Perekonomian Kelewat Panas
A Prasetyantoko ; Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM), Unika Atma Jaya Jakarta |
KOMPAS, 30 Agustus 2012
Baru-baru ini, lembaga investasi Credit Suisse merilis laporan mengenai risiko perekonomian Indonesia yang dinilai mengalami kepanasan (overheating).
Bahkan, dengan sangat meyakinkan mereka memprediksi gelembung (bubble) ekonomi tersebut akan meletus (burst) pada awal 2013, diawali dengan melemahnya secara drastis nilai tukar rupiah.
Ada beberapa indikator yang dilihat, di antaranya; ekspektasi inflasi, tingkat upah, harga aset-aset (saham dan surat utang), neraca transaksi berjalan (current account) serta pertumbuhan uang beredar dan kredit. Satu-satunya indikator positif, menurut Credit Suisse, adalah inflasi riil. Itu pun dengan catatan karena tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Rendahnya inflasi ditanggung oleh tingginya beban subsidi. Dalam APBN Perubahan (APBN-P) 2012 subsidi BBM mencapai Rp 167 triliun dan subsidi listrik Rp 64,9 triliun. Sementara alokasi cadangan risiko fiskal energi sebesar Rp 23 triliun serta dana kompensasi kenaikan BBM sebesar Rp 30,6 triliun.
Jika subsidi dilepas dan harga BBM melonjak, sudah pasti inflasi akan melonjak. Itulah salah satu risiko terkait dengan beban fiskal, inflasi, dan stabilitas makro. Dalam arti tertentu, proyeksi negatif neraca transaksi berjalan memiliki kebenaran. Meskipun begitu, kalangan pengamat domestik ataupun asing, berpendapat proyeksi terjadinya gejolak pada 2013 agak berlebihan.
Lembaga investasi lainnya, Barclays, misalnya, tidak melihat perekonomian Indonesia kepanasan. Meski neraca transaksi berjalan mengalami defisit cukup lebar, tetapi itu diyakini karena peningkatan investasi yang produktif. Secara umum, perekonomian masih dianggap tumbuh secara seimbang.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya kita melihatnya sebagai indikator dini melihat masa depan ekonomi Indonesia. Dalam literatur krisis ekonomi, ada perbedaan antara gejolak (volatility) dengan kerawanan (vulnerability). Kalaupun kita belum masuk ke fase instabilitas, mungkin indikasi kerawanan ekonomi memang sudah terjadi. Oleh karena itu, perlu kewaspadaan tinggi untuk mengantisipasi.
Pertumbuhan kredit
Salah satu perhatian Credit Suisse adalah pertumbuhan kredit yang tinggi akibat kebijakan moneter yang longgar. Istilahnya, terlalu longgar untuk periode waktu yang terlalu lama. Bank Indonesia sebenarnya juga sudah mewaspadai peningkatan pertumbuhan kredit dan berupaya memperbaiki kualitasnya.
Rata-rata penyaluran kredit yang hingga Juni 2012 sekitar 25,9 persen (year-on-year) terbilang moderat. Dibandingkan banyak negara berkembang lain, rasio penyaluran kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) tergolong kecil. Bandingkan dengan Malaysia, Vietnam, dan China yang rata-rata sudah di atas 100 persen.
Meskipun begitu, bukan berarti tak ada catatan dalam hal penyaluran kredit karena kredit konsumsi masih terus tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan kredit. Kredit konsumsi terkonsentrasi pada tiga sektor, yaitu properti, kendaraan bermotor, dan kartu kredit.
Memang jika dilihat secara umum, lonjakan paling tinggi dalam satu tahun terakhir terjadi pada kredit modal kerja. Pada Juni 2011, volume kredit modal kerja sekitar Rp 940 triliun, tetapi pada Juni 2012 melonjak mencapai Rp 1.200 triliun.
Bandingkan dengan pertumbuhan kredit investasi yang hanya meningkat dari Rp 400 triliun menjadi Rp 525 triliun. Sementara kredit konsumsi dari sekitar Rp 600 triliun menjadi Rp 721 triliun dalam periode yang sama. Pertumbuhan kredit modal kerja menunjukkan peningkatan kapasitas produksi, seiring dengan kuatnya investasi, baik oleh investor domestik (PMDN) maupun investor asing (PMA).
