Rabu, 07 November 2012

Kekuasaan dan keemiran di Kalangan Bangsa Arab

Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiran), agama dan kepercayaan di kalangan bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi eksternal saat kemunculan Islam.
Bangsa Arab
 Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua bagian:
  • Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak bisa merdeka dan berdiri sendiri.
  • Para peimpin dan pemuka kabilah atau suku yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki kebebasan tersendiri. Bahkan boleh jadi sebagian di antara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.

Raja Raja di Yaman

Suku terdahulu yang dikenal di Yaman dari kalangan Arab Aribah adalah kaum Saba. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad sebelum masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada sebelas tahun SM.
Perkembangan mereka bisa dibagi menurut tahapan-tahapan berikut ini:
1. Abad-abad sebelum tahun 650 SM raja-raja mereka saat itu bergelar “Makrib Saba”, dengan ibukotanya Sharawah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui dengan menempuh perjalanan sehari ke arah Barat dari negeri Ma’rib, yang dikenal dengan istilah Kharibah.
Pada zaman merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma’rib, yang sangat terkenal dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba’ ini meliputi daerah-daerah jajahan di negeri Arab dan di luar Arab.
2. Sejak tahun 650 SM hingga tahun 110 SM. Pada masa-masa itu mereka menanggalkan gelar “Ma’rib”, dan hanya dikenali dengan raja-raja Saba. Mereka menjadikan Ma’rib sebagai ibu kota, sebagai ganti dari Sharawah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 60 mil darai Shan’a ke arah Timur.
3. Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M. Pada masa-masa kabilah Himyar dapat mengalahkan kerajaan Saba dan menjadikan Raidan sebagai ibukotanya, sebagai ganti dari Ma’rib. Kemudian Raidan diganti menjadi Daffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang disekitarnya dikelilingi pagar di dekat Yarim.
Pada masa itulah mereka mulai jatuh dan runtuh. Perdagangan mereka bangkrut, sebagai akibat dari perluasan kekuasaan kabilah Nabat ke utara Hijaz. Ini sebab pertama. Sebab lainnya, karena bangsa Romawi menguasai jalan-jalan perdangan lewat laut, setelah mereka dapat menguasai Mesir, Suriah, dan bagian Hijaz Utara. Sebab laiannya lagi, adanya persaingan antara kabilah-kabilah di sana. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarannya keluarga Qahthan dan mendorong mereka untuk berpindah ke negeri Syasa’ah.
4. Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman. Pada masa-masa itu sering diwarnai kekacauan, keributan, revolusi, peperangan antar suku, yang justru membuat mereka menjadi mangsa bagi  orang luar, hingga kemerdekaan mereka pun terenggut. Pada masa itu bangsa Romawi masuk ke Adn. Atas bantuan bangsa Romawi pula, orang-orang Habasyah bisa merebut Yaman pada awal tahun 340 M, yang justru disibukkan persaingan antara kabilah Hamdan dan Himyar. Penjajahan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian Yaman bisa mendapatkan kemerdekaannya lagi. Tetapi kemudian bendungan Ma’rib jebol hingga menimbulkan banjir besar seperti disebutkan di dalam Alquran, dengan istilah Sailul-Aram, pada tahun 450 atau 451 M. Setelah itu, disusul satu kejadian besar yang mengakibatkan ambruknya peradaban mereka dan mereka pun terpecah belah.
Pada tahun 523 M, Dzau Nuwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Masehi (para pengikut agama Isa Al-Masih) dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama Masehi. Karena mereka menolak, maka Dzu Nuwas membuat parit-parit besar yang di dalamnya dinyalahkan api, lalu mereka dilemparkan ke dalam api hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan Alquran dalam surat Al Buruj. Kejadian ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas derah kekuasaan dan penaklukan, yang dimotori imperium Romawi untuk menguasai negeri Arab. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habsyah dan menyiapkan armada lautnya. Ada tujuh puluh ribu pasukan dari penduduk Habasyah yang turun dan mereka menguasai Yaman untuk kedua kalinya, dikomandani Aryath pada tahun 525 M. Aryath bercokol di sana hingga dibunuh Abrahah, anak buahnya sendiri, dan dia menggantikan kedudukan Aryath di Yaman setelah meminta restu rajanya di Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka’bah, yang dikenal dengan pasukan penunggang gajah.
Setelah “Peritiwa Gajah” ini, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persia. Dengan kerja sama ini mereka bisa mengusir orang-orang Habasyah dari Yaman hingga mereka memperoleh kemerdekaannya pada tahun 575 M, yang dipimpin Ma’di Yakrib bin Saif Dzi Yazan Al-Himyari. Kemudian mereka mengangkatnya menjadi raja di sana. Ma’di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang dari penduduk Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertai prosesinya, yang justru menjadi bumerang baginya. Suatu hari mereka bisa membunuhnya. Dengan kematiannya pupuslah sudah dinasti raja dari keluarga Dzi Yazan. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari bangsa Persia di Shan’a, dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah kekuasaan Persia. Beberapa pemimpin dari bangsa Persia silih berganti menguasai Yaman, dan era kepemimpinan mereka yang terakhir atas Yaman adalah Badzan, yang kemudian pemeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhir sudah kekuasaan bangsa Persia atas negeri Yaman.

