Sampang dan Klaim Pembenaran
M Bashori Muchsin ; Direktur Program Pascasarjana Universitas Islam Malang |
MEDIA NDONESIA, 31 Agustus 2012
SETIAP orang di dunia ini adalah seorang tamu dan uangnya adalah pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan (HR Ibnu Mas’ud).
Apa yang dikatakan Nabi Muhammad SAW itu sejatinya mengingatkan kita bahwa hidup di muka bumi laksana tamu, yang tiba-tiba datang tanpa diundang atau pergi tanpa kita minta. Kita memang bisa bergulat demi berebut sesuap nasi, adu kompetisi, menganyam friksi, terlibat dalam perkelahian, bahkan mempertaruhkan nyawa, harga diri, dan terperosok dalam bursa kriminalisasi individualitas dan kolektivitas demi sikap eksklusif merasa benar dan paling beragama. Padahal, kita tidak pernah tahu kapan jadwal kita mati.
Kalau kepastian rahasia di balik vonis ilahi itu tidak bisa kita ketahui, mengapa kita sampai terjebak dalam penahbisan klaim kebenaran (truth claim), sementara orang atau kelompok lain paling bersalah dan tidak beragama? Mengapa harus ‘agama darah’ yang kita menangkan dan tahbiskan, padahal idealnya yang harus disejarahkan ialah agama ramah sosial dan kemanusiaan?
Kita sudah diingatkan Nabi dalam sabdanya itu untuk menghormati atau menghargai hidup. Hidup diharuskan tidak berakhir tanpa makna dan sia-sia. Kalau sedang terlibat dalam banyak ragam ‘selancar’ (pergulatan), kita diharuskan berefleksi atau menunaikan hajat spiritualitas, berzikir, atau berelasi vertikal dengan-Nya bahwa hidup di dunia ini bukan demi terlibat dalam ‘selancar’ hedonisme, egoisme, materialisme, tetapi menguatkan konstruksi relasional spiritualitas kepadaNya melalui jalur spiritualisasi harmonisasi hubungan publik yang inklusif atau berbasis saling memanusiakan.
Di negeri ini, sudah sangat banyak ditemukan model manusia yang hanya sibuk ‘selancar’ memburu kepentingan duniawi, memuaskan hasrat maksiat, mengejar ambisi tak kenal titik nadir, atau rajin menapak di ranah petualangan yang serbadikalkulasi dengan ‘uang’, jabatan, dan pemenangan emosi dan formalitas dalam beragama.
Padahal, apa yang diperbuatnya jauh dari ranah ‘memberi’ kemaslahatan kepada publik.
Surga Sosial
Tak sedikit di antara kita hanya tergoda dan terjerumus jadi ‘pengadil-pengadil jalanan’, yang semua itu dilakukan akibat pikiran dan sikap keberagamaan eksklusif. Tipe keberagamaan itu, oleh Taufik Musa (2010), disebut tipe keberagamaan tak berbasis kemanusiaan, tak mengedepankan atau menghadirkan ‘surga sosial’.
Tidak terkonstruksinya ‘surga sosial’ itu setidaknya dapat terbaca dalam kasus kekerasan atas nama agama pada komunitas pemeluk agama lain. Sebagai contoh, kembali terulangnya kasus penyerangan terhadap kelompok Islam Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Sampang, merupakan wujud pemenangan tipe ‘agama darah’ dalam berelasi dengan sesama umat beragama.
Kejadian tersebut merupakan kali kedua dalam dua tahun terakhir. Aksi serupa juga terjadi pada akhir Desember 2011. Ketika itu rumah pimpinan Islam Syiah, musala, dan madrasah kelompok Islam minoritas itu diserang kelompok massa anti-Syiah. Akibat penyerangan itu, ada warga yang meninggal, di samping sebanyak 200 jiwa lebih pengikut Islam Syiah terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Harta benda mereka juga dirampas dan anak-anak kelompok Syiah dikucilkan.
Kalau seseorang atau sekelompok orang sudah masuk jeratan pengabsolutan kebenaranisme atau mazhab tersebut, apa yang digagas dan digerakkan serta disakralkannya berpotensi dinilai sebagai bagian dari dakwah yang mesti ditegakkan dengan cara apa pun.
Dalam ranahnya, perilaku orang lain harus diluruskan menurut takaran paham atau mazhabnya. Dalam dirinya menggelegar hasrat untuk selalu `mengintervensi' apa yang diperbuat orang lain meski dalam paradigmanya harus dengan cara berdarah-darah.
Cara berdarah itulah yang membuat Islam, misalnya, bukan sebatas dinilai sebagai agama yang membenarkan kekerasan dalam ranah opsi berdakwah, tetapi sekaligus sebagai agama yang tidak layak menjadi rahmat universal (rahmatan lil-alamin). Akibatnya mencuat tuduhan atau gugatan, bagaimana mungkin bisa mengayomi kehidupan masyarakat secara multietnik dan multikultural serta multiagama kalau doktrinnya mengedepankan gaya represif dan tidak membumikan keramahan.
