Mengubah Kebengisan Lalu Lintas
Doan Widhiandono ; Wartawan Jawa Pos |
JAWA POS, 31 Agustus 2012
BERAPA prajurit AS yang tewas selama menjalankan operasi militer di Iraq selama satu dekade (2003-2012)? Jumlahnya 4.486 jiwa. Kalau dirata-rata, setiap hari ada seorang serdadu Paman Sam yang anumerta. Tak sampai dua nyawa per hari. Jumlah kematian tertinggi terjadi pada 2007, yakni 904 prajurit tewas. Itu artinya 2-3 tentara melepas nyawa tiap hari.
Lalu, berapa nyawa melayang di kubu AS selama perang di Afghanistan pada 2001-2012? Ternyata lebih sedikit. Yakni, 2.106 prajurit selama 12 tahun atau rata-rata dua hari sekali baru ada satu nyawa tentara yang hilang.
Angka-angka tersebut memang jauh lebih kecil ketimbang korban dari kalangan sipil. Banyak yang menyebut bahwa selama operasi militer AS dan para sekutunya di Iraq dan Afghanistan, tak kurang dari 130 ribu warga sipil tewas.
Namun, sedikit banyak, data prajurit tewas yang dirilis (dan terus di-update) oleh situs http://icasualties.org tersebut memang menggambarkan situasi perang yang bengis.
Namun, data arus lalu lintas selama momen Lebaran di Indonesia tak kalah mencekamnya...
Mabes Polri mencatat, dalam kurun H-7 hingga H+6 Lebaran, terjadi 5.233 kecelakaan (Jawa Pos, 28/8). Selama 15 hari itu, 908 nyawa hilang. Itu rata-rata 60,5 orang meninggal di jalanan tiap hari. Ya ampun... Logika sederhana, jalanan negeri kita di masa arus mudik dan arus balik kemarin 60 kali lebih maut ketimbang kancah perang di Iraq dan 120 kali lebih mematikan daripada perang satu dekade di Afghanistan!
Data Mabes Polri itu masih dilengkapi info penunjang yang juga tak kalah mengerikan. Sebanyak 1.505 orang luka berat dan 5.139 lainnya luka ringan. Kerugian yang tercatat ditaksir mencapai Rp 11,8 miliar. Itu kerugian materiil. Kerugian immaterial tentu tak terhitung.
Tahun ini, terdata 5.634 sepeda motor terlibat dalam kecelakaan. Mereka bertumbangan di antara 2,5 juta unit sepeda motor lain yang juga ikut dalam hiruk pikuk mudik.
Memang tak mudah untuk langsung tuding hidung kepada siapa yang bersalah dalam ''kecelakaan masal'' selama dua pekan tersebut. Sebab, setiap kecelakaan pasti punya karakteristik kejadian tersendiri. Meski begitu, tetap ada benang merah yang bisa ditarik dalam ribuan road accidents tersebut. Yakni, kata polisi, setiap kecelakaan pasti diawali dengan pelanggaran. Problemnya, pelanggaran-pelanggaran itu tetap saja terjadi dan kian lama kian masif.
Rasanya terlalu melelahkan kalau kita terus-menerus mengutuki pemerintah lantaran ketidakmampuannya menyediakan keamanan dan kenyamanan di jalan. Atau karena angkutan umum kita yang masih saja kurang diminati karena tak nyaman. Sudahlah, anggap saja pemerintah memang belum mampu menyediakan prasarana jalan yang memadai.
Tapi, faktor yang berpengaruh memang bukan sarana-prasarana belaka. Perilaku berkendara justru kerap menjadi faktor utama keselamatan berlalu lintas. Terus terang, perilaku pengendara kita jauh dari disiplin.
Bahkan, Kementerian Luar Negeri AS lewat situs http://travel.state.gov menuliskan hal tersebut. Lewat laman itu, Kemenlu AS memang merangkum karakteristik setiap negara di dunia dari berbagai aspek. Mulai geografis, kultur, kriminalitas, hingga lalu lintas. Info itu berguna untuk informasi awal bagi warga AS yang ingin melancong ke luar negeri.