Bangsa Persia bisa menguasai Irak dan wilayah-wilayah di sekitarnya, setelah Cyrus Yang Agung (557-529 SM) dapat mempersatukan barisan bangsa Persia, hingga tak seorang pun berani menyerangnya. Keadaan tersebut berlangsung hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan raja-raja mereka dan menghancurkan persatuan mereka. Akibatnya, negeri mereka terpecah belah dan muncul raja-raja baru, yang disebut dengan raja-raja Thawa’if. Raja-raja Thawa’if ini berkuasa atas wilayah-wilayahnya sendiri secara terpecah hingga tahun 230 SM. Pada era kekuasaan raja-raja Thawa’if ini orang-orang Qahthan berpindah dan menguasai daerah subur di Irak. Kemudian mereka bergabung dengan keturunan Adnan yang juga berhijrah, dan mereka bersama-sama menguasai sebagian dari Jazirah Eufrat.
Kekuasaan bangsa Persia kembali bangkit pada era Ardasyir, pendiri pemerintahan Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dia berhasil mempersatukan bangsa Persiaa dan menguasai orang-orang Arab yang menetap di daerah-daerah pinggiran kekuasaannya. Ini merupakan sebab kepindahan orang-orang Qudha’ah ke Syam. Sedangkan penduduk Hirah dan Anbar tunduk kepada Ardasyir.
Pada era Ardasyir inilah Judzaimah Al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan sebagian penduduk Irak serta daerahnya Rabi’ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai bangsa Arab secara langsung. Namun dia juga tidak mau jika mereka mencaplok daerah-daearh pinggiran dari kekuasaannya, kecuali jika dia mempunyai beberapa orang yang dapat dipercaya dan mau mendukungnya. Di sisi lain, dia juga bisa meminta tolong Romawi yang biasa diperalat. Dia mengadu domba antara bangsa Arab dan Syam dan Irak. Di lingkungan Kerajaan Hirah dia juga menempatkan satu batalyon dari pasukan Persia.
Amru bin Adi bin Nashr Al-Lakhmi naik tahta di Hirah, menggantikan Judzaimah yang meninggal dunia pada tahun 268 M, yang mengawali era kekuasaan raja-raja Lakhmi pada masa Kisra Sabur bin Ardasyir. Beberapa Raja dari kalangan Lakhmi tetap berkuasa setelah itu di Hirah hingga tiba era kekuasaan Qubadz bin Fairuz di Persia. Pada saat itu yang berkuasa adalah Mazdak, yang mengajak kepada gaya hidup permisivisme. Banyak rakyatnya yang meniru gaya hidup ini, yaitu Al-Mundzir bin Ma’us Sama, mengajaknya untuk memilih jalan hidup ini dan menjadikannya sebagai agama. Namun Al-Mundzir menolak ajakan itu dengan sikap ksatria, sehingga Qubadz mengucilkannya. Sebagai pengganti Al-Mudzir, dia mengangkat Al-Harits bin Amr bin Hijr Al-Kindi setelah memenuhi ajakan Qubadz untuk menerapkan gaya hidup yang diciptakan Mazdak.
Pengganti Qubadz adalah Kisra Anusyirwan, yang sangat benci gaya hidup ini. Dia membunuh Al-Mazdak dan entah berapa banyak para pengikutnya. Dia mengangkat kembali Al-Mundzir sebagai penguasa di Hirah. Sebenarnya Al-Harits bin Amr memintanya, tetapi dia justru dibuang ke Darul Kalb dan meninggal di sana.
Sistem kerajaan terus berlanjut setelah Al-Mundzir bin Ma’us Sama, hingga masa kekuasaan An-Nu’man untuk meminta perhiasan-perhiasan itu. Maka secara sembuni-sembuni An-Nu’man menemui Hani bin Mas’ud, pemimpin suku Syaiban, seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu dia menghadap Kisra. Akhirnya dia dijebloskan ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qubaishah Ath-Thayy’i dan memerintahkannya mendatangi Hani bin Mas’ud untuk meminta barang-barang yang ditipkan kepadanya. Namun dengan sikap ksatria dan gagah berani Hani menolak permintaan itu. Maka Kisra mengizinkan Iyaz untuk memeranginya. Dengan dibantu pasukan perang Kisra, terjadilah peperangan yang dahsyat antara kedua belah pihak di Dzi Qar. Suku Syaiban mendapatkan kemenangan yang gemilang dalam peperangan ini dan mampu menghancurkan pasukan Persia. Inilah untuk pertama kalinya bangsa Arab memperoleh kemenangan atas bangsa selain Arab. Hal ini terjadi tak lama setelah kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, beliau dilahirkan delapan bulan setelah Iyas bin Qubaishah berkuasa di Hirah.
Setelah Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa dari bangsa Persia di Hirah, pada tahun 632 M kekuasaan kembali dipegang suku Lakham. Di antara penguasa dari kalangan mereka adalah Al-Mundzir, yang bergelar Al-Ma’rur. Namun kekuasaannya ini hanya bertahan selama delapan bulan, dengan kedatangan Khalid bin Al-Walid beserta pasukan Muslimin.

[sumber;ukki.stikom.edu]
◄ Newer Post Older Post ►