Ratifikasi undang-undang pelarangan normalisasi hubungan Tunisia dan Rezim Zionis Israel oleh Komisi Hukum dan Kebebasan parlemen Tunisia mengindikasikan perubahan besar di Timur Tengah.
Ketika Muhammad Bouazizi, 27 tahun pemuda penjual sayur Tunisa nekad bunuh diri sebagai protes atas kondisi di negaranya, ia tidak menyadari bahwa ulahnya tersebut bukan hanya mengubah struktur politik di negaranya, bahkan Timur Tengah secara umum juga terpengaruh. Bukan hanya itu, konstelasi kekuatan di Tumur Tengah dan sistem keamanan di wilayah ini pun mengalami perubahan drastis.
Hubungan Tunisia dan Israel di Masa Lalu
Tunisia sepanjang sejarah memiliki hubungan pasang surut dengan Israel. Di tahun 1982 setelah PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) diusir dari Lebanon, Habib Bourguiba presiden Tunisia saat itu, mengizinkan Yaser Arafat, pemimpin PLO membuka kantor di Tunisia.
Rezim Zionis Israel rupanya tak tahan dengan kehadiran PLO di Tunisia, karena Tel Aviv menuding pasukan PLO membunuh warganya di kota Gabes. Tudingan ini kemudian ditindak lanjuti Israel dengan melakukan serangan udara ke kantor PLO di Tunisia, akibatnya hubungan Israel dan Tunisia menjadi dingin. Oleh karena itu, di era tersebut Tunisa kemudian menjalankan potitik ganda dengan menjalin hubungan dengan Palestina serta Israel. Tunisia pun memilih jalan tengah (moderat) menyikapi Tel Aviv.
Namun pada tahun 1994, hubungan negara ini dengan Israel mulai pulih, karena Arafat setahun sebelumnya telah menandatangani perjanjian Oslo (perjanjian damai dengan Israel). Hal ini membuka peluang peningkatan hubungan Tunisia dengan Israel.
Menyusul ditandatanganinya perjanjian Oslo, hubungan Tunisia dan Israel yang didukung Amerika Serikat semakin luas. Israel di tahun 1996 membuka kantor penjaga kepentingannya di Tunisia. Satu bulan kemudian Tunisa juga melakukan langkah serupa dengan membuka kantor penjaga kepentingannya di Tel Aviv.
Pulihnya hubungan Tunisia dan Israel tak lebih hanya bertahan enam tahun, karena setelah meletusnya intifadah kedua di Palestina tahun 2000, presiden terguling Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali memutus hubungan diplomatik dengan Tel Aviv sebagai protes atas kejahatan Israel terhadap warga Palestina. Ia pun menutup kantor penjaga kepentingan negaranya di Palestina pendudukan.
Meski demikian, hubungan tak resmi antara kedua pihak di berbagai sektor termasuk pariwisata dan perdagangan masih tetap berlanjut. Di tahun-tahun terakhir sebelum kemenangan revolusi rakyat di Tunisia, tercatat 10 ribu turis Israel setiap tahunnya berkunjung ke negara ini.
Hubungan Israel dan Tunisia Sebelum Kemenangan Revolusi Rakyat
Rezim Zionis secara aktif memperluas hubungan ekonominya dengan Tunisia dalam beberapa tahun terakhir dan sebelum kemenangan revolusi rakyat Tunisia, khususnya di sektor pariwisata, perdagangan dan investasi.
Meski tidak ada data resmi terkait hal ini, namun berbagai prediksi banyak dikemukakan. Seperti yang dilakukan oleh Koran Globes cetakan Israel di edisi 10 Oktober 2008 di sebuah artikelnya menulis tajuk, Tunisia: Kesempatan Emas Bagi Kita yang mengisayaratkan perdagangan dan investasi Israel. Hal ini juga menunjukkan minat besar Tel Aviv meningkatkan hubungan ekonominya dengan Tunisia khususnya di bidang investasi dan perdagangan, karena Tunisia mengajukan tawaran kepada Israel untuk membangun pabrik semen senilai 200 juta dolar di negara ini.
