diketuai Mohammed Morsi, presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis Juni lalu. Kehadiran Morsi merupakan kunjungan pertama presiden Mesir sejak 1979. Kehadirannya itu sekaligus menyempurnakan normalisasi hubungan diplomatik Teheran-Kairo yang membeku sekitar tiga dekade terakhir. Penyebab pertentangan itu adalah Iran tak suka terhadap penandatanganan perjanjian damai Mesir-Israel di Camp David 1978 serta dukungan Mesir kepada Iraq dalam perang Iraq-Iran 1980-1988. Shah Iran Reza Pahlevi juga meninggal di pengasingan di Kairo, padahal pemerintah Republik Islam Iran menuntut Shah yang terguling dalam Revolusi Islam Iran 1979 itu dipulangkan. Iran juga menganggap Khalid Islambouli yang membunuh Anwar Sadat, presiden Mesir penanda tangan Camp David, sebagai pahlawan.
Selain dihadiri para kepala negara/pemerintahan, KTT Ke-16 GNB juga akan dihadiri Sekjen PBB Ban Ki-Moon. Walaupun pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Israel pada 17 Agustus lalu mencoba meminta Ban Ki-Moon tidak menghadiri KTT GNB di Teheran, orang nomor wahid di PBB tersebut memutuskan untuk hadir.
Sayang sekali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak hadir dan mewakilkan kepada Wapres Budiono untuk ke Teheran. ''Kebetulan'' ketidakhadiran SBY itu sejalan dengan ketidaksukaan AS dan Israel atas KTT GNB di Teheran. Padahal, pada masa lalu, sejak Presiden Soekarno hingga Pak Harto, nama Indonesia selalu dianggap sebagai pemuka GNB.
KTT Teheran itu juga memiliki arti sangat penting dan strategis, baik dalam konteks keanggotaan GNB secara keseluruhan maupun Iran selaku tuan rumah. Dalam konteks GNB, tentu arti penting itu erat terkait tema yang diusung dalam KTT, yaitu ''Perdamaian Berkesinambungan Melalui Kepemimpinan Global Bersama''. Tema itu secara implisit menyiratkan penolakan GNB atas kecenderungan kepemimpinan global secara tunggal yang diperlihatkan AS pasca-Perang Dingin, yang kenyataannya tidak pernah menciptakan perdamaian sejati.
Sebaliknya, tema tersebut merefleksikan keinginan GNB yang kini beranggota 120 negara (termasuk Palestina) untuk menciptakan kepemimpinan global bersama yang diharapkan dapat menciptakan perdamaian di berbagai kawasan secara berkelanjutan. Kepemimpinan global bersama jelas mensyaratkan terciptanya persatuan dan kesatuan yang kuat di antara segenap negara-bangsa di dunia.
Repotnya, memperkuat persatuan dan kesatuan sikap di lingkup keanggotaan GNB saja sulit dilakukan. Berulang-ulang, dari masa ke masa, GNB terbelah dalam menyikapi beragam isu strategis. Misalnya, mulai Revolusi Islam Iran 1979, Perang Teluk I (Perang Iraq-Iran) 1980-1988, agresi Iraq ke Kuwait 1990 yang berlanjut dengan Perang Teluk II (Iraq versus pasukan multinasional pimpinan AS) 1991, invasi pasukan AS dan sekutu atas Afghanistan 2001, hingga Perang Teluk III (Iraq versus sekutu) yang mengakhiri rezim Saddam Hussein pada 2003.
Meski demikian, semangat GNB untuk menciptakan kepemimpinan global bersama itu perlu diapresiasi positif meski sulit. Siapa tahu di Teheran akan lahir banyak inisiatif.
Sementara dalam konteks Iran, arti penting KTT Ke-16 GNB tentu terletak pada kesanggupan Negeri Para Ayatollah itu menuanrumahi pertemuan puncak selevel KTT GNB. GNB merepresentasikan 2/3 keanggotaan PBB dan 55 persen populasi dunia.
Apalagi, hal itu terjadi saat Iran diisolasi negara-negara Barat, buntut perseteruan Iran-Barat terkait program nuklir Iran. Kesanggupan Teheran menuanrumahi KTT GNB dapat memberikan pesan politik kepada Barat bahwa Iran tetap ''kuat eksis''. Iran bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga sanggup berbuat banyak demi mempertahankan harkat, martabat, dan harga diri sebagai sebuah negara-bangsa yang berdaulat hingga keberadaaannya betul-betul diperhitungkan dan dihormati oleh masyarakat internasional pada umumnya.
Tentu, hal itu juga tidak terlepas dari cukup banyaknya kepala negara/ pemerintahan yang memastikan menghadiri KTT Teheran yang mengagendakan pembahasan isu-isu krusial seperti Palestina, krisis Syria, Afghanistaan, Iraq, dan (tentu) perseteruan Iran-Barat terkait program nuklir Iran itu. Solidaritas di kalangan GNB bisa membuat AS bersama sekutunya akan lebih repot menghadapi Iran ke depan di lapangan diplomasi.
Iran semakin percaya diri dalam mengetuai GNB tiga tahun ke depan. Posisi itu memungkinkan Iran akan all out menggalang GNB guna mengeblok setiap upaya Barat menggagalkan program nuklir Iran untuk keperluan sipil.
Bagi Iran, program nuklirnya untuk keperluan pembangkit listrik rupanya benar-benar menjadi harga diri dan harga mati. Tak bisa ditawar sedikit pun oleh pihak mana pun, termasuk negara-negara Barat yang diujungtombaki AS. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan perjuangan militer (perang) bila keadaan memaksa.
Kita, bangsa Indonesia, sebagai sebuah nation-state berdaulat tentu sangat perlu mengambil hikmah ataupun pelajaran berharga dari keberanian, tekad kuat, keteguhan, kecerdikan, dan kepercayaan diri (pede) tinggi Iran mempertahankan obsesinya memiliki program nuklir untuk pembangkit listrik meski Iran harus menghadapi aneka macam tekanan negara-negara Barat. Presiden kita mestinya belajar percaya diri dengan datang sendiri ke Iran. ●