Dalam literatur ekonomi, siklus pertumbuhan kredit menjadi salah satu indikator krisis. Salah satu persoalan dalam penyaluran kredit ada pada distribusi tiap sektor, yang sering tidak merata. Pertumbuhan kredit secara tidak merata (asymmetric credit boom) bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya gejolak ekonomi. Perekonomian menjadi cepat panas jika distribusi kredit lebih banyak ke sektor jasa (non-tradable/N-sektor) dibandingkan ke sektor tradable (T-sektor).
Alasannya, N-sektor biasanya tidak menyerap tenaga kerja banyak sehingga pertumbuhan yang terlalu tinggi tidak mencerminkan distribusi pendapatan yang merata. Tingkat keberlangsungan (sustainability) N-sektor biasanya lebih rendah dibandingkan T-sektor. Sementara T-sektor biasanya memang lebih sulit tumbuh karena mengandalkan adanya perbaikan daya saing, seperti infrastruktur, sistem logistik, energi, bahan baku, dan dukungan birokrasi.
Dari pertumbuhan ekonomi 6,4 persen pada kuartal II-2012 terlihat sektor yang dominan masih N-sektor, seperti perdagangan, hotel dan restoran, perhubungan dan telekomunikasi, serta jasa-jasa dan sektor keuangan. Ada persoalan dengan kualitas pertumbuhan mengingat sektor tradable atau sektor yang menyerap tenaga kerja banyak, seperti pertanian dan manufaktur, mengalami stagnasi parah.
Neraca Berjalan
Neraca transaksi berjalan mencatat semua pertukaran barang, jasa, serta transfer dan hibah. Jika defisit, berarti lebih banyak pengeluaran ketimbang pemasukan sehingga cadangan devisa cenderung tergerus. Dalam jangka panjang jika terus terjadi akan menimbulkan defisit permanen dalam neraca pembayaran yang biasanya diikuti defisit anggaran. Dan, jika itu terjadi, defisit ganda (twin deficit) tersebut akan menjadi sangat berbahaya.
Satu hal yang masih melegakan kita, defisit neraca transaksi berjalan masih bisa ditutup dengan defisit neraca modal, yang mencatat semua transaksi aliran modal, baik berupa investasi portofolio maupun investasi asing langsung. Indonesia termasuk salah satu prioritas utama investor asing untuk menanamkan modalnya, baik jangka pendek maupun panjang.
Sementara defisit neraca transaksi berjalan lebih disebabkan oleh jatuhnya nilai ekspor akibat ketergantungan kita pada komoditas primer yang harganya anjlok akhir-akhir ini. Lonjakan impor terjadi seiring pertumbuhan investasi. Salah satu perusahaan investasi asing, AllianceBernstein, juga menyatakan optimismenya, Indonesia masih jauh dari krisis neraca pembayaran. Meskipun demikian, bukan berarti tak ada masalah serius. Ketergantungan pada ekspor komoditas primer, sejalan dengan keprihatinan atas deindustrialisasi di dalam negeri.
Sejak Orde Baru perekonomian kita tak pernah bisa membangun basis industri yang kuat. Daya saing terus-menerus tergerus oleh lemahnya faktor struktural dan institusional, seperti ketersediaan infrastruktur, tingkat pendidikan, dan kesehatan publik.
Sungguh pun ekonomi kita masih akan cukup aman dalam jangka pendek ini, kita tak boleh lengah. Ancaman pemanasan ekonomi serta proyeksi kekacauan ekonomi di awal 2013 bisa kita abaikan. Namun, proyeksi jangka menengah-panjang tetap jadi sebuah kerisauan serius.
Meski kita beruntung dengan kekuatan konsumsi domestik, pada dasarnya perekonomian tak pernah bisa bergantung pada apa yang dikonsumsi sekarang, tetapi apa yang diproduksi untuk masa depan. Pekerjaan rumah terbesar: membenahi sisi produksi domestik. ●