Penguatan Posisi Iran
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Jogjakarta |
SUARA MERDEKA, 30 Agustus 2012
UNTUK kali pertama Republik Islam Iran menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non-Blok (GNB). Penyelenggaraan konferensi kali ke-16 di Teheran pada 30-31 Agustus 2012 tersebut menambah deretan negara anggota yang pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan puncak gerakan tersebut.
Sejumlah negara telah menjadi tuan rumah konferensi sebelumnya, yaitu secara berurutan Yugoslavia (1964 dan 1989), Mesir (1967 dan 2009), Zambia (1970), Aljazair (1973), Sri Lanka (1976), Kuba (1979 dan 2006), India (1982), Zimbabwe 1986), Indonesia (1992), Kolumbia (1995), Afrika Selatan (1998), dan Malaysia (2003).
Gerakan Non-Blok resmi terbentuk di tengah puncak Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (Rusia) pada September 1964, bersamaan penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi kali pertama di Beograd. Namun, embrionya sudah muncul pada April 1955, saat digelar Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung.
Sejumlah negara telah menjadi tuan rumah konferensi sebelumnya, yaitu secara berurutan Yugoslavia (1964 dan 1989), Mesir (1967 dan 2009), Zambia (1970), Aljazair (1973), Sri Lanka (1976), Kuba (1979 dan 2006), India (1982), Zimbabwe 1986), Indonesia (1992), Kolumbia (1995), Afrika Selatan (1998), dan Malaysia (2003).
Gerakan Non-Blok resmi terbentuk di tengah puncak Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (Rusia) pada September 1964, bersamaan penyelenggaraan konferensi tingkat tinggi kali pertama di Beograd. Namun, embrionya sudah muncul pada April 1955, saat digelar Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung.
Walaupun secara teoritik GNB tidak terlibat dalam pertarungan antarblok (kekuatan) yang terjadi, praktiknya dalam hampir setengah abad perjalanan eksistensialnya, organisasi internasional yang kini beranggotakan 120 negara (termasuk Palestina) itu seolah-oleh ditakdirkan tak pernah lepas dari keterlibatan sebagian anggotanya dalam pertarungan (perseteruan) yang selalu melibatkan negara besar (AS) itu.
Selama Perang Dingin, Kuba tampil sebagai anggota Gerakan Non-Blok yang selalu konsisten menentang hegemoni ekonomi politik Amerika Serikat (AS). Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Castro, bersama negara-negara anggota sehaluan seperti Yugoslavia kerap melontarkan pernyataan keras dan pedas, menentang kebijakan-kebijakan hegemonik Amerika.
Selepas Perang Dingin, Irak dan Iran menambah jumlah negara GNB yang berani terang-terangan menentang hegemoni AS. Tetapi sial bagi Irak di bawah rezim Saddam Hussein, lantaran keberaniannya harus berakhir dengan invasi dan pendudukan militer Amerika bersama sekutunya atas Irak dan membuatnya terbelenggu beragam krisis berkepanjangan hingga sekarang. Irak pun didikte negara adikuasa tersebut.
Sementara Iran sampai hari ini masih konsisten berseteru dengan Amerika bersama sekutunya, terlebih berkait dengan program nuklir Iran. Amerika dan sekutunya terus mencurigainya sebagai program tersembunyi pembuatan senjata nuklir, sedangkan pemerintah Iran berulang kali menegaskan program nuklirnya untuk keperluan sipil (pembangkit listrik).
Amerika dan sekutunya beberapa kali memperalat Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengeluarkan sejumlah resolusi guna menjatuhkan sanksi berupa isolasi (embargo) ekonomi dan keuangan terhadap negeri para mullah itu. Tetapi Iran tetap bergeming dengan sikap kuatnya melanjutkan program nuklirnya (untuk pembangkit listrik) meski terus ditekan habis-habisan dari segi ekonomi finansial oleh negara-negara Barat.
Lantas, di mana korelasi perseteruan Iran-Amerika dengan KTT GNB di Teheran? Tentu korelasinya terletak pada kesanggupan pemerintah Iran menjadi tuan rumah perhelatan akbar selevel KTT GNB. Jelas, Gerakan Non-Blok bukanlah organisasi kelas teri melainkan organisasi besar yang cukup didengar dan diperhitungkan suaranya di forum PBB. Gerakan Non-Blok merepresentasikan 2/ 3 keanggotaan PBB dan 55 persen populasi dunia.
Tunjukkan Eksistensi
Karenanya, menjadi tuan rumah perhelatan besar sekelas KTT GNB tentu menjadi langkah diplomasi yang sangat prestisius bagi Iran. Apalagi hal itu berlangsung pada saat Iran diisolasi oleh negara-negara Barat. Kesanggupannya menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi tersebut dapat memberi pesan politik kepada Barat, meski Iran diisolasi oleh negara Barat, realitasnya Iran tetap eksis.
Selama Perang Dingin, Kuba tampil sebagai anggota Gerakan Non-Blok yang selalu konsisten menentang hegemoni ekonomi politik Amerika Serikat (AS). Kuba di bawah kepemimpinan Fidel Castro, bersama negara-negara anggota sehaluan seperti Yugoslavia kerap melontarkan pernyataan keras dan pedas, menentang kebijakan-kebijakan hegemonik Amerika.
