Minggu, 04 November 2012

Hukuman Mati dalam Perspektif Hadits

Bagaimana Hukuman Mati dalam Perspektif Hadits?

Takhrij Hadits

Hadits di bawah ini diriwayatkan dalam kitab berikut :
وَالْمَارِقُ مِنْ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bersaksi sesungguhnya aku Rasulullah, kecuali karena salah satu dari tiga: (1) jiwa dengan jiwa (qishash), (2) selingkuh, dan (3) keluar dari agama meninggalkan al-Jama’ah.
  1. Shahih al-Bukhari kitab ad-diyat bab qaulil-‘Llah ta’ala annan-nafsa bin-nafsi no. 6878.
  2. Shahih Muslim kitab al-qasamah bab ma yubahu bihi dam al-muslim no. 4468-4470.
  3. Sunan Abi Dawud kitab al-hudud bab al-hukm fi man irtadda no. 4354-4355; kitab ad-diyat bab al-imam ya`muru bil-‘afwi fid-dam no. 4504
  4. Sunan at-Tirmidzi kitab ad-diyat bab ma ja`a la yahillu damu-mri`in muslim no. 1402, dan kitab al-fitan bab yang sama no. 2158
  5. Sunan an-Nasa`i  kitab tahrim ad-dam bab dzikr ma yuhallu bihi dam al-muslim no. 4016-4019; bab al-hukm fil-murtad no. 4057.
  6. Sunan Ibn Majah kitab al-hudud bab la yahillu damu-mri`in muslim no. 2533-2534.
  7. Musnad Ahmad bab hadits ‘Utsman ibn ‘Affan no. 437, hadits Ibn ‘Umar no. 452
Syarah Mufradat
La yahillu dam maksudnya tidak halal menumpahkan darah seseorang. Ini adalah kinayah (ungkapan yang sudah membudaya) dari membunuh. Dengan demikian yang diharamkan di sini membunuh, walau itu tidak dengan menumpahkan darah.
An-Nafsu bin-nafsi ini merupakan bentuk kalimat yang khas dalam bahasa Arab dan ditujukan pada “hukum balas bunuh”, sebagaimana disinggung juga dalam firman Allah swt QS. Al-Baqarah [2] : 178 dan QS. Al-Ma`idah [5] : 45. Dalam riwayat lain diungkapkan dengan lebih jelas:
قَتَلَ عَمْدًا فَعَلَيْهِ الْقَوَدُ
Orang yang membunuh dengan sengaja, maka ia mendapatkan hukuman balas bunuh (qawad/qishash). (Sunan an-Nasa`i kitab tahrim ad-dam bab al-hukm fil-murtad no. 4057)
Hal itu dikarenakan jika membunuhnya tidak sengaja, si pembunuh tidak boleh dibunuh, melainkan cukup membebaskan hamba sahaya dan membayar uang ganti rugi (diyat) kepada keluarga yang terbunuh. Itupun jika pihak keluarga mau menerimanya, karena kalau keluarga merelakannya berarti ia tidak harus membayar diyat (rujuk QS. An-Nisa` [4] : 92-93).
Ats-Tsayyib artinya al-mutazawwij (orang yang sudah menikah). Maka dari itu di atas diterjemahkan dengan selingkuh, tentunya dengan maksud zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami/beristri. Dalam riwayat lain matn-nya diungkapkan dengan lebih jelas lagi:
رَجُلٌ زَنَى بَعْدَ إِحْصَانٍ فَإِنَّهُ يُرْجَمُ
Seseorang yang berzina sesudah ihshan (menikah, arti asalnya melindungi diri), maka ia dirajam (dilempari batu sampai mati). (Sunan Abi Dawud no. 4355)
Itu artinya kehalalan membunuh orang yang selingkuh ini melalui hukum rajam.
At-tarik lil-jama’ah (orang yang keluar dari jama’ah) ini merupakan sifat yang melekat dari al-mariq minad-din (orang yang murtad), sama halnya dengan yasyhadu an la ilaha illal-‘Llah (syahadat) yang merupakan sifat yang melekat dari muslim. Maka dari itu potongan kata tersebut tidak menjadi qaid (syarat yang mengikat), dengan pengertian: Orang yang murtad yang boleh dibunuh itu adalah orang yang murtad yang keluar dari jama’ah, sementara kalau tidak keluar dari jama’ah maka ia tidak boleh dibunuh. Pengertiannya jelas tidak seperti itu. Yang benar adalah yang ‘harus’ dibunuh itu adalah setiap orang yang murtad, baik itu yang keluar dari jama’ah ataupun yang tidak keluar jama’ah (Fath al-Bari kitab ad-diyat bab qaulil-‘Llah ta’ala annan-nafsa bin-nafsi).
Sementara itu pengertian ‘jama’ah’ di sana bukan jama’ah shalat atau jama’ah masjid. Yang dimaksud ‘jama’ah’ dalam konteks hadits-hadits seperti ini adalah sebuah jama’ah umat Islam yang bersatu di bawah seorang pemimpin muslim seperti halnya jama’ah kaum muslimin di zaman Nabi saw dan para khalifah yang empat sebelum terjadi perpecahan. Atau dengan kata lain khilafah/Negara Islam yang wujudnya sekarang sudah hilang dan wajib diusahakan untuk diwujudkan kembali (Fath al-Bari kitab al-fitan, bab kaifal-amru idza lam takun jama’ah wa la imam).