Dari sisi budaya, Israel juga berusaha melakukan normalisasi dengan Tunisia. Terkait hal ini Koran Haaretz di sebuah artikelnya yang dimuat Desember 2010 membongkar upaya Israel untuk menjalin hubungan dengan para penerbit Tunisia. Meski Haaretz tidak menyebut nama penerbit Tunisia, namun menekankan bahwa Tel Aviv berusaha menerjemahkan novel berbahasa Ibrani ke bahasa Arab dan diserahkan kepada penerbit Tunisia.
Tel Aviv sejak meletusnya revolusi di Tunisia sangat khawatir. Media massa Israel secara luas meliput setiap peristiwa dan perkembangan di Tunisia. Mereka sangat khawatir ketika revolusi menang dan rezim Zine El Abidine Ben Ali tumbang. Kekhawatiran mendalam Tel Aviv mendorong mereka memanfaatkan para pemimpin Yahudi di Tunisia untuk mengumpulkan laporan terkait transformasi di negara yang tengah mengalami revolusi ini.
Tak terkecuali, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu juga kelabakan menghadapi fenomena di Tunisia. Pada 12 Oktober 2011, ia menyampaikan pidato di depan kabinetnya dan menyatakan kekhawatirannya bahwa revolusi Tunisia akan menggoncang keamanan di kawasan. Maksud dari keamanan regional Netanyahu adalah keamanan yang terbentuk akibat kerjasama rezim Arab dengan Israel serta Amerika Serikat yang ditujukan untuk menjamin stabilitas rezim ilegal ini.
Perubahan Hubungan Tunisia dan Israel Pasca Kemenangan Revolusi
Tak lama setelah kemenangan revolusi Tunisia, para petinggi Israel dipusingkan dengan kemungkinan pemutusan hubungan Tunisia dengan Israel. Hal ini tercermin nyata dari pernyataan juru bicara perdana menteri Israel yang menyatakan,"Kekhawatiran kami setelah kemenangan revolusi Tunisia adalah kemungkinan bergabungnya negara ini dengan kekuatan ekstrim dunia Arab."
Mayoritas pengamat terkait urusan Arab aktif mengkaji faktor terbentuknya revolusi, penyebaran dan keberhasilan revolusi Tunisia. Bahkan di awal meletusnya revolusi, Israel tak sanggup menyembunyikan ketakutannya bahwa tergulingnya rezim Zine El Abidine Ben Ali akan menjadi awal dari tergulingnya rezim Arab yang lain.
Masa Depan Suram Hubungan Tel Aviv-Tunisia
Seiring dengan berlalunya waktu, apa yang ditakutkan Israel ternyata menjadi kenyataan.
Pemilu pertama di Tunisia pasca tergulingnya Zine El Abidine Ben Ali membuktikan kekuatan besar kubu Islam, karena kemenangan kubu Ennahda memastikan bahwa pemerintahan baru di Tunisia dikuasai kubu Islam.
Di persaingan pemilu kali ini, kubu sosialis, liberal dan independen meraih suara di bawah Partai Ennahda. Rashid al-Ghannushi, pimpinan Partai Ennahda menyatakan bahwa pemerintahan mendatang Tunisia adalah Islam yang akan menjalankan syariat dan hukum Islam.
Rashid al-Ghannushi berulang kali menyatakan pemaksaan Israel terhadap umat muslim tidak mungkin lagi terjadi dan kebebasan Palestina bukan hanya tidak boleh dirundingkan, bahkan normalisasi hubungan Tunisia dengan Israel adalah kejahatan.
Statemen ini dan ratifikasi pelarangan normalisasi hubungan Tunisia dengan Israel serta dicantumkannya hal tersebut di butir UUD baru negara ini menunjukkan perubahan besar dalam hubungan Tel Aviv-Tunisia.
[sumber;satumedia.info]