Selepas Perang Dingin, Irak dan Iran menambah jumlah negara GNB yang berani terang-terangan menentang hegemoni AS. Tetapi sial bagi Irak di bawah rezim Saddam Hussein, lantaran keberaniannya harus berakhir dengan invasi dan pendudukan militer Amerika bersama sekutunya atas Irak dan membuatnya terbelenggu beragam krisis berkepanjangan hingga sekarang. Irak pun didikte negara adikuasa tersebut.
Sementara Iran sampai hari ini masih konsisten berseteru dengan Amerika bersama sekutunya, terlebih berkait dengan program nuklir Iran. Amerika dan sekutunya terus mencurigainya sebagai program tersembunyi pembuatan senjata nuklir, sedangkan pemerintah Iran berulang kali menegaskan program nuklirnya untuk keperluan sipil (pembangkit listrik).
Amerika dan sekutunya beberapa kali memperalat Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengeluarkan sejumlah resolusi guna menjatuhkan sanksi berupa isolasi (embargo) ekonomi dan keuangan terhadap negeri para mullah itu. Tetapi Iran tetap bergeming dengan sikap kuatnya melanjutkan program nuklirnya (untuk pembangkit listrik) meski terus ditekan habis-habisan dari segi ekonomi finansial oleh negara-negara Barat.
Lantas, di mana korelasi perseteruan Iran-Amerika dengan KTT GNB di Teheran? Tentu korelasinya terletak pada kesanggupan pemerintah Iran menjadi tuan rumah perhelatan akbar selevel KTT GNB. Jelas, Gerakan Non-Blok bukanlah organisasi kelas teri melainkan organisasi besar yang cukup didengar dan diperhitungkan suaranya di forum PBB. Gerakan Non-Blok merepresentasikan 2/ 3 keanggotaan PBB dan 55 persen populasi dunia.
Tunjukkan Eksistensi
Karenanya, menjadi tuan rumah perhelatan besar sekelas KTT GNB tentu menjadi langkah diplomasi yang sangat prestisius bagi Iran. Apalagi hal itu berlangsung pada saat Iran diisolasi oleh negara-negara Barat. Kesanggupannya menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi tersebut dapat memberi pesan politik kepada Barat, meski Iran diisolasi oleh negara Barat, realitasnya Iran tetap eksis.
Artinya, Iran dapat berbuat banyak dan perannya cukup diperhitungkan, khususnya dalam pergaulan antarnegara berkembang. Tentu hal ini berkaitan dengan cukup banyaknya kepala negara atau pemerintahan yang memastikan akan menghadiri KTT Teheran.
Menurut Deputi Menlu Iran untuk urusan Arab dan Afrika Hossein Amir Abdollahian, sedikitnya 36 kepala negara/ pemerintahan telah memastikan akan menghadiri konferensi di Teheran. Salah satunya adalah Mohammed Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demoratis. Kehadiran Mursi adalah kehadiran kali pertama pemimpin Mesir sejak terjadi Revolusi Islam Iran 1979, sekaligus menandai normalisasi hubungan diplomatik Teheran-Kairo.
Bahkan Sekjen PBB Ban Ki-moon pun memastikan ikut menghadiri KTT GNB di Teheran meski pada 17 Agustus lalu pemerintah AS dan Israel meminta Ban Ki-moon tidak menghadiri konferensi di Teheran tersebut yang mengagendakan pembahasan isu-isu krusial semisal Palestina dan krisis Suriah. Kehadiran Ban Ki-moon ini tentu menjadi tamparan tersendiri bagi Amerika. Dalam konteks perseteruan antara Iran dan negara Barat itu kesanggupan pemerintah Iran menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT Ke-16 GNB dapat dinilai memperkuat posisinya. ●
Menurut Deputi Menlu Iran untuk urusan Arab dan Afrika Hossein Amir Abdollahian, sedikitnya 36 kepala negara/ pemerintahan telah memastikan akan menghadiri konferensi di Teheran. Salah satunya adalah Mohammed Mursi, presiden pertama Mesir yang terpilih secara demoratis. Kehadiran Mursi adalah kehadiran kali pertama pemimpin Mesir sejak terjadi Revolusi Islam Iran 1979, sekaligus menandai normalisasi hubungan diplomatik Teheran-Kairo.
Bahkan Sekjen PBB Ban Ki-moon pun memastikan ikut menghadiri KTT GNB di Teheran meski pada 17 Agustus lalu pemerintah AS dan Israel meminta Ban Ki-moon tidak menghadiri konferensi di Teheran tersebut yang mengagendakan pembahasan isu-isu krusial semisal Palestina dan krisis Suriah. Kehadiran Ban Ki-moon ini tentu menjadi tamparan tersendiri bagi Amerika. Dalam konteks perseteruan antara Iran dan negara Barat itu kesanggupan pemerintah Iran menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT Ke-16 GNB dapat dinilai memperkuat posisinya. ●