Syarah Ijmali
Sebagian pembaca mungkin ada yang bertanya kenapa judul di atas dibatasi dengan “dalam perspektif hadits”. Hal itu dikarenakan ada pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini telah dimansukh (dihapus hukumnya) oleh QS. Al-Ma`idah [5] : 33.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (disilang), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, hadits ini sama sekali tidak dimansukh oleh ayat di atas. Terdapat perbedaan antara hadits ini dan ayat di atas. Hadits ini menginformasikan hukuman ‘bunuh’ bagi tiga jenis orang yang telah disebutkan, sementara ayat di atas menginformasikan hukuman yang di antaranya hukuman ‘bunuh’ untuk orang yang memerangi Islam dan merusak di bumi, yang jelas tidak masuk dalam tiga kategori yang telah disebutkan hadits. Jadi hadits ini tetap berlaku untuk tiga pelaku kriminal tersebut. Hanya memang ayat al-Qur`an mewenangkan adanya hukuman mati untuk di luar kategori yang disebutkan hadits, yakni untuk orang yang memerangi Islam dan membuat kerusakan di bumi. Dan hukuman mati tersebut merupakan salah satu pilihan dari hukuman lainnya seperti penyaliban, pemotongan kaki dan tangan dengan cara disilang, atau pengasingan. Maka dengan tegas, al-Hafizh pun kemudian menyatakan: Orang yang murtad mendapat hukuman mati (bunuh), walau ia tidak memerangi Islam dan membuat kerusakan (Fathul-Bari kitab ad-diyat bab qaulil-‘Llah ta’ala annan-nafsa bin-nafsi).
Hadits di atas pernah disampaikan oleh ‘Utsman di waktu ia terkepung di rumahnya oleh musuh-musuhnya, sesaat sebelum kewafatannya. Sebagaimana diceritakan oleh Shal ibn Hunaif, waktu itu ‘Utsman berkata:
أَنْشُدُكُمُ اللَّهَ أَتَعْلَمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ : قَالَ لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ أَوْ ارْتِدَادٍ بَعْدَ إِسْلَامٍ أَوْ قَتْلِ نَفْسٍ بِغَيْرِ حَقٍّ فَقُتِلَ بِهِ فَوَاللَّهِ مَا زَنَيْتُ فِي جَاهِلِيَّةٍ وَلَا فِي إِسْلَامٍ وَلَا ارْتَدَدْتُ مُنْذُ بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ : وَلَا قَتَلْتُ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ فَبِمَ تَقْتُلُونَنِي
Aku ingin bertanya kepada kalian dengan nama Allah. Apakah kalian tahu bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Darah seorang mukmin tidaklah halal kecuali dengan salah satu sebab dari tiga perkara, yakni berzina setelah nikah, atau murtad setelah memeluk Islam, atau membunuh jiwa secara tidak benar, sehingga ia pun dibunuh karenanya.” Maka demi Allah, aku tidak pernah berzina pada masa jahiliyah, dan tidak pula setelah Islam. Aku juga tidak pernah murtad semenjak aku membai’at Rasulullah saw, dan aku tidak pernah pula membunuh jiwa yang telah Allah haramkan. Lalu dengan alasan apa kalian ingin membunuhku? (Sunan at-Tirmidzi kitab al-fitan bab ma ja`a la yahillu damu-mri`in muslim no. 2158)
Pernyataan ‘Utsman di atas menggambarkan bahwa membunuh itu diwenangkan hanya dalam tiga kasus saja, di luar itu haram hukumnya. Berkaitan dengan batasan tiga kasus tersebut, al-Hafizh menguraikan dalam kitabnya, Fathul-Bari, pembahasan tentang adanya kebolehan membunuh di luar tiga kasus tersebut yang dikemukakan oleh para pakar hadits, lengkap dengan jawaban dari al-Hafiz sendiri:
Pertama, Sha`il (pengacau/preman/penjahat) boleh dibunuh di luar yang tiga. Menurut al-Hafizh, sha`il tetap saja tidak boleh disamakan dengan yang tiga di atas. Kalaupun memang harus dibunuh itu dengan sebab membela diri saja. Banyak hadits yang mengisyaratkan boleh membunuh orang yang hendak membunuh kita.
