Intoleransi dan Kekerasan
Donny Gahral Adian ; Dosen Filsafat Politik UI |
KOMPAS, 31 Agustus 2012
Sebuah republik dibangun dari segaris janji. Janji tentang kehidupan bersama yang adil dan beradab. Namun, di Republik ini janji tersebut berulang kali diingkari.
Hanya selang setahun, kekerasan terhadap minoritas Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur, kembali terulang. Belakangan ini, kekerasan yang dilakukan alat negara terhadap warga sipil pun meningkat tajam. Kekerasan terjadi di mana-mana, secara simultan, baik vertikal maupun horizontal. Ini menandakan ada yang tak beres dengan Republik ini. Di satu sisi, pencapaian ekonomi demikian dielu-elukan. Di sisi lain, kekerasan terus berlanjut seolah tanpa muara. Republik ini pun bak pribadi yang terbelah.
Semakin Parah
Pada masa Orde Baru, kekerasan horizontal diminimalisasi lewat politisasi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). SARA, sayangnya, bukan ajakan dialog, melainkan larangan untuk berbicara. Ketidaksukaan disembunyikan rapat-rapat dari ruang publik. Intoleransi diturunkan ke ruang-ruang pribadi yang sunyi. Sebagai gantinya, ruang publik diisi dengan jargon dan simbol yang mengetengahkan kerukunan dan tepa selira. Intoleransi memang sesekali menyelinap ke ruang publik. Namun, negara dengan berbagai kelengkapan koersinya siap menindak dengan tegas. Ibaratnya, siapa yang tak berhasil dicuci dengan Pancasila akan berhadapan dengan mulut senapan aparat negara. Akibatnya, intoleransi tak dapat mengartikulasikan dirinya di ruang publik secara wajar. Intoleransi ditanam dalam-dalam di ruang tak sadar sosial, menunggu untuk meledak.
Reformasi pun datang membawa gelombang demokratisasi yang bersandar pada supremasi hukum, persamaan perlakuan dan politik kewarganegaraan. Janji tentang hidup bersama yang adil dan beradab sepertinya segera terlunasi. Namun, disadari atau tidak, reformasi tidak berkorelasi dengan susutnya kekerasan. Demokratisasi bekerja pada tataran kelembagaan. Sementara, kultur intoleran yang dipendam dalam-dalam tak tersentuh sama sekali.
Sebagai pemegang monopoli koersi, penyelenggara negara sekarang diawasi banyak lembaga. Anehnya, kekerasan negara tetap merebak di mana-mana. Kekerasan menandakan kekuatan. Sayangnya, negara sebagai kekuatan vertikal tak sanggup mengatasi konflik horizontal.
Kekerasan yang meledak berulang kali pada masa Reformasi ini adalah indikator merosotnya keadaban. Pada masa Orde Baru, kekuatan vertikal berhasil meredam kekerasan horizontal dengan berbagai cara. Orde Baru benar-benar memainkan perannya sebagai pemegang monopoli koersi. Sayangnya, Reformasi justru ditandai dengan dominasi, baik kekerasan vertikal maupun horizontal. Kekerasan vertikal biasanya disponsori oleh kepentingan privat yang terganggu. Sementara, kekerasan horizontal memiliki banyak motif yang saling bertalian satu sama lain.
Pada masa Orde Baru, kekerasan memiliki tujuan yang jelas. Kekerasan memiliki ideologi sebagai kebeluman yang ingin dicapai. Sekarang, kekerasan seperti parade gelap yang terus berputar tanpa kejelasan tujuan. Kekerasan menjadi repetisi murni tanpa target jangka panjang. Ambon, Poso, Sampit, Aceh, Papua, Cikeusik, Sampang, semua berulang begitu saja. Di sini, penyelenggara negara seperti gagap menyikapinya. Kegagapan penyelenggara negara plus disartikulasi intoleransi membuat kekerasan tak kunjung padam.