Nah, soal lalu lintas di Indonesia, situs tersebut menulis bahwa traffic in Indonesia is highly dangerous, congested, and undisciplined (lalu lintas di Indonesia sangat berbahaya, hiruk pikuk, dan tidak disiplin).
Lebih lanjut, dituliskan pula bahwa traffic signals are frequently ignored and often in disrepair. Artinya, orang luar negeri pun tahu bahwa rambu-rambu lalu lintas di Indonesia kerap diabaikan dan kadang kondisinya memprihatinkan.
Gambaran lain dalam situs tersebut seharusnya membuat kita malu. Yakni, bus dan truk kerap kelebihan muatan dan berkecepatan tinggi. Lalu lintas di Indonesia juga digambarkan kerap bercampur antara mobil, sepeda motor, becak, delman, cikar (kereta yang ditarik sapi), gerobak dorong, hingga hewan ternak yang berseliweran.
Soal sepeda motor, dituliskan bahwa jumlah roda dua di jalanan begitu banyak dan mereka selalu merebut hak pengendara lain di jalanan. Pasti yang dimaksud adalah saling serobot dan main potong seenaknya. Pengendara motor juga dituding paling rendah kepatuhannya terhadap aturan lalu lintas dan tata keselamatan.
Generally, road safety awareness is very low in Indonesia (Secara umum, kesadaran soal keselamatan berkendara di Indonesia masih sangat rendah).
Itu tak usah dibantah. Anggap saja ini untuk introspeksi. Setiap hari kita bisa menyaksikan buktinya. Mulai pengendara motor yang memotong jalur pengendara lain, motor yang disesaki penumpang lebih dari dua orang, atau pengendara motor yang sibuk ber-SMS. Seolah-olah begitu penting kabar SMS itu sehingga harus dikirim dengan bertaruh nyawa.
Menunggu pemerintah mengubah jalanan menjadi nyaman dan longgar mungkin makan waktu. Menanti moda transportasi yang murah, nyaman, dan aman tak bisa sekejap. Tapi, mengubah perilaku berkendara adalah hal yang paling memungkinkan saat ini. Mari. ●
Lalu, berapa nyawa melayang di kubu AS selama perang di Afghanistan pada 2001-2012? Ternyata lebih sedikit. Yakni, 2.106 prajurit selama 12 tahun atau rata-rata dua hari sekali baru ada satu nyawa tentara yang hilang.
Angka-angka tersebut memang jauh lebih kecil ketimbang korban dari kalangan sipil. Banyak yang menyebut bahwa selama operasi militer AS dan para sekutunya di Iraq dan Afghanistan, tak kurang dari 130 ribu warga sipil tewas.
Namun, sedikit banyak, data prajurit tewas yang dirilis (dan terus di-update) oleh situs http://icasualties.org tersebut memang menggambarkan situasi perang yang bengis.
Namun, data arus lalu lintas selama momen Lebaran di Indonesia tak kalah mencekamnya...
Mabes Polri mencatat, dalam kurun H-7 hingga H+6 Lebaran, terjadi 5.233 kecelakaan (Jawa Pos, 28/8). Selama 15 hari itu, 908 nyawa hilang. Itu rata-rata 60,5 orang meninggal di jalanan tiap hari. Ya ampun... Logika sederhana, jalanan negeri kita di masa arus mudik dan arus balik kemarin 60 kali lebih maut ketimbang kancah perang di Iraq dan 120 kali lebih mematikan daripada perang satu dekade di Afghanistan!
Data Mabes Polri itu masih dilengkapi info penunjang yang juga tak kalah mengerikan. Sebanyak 1.505 orang luka berat dan 5.139 lainnya luka ringan. Kerugian yang tercatat ditaksir mencapai Rp 11,8 miliar. Itu kerugian materiil. Kerugian immaterial tentu tak terhitung.