Kedua, Bughat (separatis/pemberontak pemerintah) boleh dibunuh sebagaimana disinggung oleh QS. Al-Hujurat [49] : 9. Yang benar, menurut ayat itu adalah diperangi, bukan dibunuh. Berperang maknanya tentu bukan membunuh, karena kalau kemudian mereka menyerah, bentuk penyerahdirian mereka harus diterima. Hanya memang ketika berperang itu diwenangkan membunuh. Tapi yang jelas membunuh bukan tujuan utama.
Ketiga, hadits lain menyatakan siapa yang memecah belah ‘jama’ah’—dalam pengertian sebagaimana telah dijelaskan di syarah mufradat—boleh dibunuh (Shahih Muslim kitab al-imarah bab hukmi man farraqa amral-muslimin no. 4904). Yang benar adalah harus diperangi—sebagaimana disinggung dalam riwayat lain tentang bughat/perusak jama’ah—dan kalau sampai harus dibunuh maka bunuh saja.
Keempat, ada riwayat yang menyatakan bahwa hukum bunuh juga berlaku bagi orang yang homoseks (liwath) atau berhubungan seks dengan hewan. Akan tetapi riwayatnya lemah, tidak bisa dijadikan hujjah. Hukum bagi mereka disamakan saja dengan zina.
Kelima, banyak ulama yang berpendapat bahwa orang-orang yang menolak taqdir harus dibunuh. Artinya ada sebab lain di luar tiga kasus yang telah dibahas di atas. Akan tetapi yang lebih benar adalah orang yang menolak taqdir itu masuk dalam kategori murtad. Jadi tidak menambah dari yang tiga.
Keenam, orang yang bid’ah semisal khawarij dan syi’ah juga harus dibunuh. Alasannya sama dengan poin kelima, yakni dibunuh dengan sebab mereka sudah murtad.
Ketujuh, ada yang memahami jama’ah di atas sebagai ijma’ ulama. Artinya kalau ada yang menyalahi ijma’, maka ia boleh dibunuh. Akan tetapi menurut al-Hafizh pengertian ijma’ itu sendiri masih relatif (ihtimal); mencakup yang mutawatir dan yang tidak mutawatir. Kalau itu ijma’ yang mutawatir seperti kesepakatan ulama Islam tentang pokok-pokok agamanya yang kalau dilanggar mengakibatkan murtad—contohnya shalat lima waktu—maka hukuman bunuh yang diterapkan tidak lebih disebabkan murtadnya itu. Sementara kalau ijma’nya tidak mutawatir, maka yang menyalahinya tidak bisa dibunuh.
Penjelasan dari Ibn Hajar di atas layak untuk diterima guna menepis anggapan Nabi saw tidak konsisten dalam sabdanya. Atau yang lebih parahnya menolak hadits-hadits di atas untuk diamalkan, sebagaimana diyakini oleh sebagian orang yang terkena virus “inkarus-sunnah”.
Terakhir, khusus untuk orang yang murtad, hukuman diberlakukan setelah ia diminta bertaubat terlebih dahulu (istitabah). Kalau ia enggan, maka baru dibunuh. Sebagaimana diriwayatkan dari Mu’adz, Rasul saw bersabda kepadanya: Lelaki mana saja yang murtad dari Islam, maka ajaklah ia kembali. Jika ia kembali, bebaskan, jika tidak, penggallah lehernya. Dan perempuan mana saja yang murtad dari Islam, maka ajaklah ia kembali. Jika ia kembali, bebaskan, jika tidak, penggallah lehernya. )Fath al-Bari kitab istitabah al-murtaddin bab hukmil-murtad. Menurut Ibn Hajar, sanad hadits ini hasan. Al-Mu’jam al-Kabir bab Mu’adz ibn Jabal no. 93)
Semua kewenangan membunuh tersebut hanya ada pada pemerintah Islam. Buktinya, Rasul saw hanya mewenangkannya kepada para pimpinan, seperti Mu’adz yang diutus ke Yaman di atas. Dan tidak ada satu orang pun di zaman Nabi saw, demikian juga para ulama yang melaksanakan hukuman mati di atas secara individual. Wal-‘Ilm ‘indal-‘Llah.
[sumber;pemikiranislam.net]
◄ Newer Post Older Post ►