Kegagapan penyelenggara negara, misalnya, terselip pada ucapan klise para pejabat publik bahwa yang terjadi adalah kriminal murni. Seolah motivasi intoleransi yang melatari perbuatan hendak disapu ke kolong meja. Padahal, kasus Sampang terjadi untuk kedua kalinya hanya dalam waktu satu tahun.
Apakah pelaku kekerasan adalah penjahat kambuhan? Belum lagi, kekerasan tersebut dilakukan secara kolektif. Apa yang dapat menggerakkan massa sedemikian banyak kalau bukan keyakinan? Negara bukan saja gagap dalam menjalankan perannya sebagai pemegang monopoli koersi. Negara juga gagap mengenali kekerasan yang terjadi berulang kali di depan matanya. Dengan kata lain, bagaimana tindakan tegas dan cepat dapat diambil apabila apa yang hendak ditangani tidak diketahui?
Motif Intoleransi
Republik ini terlalu toleran terhadap kekerasan. Baik sipil maupun nonsipil, semuanya kesulitan dalam menarik batas toleransi terhadap kekerasan. Sebab, kita hanya mengenali perbuatan tetapi emoh mengidentifikasi motif. Padahal, motif adalah hulu sebuah perbuatan. Republik yang demikian majemuk menyediakan motif yang tak terhitung banyaknya. Ekonomi bisa saja menyulut pertikaian. Namun, motif dasar senantiasa berupa intoleransi yang sedemikian mengakar terhadap yang lain. Ekonomi hanya menyulut bara api yang menyala sedari dulu.
Bara api intoleransi tidak pernah padam sebab masyarakat tidak pernah belajar mengartikulasikannya secara sehat. Alhasil, berbagai kekerasan bermotif intoleransi terjadi di mana-mana.
Kekerasan bermotif intoleransi memiliki beberapa watak utama. Pertama, pelaku kekerasan berasumsi bahwa korban adalah dia yang tak setara dan inferior. Kelompok agama yang menyerang kelompok minoritas beranggapan bahwa korban adalah mereka yang sesat, keliru, dan rendah. Kedua, apa pun basis ideologisnya, kelompok penyerang memandang korban sebagai yang mengancam eksistensi fisik atau ideologis mereka.
Kelompok yang menyerang kaum imigran memandang imigran sebagai si perebut lapangan pekerjaan. Kelompok yang menyerang penganut keyakinan minoritas memandang korban sebagai yang mengancam integritas keyakinan teologis mereka.
Yang lain, singkatnya, direduksi sebagai mereka yang layak diperangi akibat keyakinan, etnis, ras, atau orientasi ideologis tertentu. Akibatnya, struktur hak- kewajiban dipelintir secara ideologis. Korban layak atau berhak diperangi, sementara penyerang berkewajiban memerangi mereka. Hak untuk berkeyakinan korban diabaikan. Intoleransi terhadap yang lain membuat hak berkeyakinan korban dapat dibatalkan oleh kewajiban memerangi mereka yang mengancam. Yang lain di sini, ironisnya, bukan sebuah enigma, melainkan justru sesuatu yang direduksi secara konseptual ke dalam struktur keyakinan penyerang sebagai: sesat, pendosa, inferior, predator ekonomi, dan sebagainya.
Kekerasan harus dihentikan sedari hulu. Aparat negara harus bertindak cepat (velox) dan akurat (exactus) untuk memadamkan bara kekerasan sebelum kebakaran sosial terjadi. Untuk itu, aparat negara harus mampu mengenali motif intoleransi yang melatari sebuah perbuatan. Kekerasan bisa diawali dari perbuatan yang menyehari seperti ceramah, ejekan, dan hasutan. Penyelenggara negara tidak boleh tinggal diam. Kekerasan harus ditindak pada kesempatan pertama. Intoleransi memang tak dapat dihilangkan begitu saja. Namun, itu dapat diminimalisasi dengan penegakan hukum yang jeli, adil, dan tak berpihak. Kekuatan vertikal yang dimiliki negara jangan hanya dipakai memerangi buruh dan petani. Pakailah untuk menindak para bigot yang intoleran dan terus melukai sesama. Kekerasan harus dihentikan! ●