Tahun ini, terdata 5.634 sepeda motor terlibat dalam kecelakaan. Mereka bertumbangan di antara 2,5 juta unit sepeda motor lain yang juga ikut dalam hiruk pikuk mudik.
Memang tak mudah untuk langsung tuding hidung kepada siapa yang bersalah dalam ''kecelakaan masal'' selama dua pekan tersebut. Sebab, setiap kecelakaan pasti punya karakteristik kejadian tersendiri. Meski begitu, tetap ada benang merah yang bisa ditarik dalam ribuan road accidents tersebut. Yakni, kata polisi, setiap kecelakaan pasti diawali dengan pelanggaran. Problemnya, pelanggaran-pelanggaran itu tetap saja terjadi dan kian lama kian masif.
Rasanya terlalu melelahkan kalau kita terus-menerus mengutuki pemerintah lantaran ketidakmampuannya menyediakan keamanan dan kenyamanan di jalan. Atau karena angkutan umum kita yang masih saja kurang diminati karena tak nyaman. Sudahlah, anggap saja pemerintah memang belum mampu menyediakan prasarana jalan yang memadai.
Tapi, faktor yang berpengaruh memang bukan sarana-prasarana belaka. Perilaku berkendara justru kerap menjadi faktor utama keselamatan berlalu lintas. Terus terang, perilaku pengendara kita jauh dari disiplin.
Bahkan, Kementerian Luar Negeri AS lewat situs http://travel.state.gov menuliskan hal tersebut. Lewat laman itu, Kemenlu AS memang merangkum karakteristik setiap negara di dunia dari berbagai aspek. Mulai geografis, kultur, kriminalitas, hingga lalu lintas. Info itu berguna untuk informasi awal bagi warga AS yang ingin melancong ke luar negeri.
Nah, soal lalu lintas di Indonesia, situs tersebut menulis bahwa traffic in Indonesia is highly dangerous, congested, and undisciplined (lalu lintas di Indonesia sangat berbahaya, hiruk pikuk, dan tidak disiplin).
Lebih lanjut, dituliskan pula bahwa traffic signals are frequently ignored and often in disrepair. Artinya, orang luar negeri pun tahu bahwa rambu-rambu lalu lintas di Indonesia kerap diabaikan dan kadang kondisinya memprihatinkan.
Gambaran lain dalam situs tersebut seharusnya membuat kita malu. Yakni, bus dan truk kerap kelebihan muatan dan berkecepatan tinggi. Lalu lintas di Indonesia juga digambarkan kerap bercampur antara mobil, sepeda motor, becak, delman, cikar (kereta yang ditarik sapi), gerobak dorong, hingga hewan ternak yang berseliweran.
Soal sepeda motor, dituliskan bahwa jumlah roda dua di jalanan begitu banyak dan mereka selalu merebut hak pengendara lain di jalanan. Pasti yang dimaksud adalah saling serobot dan main potong seenaknya. Pengendara motor juga dituding paling rendah kepatuhannya terhadap aturan lalu lintas dan tata keselamatan.
Generally, road safety awareness is very low in Indonesia (Secara umum, kesadaran soal keselamatan berkendara di Indonesia masih sangat rendah).
Itu tak usah dibantah. Anggap saja ini untuk introspeksi. Setiap hari kita bisa menyaksikan buktinya. Mulai pengendara motor yang memotong jalur pengendara lain, motor yang disesaki penumpang lebih dari dua orang, atau pengendara motor yang sibuk ber-SMS. Seolah-olah begitu penting kabar SMS itu sehingga harus dikirim dengan bertaruh nyawa.
Menunggu pemerintah mengubah jalanan menjadi nyaman dan longgar mungkin makan waktu. Menanti moda transportasi yang murah, nyaman, dan aman tak bisa sekejap. Tapi, mengubah perilaku berkendara adalah hal yang paling memungkinkan saat ini. Mari. ●