Selasa, 04 Desember 2012

The Hobbit - Karya Abadi Anak Manusia

Film pertama trilogi ini telah selesai dan pemutaran perdananya di the MIddle of the Middle of Earth, sebuah julukan yang diberikan untuk ibukota Selandia Baru, Wellington. Semua orang gembira dan anak-anak muda tampaknya menjadi kelompok pertama yang akan menyerbu gedung-gedung pertunjukan tempat film The Hobbit : An Unexpected Journey diluncurkan. Karya sastra berjenis fantasi saga yang ditulis oleh orang yang kemudian menjadi guru besar ini berhasil hadir di layar lebar untuk menunjukkan betapa imajinasi yang sudah lama tertuang dalam buku tetap mendapat tempat bahkan di abad antariksa dan abad dunia maya.
The Hobbit


Trilogi sebelumnya - yang sudah lama selesai dan sudah lama diputar di mana – justru diambil dari buku kedua penulis yang sama. Kisah suksesnya luar biasa, bahkan sutradaranya berhasi menyabet Oscar, penghargaan tertinggi untuk film. Sutradara yang sama mengerjakan trilogi buku pertama. Sukses tampaknya akan menyertai trilogi kedua dari buku pertama jika sambutan di negeri di tengah samudera ini yang dijadikan ukuran.

Tampaknya hampir semua pihak di Selandia Baru terlibat atau dipaksa ikut terlibat dalam pembuatan film yang menghebohkan ini. Bahkan serikat buruh pun dipaksa terlibat karena beberapa hal walau akhirnya atas campur tangan pemerintah, melalui perdana menteri yang sangat mendukung pembuatan film ini di Selandia Baru, serikat buruh terpaksa mengalah dan menerima sejumlah kesepakatan setelah undang-undang ketenagakerjaan terpaksa diubah dan disesuaikan.

Sementara itu pihak departemen pariwisata Selandia Baru mengerahkan segenap usaha dengan memanfaatkan seluruh proses pembuatan film sampai dengan waktu pemutaran perdananya untuk kepentingan pariwisata Selandia Baru. Diharapkan orang akan berduyun-duyung datang sendiri ke the Middle of Earth – yang sekarang jelas sekali lokasinya berada di Selandia Baru – bukan untuk menyaksikan film ini tentunya, tetapi melihat dengan mata kepala sendiri semua yang ada di film di tempat aslinya.

Pertikaian tentang hak cipta dan royalti berkaitan dengan pembuatan film trilogi ini juga tidak kalah serunya walau mungkin terluput dari pemberitaan karena hiruk pikuk berita-berita dunia lainnya. Negosiasi, lobi, dan bahkan perseteruan di pengadilan menjadi warna yang sebenarnya tidak kalah menariknya dibalik pembuatan tiga film ini. Jutaan dolar berpindah tangan berkaitan dengan masalah hak dan royalti. Ditambah dengan anggaran untuk film ini yang untuk ukuran Indonesia jumlahnya sangat fantastis, benar-benar sulit dibayangkan bagaimana sebuah buku yang ditulis tahun 1930-an, untuk anak-anak, mampu menarik banyak investor menanamkan uang ratusan juta dollar. Tetapi menilik hasil yang dicapai oleh trilogi yang mendahului trilogi yang ini – trilogi Lord of the Ring – investasi yang ditanamkan menjadi masuk akal. Keuntungan besar menanti di depan sana.

Tahun 2012, 2013, dan 2014 secara berturut akan menjadi saksi kehebohan yang ditimbulkan oleh serial The Hobbit ini. Tidak hanya kehebohan filmnya, tetapi juga soundtrack-nya, souvenir-nya, kostumnya, mainannya, dan masih banyak lagi hal lainnya yang tidak diragukan lagi akan mendominasi jagat film dunia. Selamat menyaksikan filmya dan kalau sempat tentu saja ikut membandingkan dengan novelnya – yang telah saya baca semasa masih di SMA dulu.

Karya Abadi Anak Manusia – The Middle of the Middle Earth
Ada banyak karya abadi manusia dan salah satu antaranya jelas karya sastra.
Jika imajinasi ragam rona gejolak jiwa manusia tidak diabadikan dalam cerita,
Dan cerita tentu saja berada dalam dekapan karya sasta, lalu bagaimana bisa
Semua kekayaan imajinasi dan rona warna-warni jiwa manusia dapat dibaca,
Dinikmati, dan bahkan juga diapresiasi sebagai bagian peradaban nan mulia?
Karya sastra itu dapat melakukan apa saja, tentu tidak langsung begitu saja,
Tapi coba sebutkan satu saja urusan di dunia ini yang tak ada hubungannya
Dengan karya sastra … yah rasanya tidak mungkin ada karena dalam sastra
Apa saja bisa dibicarakan, mulai dari yang paling remeh sampai paling mega,
Mulai dari yang paling esensi sampai menyangkut mati hidup umat manusia.
Bahkan sang mahakuasa yang misteri serta rahasianya dalam tidak terduga,
Eh … dalam karya sastra juga dibicarakan, itulah hebatnya cermin abadi jiwa.

