RAPBN dan Resesi Global
Firmanzah ; Guru Besar FEUI |
KOMPAS, 29 Agustus 2012
Penyusunan RAPBN 2013 berlangsung di tengah krisis global yang berdampak pada kinerja ekonomi Indonesia.
Strategi penyusunan asumsi dan program kerja dihadapkan pada dua tantangan sekaligus. Pertama, antisipasi dampak terburuk krisis keuangan dan ekonomi dunia, yang diperburuk oleh fluktuasi serta tingginya harga minyak mentah dan pangan dunia. Kedua, RAPBN 2013 juga dituntut mampu menjabarkan rencana pembangunan sesuai target RPJMN 2010-2014.
Kedua tantangan itu membuat pembahasan RAPBN 2013 kian kompleks. Bauran antara kebutuhan stimulus pembangunan yang disertai tuntutan kewaspadaan akan imbas krisis regional dan global menjadi tantangan dalam pengelolaan belanja fiskal. Transmisi krisis keuangan dan ekonomi global terasa terutama pada meningkatnya defisit transaksi berjalan akibat pelemahan ekonomi China dan India serta melemahnya harga komoditas ekspor Indonesia di pasar dunia. Gejolak harga minyak dan pangan perlu diantisipasi dalam penyusunan RUU APBN 2013.
Krisis Global
Upaya pemulihan ekonomi global beberapa bulan terakhir tak saja terhadang kontraksi ekonomi di Eropa, tetapi juga melemahnya perekonomian di beberapa negara, seperti AS, Jepang, China, dan India. Pada kuartal II-2012, perekonomian Eropa, khususnya 17 negara zona euro, mengalami kontraksi pertumbuhan 0,2 persen dari kuartal sebelumnya (0,4 persen) dan diprediksi berkontraksi hingga 0,6 persen pada 2012. Belum adanya titik terang pemulihan krisis Eropa dan langkah-langkah strategis dari otoritas Uni Eropa berdampak pada kian tergerusnya kepercayaan investor dan lesunya aktivitas ekonomi kawasan itu.
Meningkatnya pengangguran di AS juga menunjukkan pemulihan ekonomi AS masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja AS, jumlah pengajuan tunjangan pengangguran naik 4.000 menjadi 372.000 pekan lalu, di atas ekspektasi yang 365.000 orang. Angka pengangguran masih di atas 8 persen. Akibat imbas krisis utang Eropa, lembaga pemeringkat Standard & Poor’s menyebutkan probabilitas ekonomi AS jatuh ke dalam resesi menjadi 25 persen dari prediksi sebelumnya 20 persen.
Krisis di AS, perlambatan di China, dan upaya memangkas pengeluaran serta langkah peningkatan pajak sejak Januari 2012 (fiscal cliff) diperkirakan akan meningkatkan ketidakpastian dan penghambat ekspansi ekonomi sejumlah negara dan kawasan. Kondisi ini bukan saja akan menghambat pemulihan ekonomi global, melainkan juga memunculkan kekhawatiran baru resesi global yang kian besar.
Potensi resesi global kian menguat dengan lesunya perkembangan ekonomi Jepang, ditandai dengan terjadinya defisit perdagangan Juli 2012, akibat anjloknya ekspor Jepang karena tekanan permintaan global khususnya dari kawasan Eropa.
Bank Dunia telah merevisi pertumbuhan global menjadi 3,5 persen (dari sebelumnya 4 persen). Volume perdagangan global diperkirakan hanya tumbuh 3,8 persen.
Antisipasi RAPBN
Melihat perkembangan ekonomi dunia semester I-2012 dan awal semester II-2012, tampaknya perlambatan ekonomi global masih akan terus berlangsung hingga akhir 2012. Tahun 2013 diproyeksikan tak lebih baik mengingat ketidakmenentuan penyelesaian krisis Eropa dan buruknya kinerja ekonomi AS, Jepang, China, dan India. Menyikapi ketidakpastian global dan potensi resesi perlu strategi tepat untuk meminimalkan dampak penularan. Upaya mitigasi risiko perlu diformulasikan dalam perencanaan anggaran negara yang relatif tahan akan dampak krisis global.
Pertama, RAPBN 2013 perlu mengendalikan defisit anggaran pada tingkat aman. Defisit anggaran APBN Perubahan 2012 diturunkan dari 2,23 persen menjadi 1,6 persen terhadap PDB. Keseimbangan antara ruang ekspansi dan semangat kehati-hatian perlu dijaga agar kesinambungan fiskal terwujud. Selain itu, menjaga rasio utang terhadap PDB pada kisaran 23 persen pada RAPBN 2013. Angka ini jauh lebih aman dibandingkan Yunani, Italia, dan Portugal yang rasio utangnya di atas 110 persen.
Kedua, alokasi dana subsidi energi dan perlindungan sosial dibutuhkan sebagai antisipasi efek berantai kenaikan harga minyak dan pangan dunia. Dalam RAPBN 2013 total belanja subsidi dialokasikan Rp 316,1 triliun. Sementara program perlindungan sosial kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan masyarakat Rp 59 triliun, naik 6,6 persen dari pagu APBN-P 2012. Program Keluarga Harapan untuk rumah tangga sangat miskin dianggarkan Rp 2,9 triliun, menjangkau sekitar 2,4 juta rumah tangga. Program KUR dan PNPM juga penting bagi pemberdayaan masyarakat di tengah ketidakpastian global.
Ketiga, semakin membesarnya anggaran transfer ke daerah yang mencapai Rp 518,9 triliun sehingga kualitas penyerapan dan penyaluran anggaran di daerah menjadi semakin penting. Anggaran sebesar itu perlu diarahkan pada program peningkatan kapasitas produksi, mengatasi kemiskinan, dan kesejahteraan rakyat di daerah. Fungsi pengawasan dan kontrol anggaran harus terus ditingkatkan agar anggaran lebih tepat sasaran dan mengurangi kebocoran serta potensi korupsi, baik di tingkat perencanaan maupun pada tataran pelaksanaan.
Keempat, akselerasi pembangunan melalui pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan, tanpa mengabaikan kesinambungan fiskal. Kedisiplinan dan upaya mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan potensial, baik dari pajak maupun Pendapatan Nasional Bukan Pajak, perlu terus dilakukan. Pada RAPBN 2013, penerimaan perpajakan diperkirakan Rp 1.178,9 triliun, naik 16 persen dari APBNP 2012. Sumber pertumbuhan baru terus diidentifikasi untuk memperkokoh fundamental ekonomi dan produktivitas perlu dipacu sehingga daya saing nasional meningkat. ●