Akibat pemenangan paradigma truth claims tersebut, wajah kehidupan beragama di bumi pertiwi ini kehilangan harmonisasi sosial kemanusiaannya. Atmosfer kehidupan menjauhkan sesama manusia (orang lain) untuk gagal mengenyam kemerdekaan atau kebebasan pikir, kreasi, dan ijtihadnya. Mereka hanya sibuk direcoki, diintimidasi, dan bahkan divonis sebagai `golongan sesat'. Dalam logika tersebut, manusia lain tidak mendapatkan hak untuk menikmati demokratisasi dan keegaliterannya. Komunitas fundamentalisdestruktif me rampas kekayaan berharganya yang berupa akal, keyakinan, rahasia vonis ilahi, dan realitas pluralitas.
Hak Hidup
Komunitas fundamentalis itu dapat `dilawan' dengan pengembangan paradigma atau pengembangbiakan (pembumian) tafsir keberagamaan nonmisoginis alias pola pemikiran dan perilaku keagamaan yang melihat dan menempatkan orang atau pemeluk agama lain bukan sebagai objek kebencian atau sebatas alasan pembenar untuk berlaku zalim, biadab, dan seperti binatang atau gerakan-gerakan bercorak dehumanisasi.
Pembumian tafsir nonmisoginisitu berlandaskan sumber-sumber autentik seperti hadis yang berbunyi, “Tidak disebut beriman di antara kalian sehingga mencintai sesamanya (saudaranya) sebagaimana kalian mencintai diri sendiri,” yang sejatinya mengajarkan relasi kehidupan yang ‘memberi hak hidup’ dan memprogresifkan advokasi secara multiaspek pada orang lain, bukan vonis keji untuk mendehumanisasi apalagi sampai menghabisinya.
“Di mana ada cinta, di situ ada kehidupan,” demikian ujar reformis India Mahatma Gandhi, yang menunjukkan bahwa cinta itu menentukan corak kehidupan manusia. Bangunan hidup manusia, baik dalam dimensi persaudaraan kerakyatan (ukhuwah istirakiyah), kemanusiaan (ukhuwah insaniyah), maupun kebangsaan (ukhuwah wathoniyah), ditentukan, disatukan, dan disemaikan oleh dan karena cinta yang bersemi dalam diri manusia.
Cinta menjadi kekuatan moral (moral force) yang menggerakkan terjadinya pertemuan antarsegmen bangsa yang berbeda etnik, budaya, agama, politik, ekonomi, status sosial, dan aspek-aspek lainnya yang semula menjadi sekatnya. Cinta mampu mencairkan bekunya hubungan antarkomponen bangsa yang semula sibuk menganyam friksi dan mengultuskan faksi-faksinya (golongan-golongannya).
Melalui kekuatan moral psikologis itu, ada emosi yang bisa diredam, ada gejolak egoisme atau kebencian yang perlu dikalahkan, ada kesabaran yang dimenangkan, ada toleransi yang bisa disuburkan, ada kearifan yang dipanglimakan, ada inklusivitas yang terus diberdayakan, ada berahi kepentingan duniawi yang tidak selayaknya dijadikan kiblat, ada tuntutan-tuntutan bercorak kepuasan dan kebahagiaan instan di balik kebenaran tafsir keberagaaman subjektivitas dan egoisme yang sepatutnya ditundukkan atau direformulasikan lagi, serta ada kegairahan komitmen besar untuk memperlakukan orang lain sebagai subjek humanitas (hablun minannas).
Alkisah, ketika hendak salat subuh, sahabat Ali RA pernah tidak berani menyalip dan
mendahului seorang Yahudi tua yang sedang berjalan tertatih-tatih. Ia khawatir kalau mendahului akan membuatnya kaget. Akibat semangat Ali yang memberikan toleransi dan advokasi yang didasari semangat menghormati hak kemanusiaan si Yahudi itu, Nabi Muhammad SAW yang sedang menunaikan salat subuh secara berjemaah tidak bisa mengakhiri salatnya cepat-cepat. Pasalnya ketika sujud, ada kekuatan gaib yang menyuruhnya sujud lebih lama guna menunggu seseorang yang belum datang (Ali).
Dengan belajar dari pengalaman religiositas (spiritualitas) yang terkonstruksi tersebut, ada pelajaran berharga yang dapat diperoleh. Yakni, sikap toleransi (tasamuh) atau advokasi tinggi terhadap orang lain yang berbeda agama, etnik, budaya, atau aspek lainnya merupakan wujud perbuatan yang bermaknakan penghormatan atau `keramah-tamahan' inklusivitas dan humanitas yang dimuliakan Tuhan. ●