Kemenangan Yogyakarta
A Kardiyat Wiharyanto ; Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta |
SUARA KARYA, 31 Agustus 2012
Rapat Paripurna DPR, Kamis (30/8), akhirnya mengesahkan RUUK Yogyakarta menjadi UU. Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam XI secara otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Namun, penetapan itu melarang yang bersangkutan menjadi anggota parpol. Pengesahan yang dinanti-nantikan masyarakat Yogyakarta selama 11 tahun ini praktis merupakan kemenangan tersendiri bagi mastarakat Yogyakarta. Karena, keistimewaan Yogyakarta benar-benar mendapat pengukuhan dan apresiasi dari pemerintah dan DPR.
Ini sekaligus mengingatkan pada peristiwa kemenangan Jogja Kembali, 63 tahun lalu. Ketika itu Belanda ingin menghancurkan RI yang sudah merdeka, sehingga bangsa Indonesia melawannya. Perlawanan tersebut mencapai puncaknya menjelang pertengahan 1949 setelah Belanda menyerbu Ibu Kota RI Yogyakarta, 19 Desember 1948.
Dalam sejarah, Yogyakarta tercatat sebagai kota revolusi atau kota perjuangan. Sejak proklamasi dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, maka pada 5 September 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII, menyatakan berdiri di belakang Pemerintah RI.
Sewaktu Ibu Kota RI masih berada di Jakarta, dan situasi keamanan semakin gawat karena kedatangan tentara Sekutu, maka dirasakan pusat pemerintahan RI perlu hijrah ke luar kota Jakarta. Tanpa ragu-ragu lagi, Sri Sultan HB IX mengulurkan tangan untuk mempersilakan Pemerintah Pusat pindah ke Yogyakarta.
Atas dasar beberapa pertimbangan keamanan, tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wapres RI hijrah ke Yogyakarta. Sejak itu dimulailah periode Republik Jogja, manakala serangan-serangan Belanda dipusatkan untuk menghancurkan Yogyakarta. Meskipun Yogyakarta adalah kota yang tergolong kecil, tetapi peranannya tidak dapat diremehkan dunia. Semangat perjuangan kemerdekaan bergolak hebat di kota kecil ini hingga cepat mendapat perhatian internasional. Yogyakarta memancarkan suatu kekuatan raksasa, manakala suara yang dikumandangkan didengar dan menggoncangkan dunia.
Mengingat pentingnya Republik Jogja itu, maka Belanda menyerbunya. Dengan berbagai pertimbangan, TNI tidak melakukan perlawanan besar-besaran sehingga Belanda berhasil mencapai Istana Presiden. Sebelum ditawan Belanda, Presiden Soekarno memberikan semangat juang kepada seluruh rakyat Indonesia, bahwa kemerdekaan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan telah meresap pada jiwa bangsa Indonesia, mustahil dapat ditindas dengan kekerasan. Ketika komandan pasukan Belanda di Jawa Tengah, Jenderal Meyer, mendesak Soekarno untuk memerintahkan rakyat Indonesia menghentikan perlawanan, Presiden Soekarno menolaknya.
Belanda kemudian menyiarkan berita ke seluruh dunia bahwa RI sudah hancur dan rakyat menyambut kedatangan Belanda sebagai pembebas. Agar berita yang benar tidak sampai tersiar luas terutama ke luar negeri, Belanda melakukan sensor pers yang keras sampai 1 Januari 1949.
Melihat tindakan Belanda itu, maka Komisi Jasa Baik PBB di Indonesia (KTN) minta kepada Belanda untuk melakukan peninjauan dari udara, tetapi ditolak, bahkan anggota-anggota militernya dipersilakan berangkat ke Jakarta dan ditawan sampai 7 Januari 1949. Belanda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pendudukan atas daerah RI merupakan kenyataan dan RI sudah terkubur. Tetapi, meskipun pers di Indonesia diberangus, RI masih merasa beruntung karena memiliki 4 diplomat di luar negeri, yaitu Palar, Sumitro, Sudjatmoko dan Sudarpo. Mereka itulah yang leluasa membela RI di luar negeri. Di samping itu, RI masih mempunyai radio gerilya yang sanggup memancarkan berita penyerangan dan perlawanan rakyat ke luar negeri, yaitu dengan jalur: dari Jawa ke Sumatera, dari Sumatera ke Yangon dan terus ke New Delhi.
Reaksi dunia atas penyerangan Belanda terhadap Republik Jogja luar biasa. Dunia umumnya marah, terutama karena Belanda berani melanggar suatu persetujuan gencatan senjata yang disponsori PBB, apalagi serangan itu dilakukan di depan hidung KTN. Sehari sesudah Belanda menyerang Yogyakarta, Wakil Amerika di PBB minta supaya Dewan Keamanan (DK) mengadakan sidang darurat.
Amerika bersama Kolombia dan Suriah mengajukan resolusi agar segera diadakan gencatan senjata dan penarikan mundur pasukan masing-masing di belakang garis demarkasi van Mook. Walaupun Inggris juga mendukung, tetapi resolusi itu belum lolos. Setelah ditambah usul agar Presiden RI dan pemimpin-pemimpin lain dibebaskan, maka resolusi yang diajukan AS, Kolombia dan Suriah tanggal 24 Desember 1948 diterima sebagai resolusi DK.
Belanda tidak mau menjalankan resolusi tersebut. KTN melaporkan bahwa Belanda terus menjalankan penyerbuan ke wilayah RI. Karena itu, DK bertindak lagi terutama setelah adanya Konperensi Inter Asia tentang Indonesia yang disponsori Nehru. Dengan dijiwai oleh keputusan konperensi tersebut, pada 28 Januari 1949, DK PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda dan RI mengadakan gencatan senjata, mengembalikan pemimpin-pemimpin RI dan perundingan.
Wakil Belanda di DK PBB, Van Royen, menentang resolusi tersebut. Belanda menolak untuk mengembalikan RI di bawah Presiden Soekarno ke residensi Yogyakarta dengan alasan RI sudah tidak ada, sudah dihapus. Sri Sultan HB IX ternyata mendengar berita penolakan Belanda itu dari siaran radio Australia. Saat itulah Sri Sultan segera memerintahkan untuk mengadakan rapat rahasia, berunding dengan Komandan SW III, Letkol Soeharto (Presiden RI Ke-2) di Kraton Yogyakarta. Rapat memutuskan untuk melakukan serangan umum terhadap Kota Yogyakarta yang diduduki Belanda pada 1 Maret 1949. Ini untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Pemerintah RI beserta TNI masih ada, tidak punah, belum terhapus.
Terang saja, Belanda benar-benar terpukul dan segera menerima resolusi DK PBB, dan pada 29 Juni 1949 Belanda meninggalkan Yogyakarta selama-lamanya. Pemerintah RI kembali ke Ibu Kota Yogyakarta (Jogja Kembali) dalam kemenangan. ●