Karya sastra juga mempunyai potensi energi yang besarnya tidak terkira-kira.
Mampu menggerakan ekonomi dunia termasuk juga memberi lapangan kerja.
Simak saja bagaimana karya yang ditulis pada tahun-tahun yang agak lama,
Bahkan penulisnya sudah lama pralaya serta terbalik urutan popularitasnya
Tetapi mampu menghasilkan jutaan dolar dan hebohnya ternyata mendunia.
Anak-anak muda – entah mengapa – berbondong-bondong menjadi pemirsa
Karenanya tidak pelak lagi sutradara, aktor dan artis ternama banyak kerjanya.
Kocek mereka semakin tebal saja karena uang mengalir deras dari mana-mana.
Inilah hebatnya karya sastra, awal mulanya ditulis untuk anak-anak dan remaja,
Sudah puluhan tahun berselang terbitnya, penulisnya pun sudah lama tidak ada
Tetapi dunia ciptaannya – dunia Arda – ternyata sangat digemari di mana-mana
Tidak hanya anak-anak dan remaja, orang tua pun ikut dibuat kagum terkesima.
Dan dunia fantasi budaya popular pun menjadi bagian mengasyikan dunia kita.

Versi layar peraknya memang agak berbeda tata urutnya, tetapi ini hal biasa saja.
Yang dibawa ke layar perak lebih dulu – trilogi bentuknya – adalah novel kedua.
Setelah itu sang sutradara yang sama memperoleh dana besar luar biasa mega
Untuk membawa dunia Arda dan dunia yang ada di tengahnya juga ke layar kaca.
Karena trilogi bentuknya maka jika nanti semua film telah selesai pembuatannya
Akan ada enam film fantasi anak-anak dan remaja menjadi bagian seni film dunia
Dan semua berasal dari karya sastra karenanya jangan pandang enteng dianya.

Hiruk pikuk kehebohan dampak pembuatan filmnya juga bukan main luar biasa.
Hampir semua pengamat media ikut serta angkat bicara, bahkan pencinta satwa
Ikut bicara, karena konon untuk film ini ada banyak satwa yang harus menderita.
Memang masih diperlukan bukti-bukti nyata jika ingin menyeret para pelakunya,
Tapi tampaknya berita ini ada benarnya juga, karena untuk sebuah mahakarya
Yang menghabiskan ratusan juta dolar, penderitaan kecil bagi sejumlah satwa
Pasti bukan apa-apa, jangankan satwa, kami yang manusia juga ikut menderita.
Jadi … terlalu naïf rasanya jika penderitaan sekelompok hewan dianggap dosa.
Ada sesuatu yang jauh lebih besar serta lebih agung untuk dipikirkan perannya,
Membuat dunia hiburan anak dan remaja menjadi lebih indah berbunga-bunga,
Membawa fantasia dunia Arda dan tingkah polah para penghuninya jadi nyata.
Pernyataan ini rasanya sih biasa-biasa saja … tetapi bagi para pencinta satwa,
Tentu saja tidak bisa diterima, setiap perlakuan bertendensi kejam penuh siksa
Harus dilarang apapun alasannya, begitulah argumennya, dan ini dapat diterima.
Film boleh kolosal mega, tujuan boleh saja mulia, tetapi membuat banyak satwa
Menderita dan bahkan binasa dalam proses pembuatannya, tidak bisa diterima.
Perlakukan mahluk hidup sesuai aturan … dan kreasi imajinasi boleh-boleh saja.

Sekarang pusat perhatian terarah pada rentangan daratan di tengah samudera,
Tempat trilogi pertama novel pertama memilih lokasi menawannya panorama,
Imitasi dunia Arda tempat para pelaku cerita mengembara ke pusat bumi dunia.
Bahkan untuk menghormati ibukota negara yang kaya susu dan ternak domba,
Istilah The Middle ot the Middle Earth, Pusat Bumi Tengah, diberikan padanya.
Lalu apa sih yang diperoleh negara yang konon kabarnya sangat ‘tipis’ di dunia?
Tentu ada walau pengorbanan banyak juga termasuk harus mengubah uu-nya.
Sebuah film yang didasarkan pada karya sastra yang intinya cuma fantasi saga
Ternyata mampu menjadi motor diubahnya uu negara … ya pasti hebat adanya.
Serikat pekerja mencak-mencak karenanya, tetapi demi kepentingan ini negara,
Mereka dipaksa untuk rela karena memang bukan masalah tenaga kerja semata
Ada masalah lain yang harus dijaga yaitu pendapatan negara lewat pariwisata.
Jika The Hobbit: An Unexpected Journey sebagai pembuka jalan bagian kedua
The Hobbit: The Desolation of Smaug yang akan diproduksi di lokasi yang sama
Disusul oleh The Hobbit: There and Back Again, trilogi ketiga buku yang pertama,
Hengkang ke negara lain hanya karena uu tenaga kerja tidak cocok bagi mereka,
Yah, bisa terjadi bencana karena perekonomian negara akan guncang karenanya.
Negara telah keluarkan begitu banyak dana guna ciptakan kawasan wisata saga,
Nah, kalau lokasi filmnya dipindah begitu saja bukankah semuanya akan sia-sia?
UU bisa diubah guna disesuaikan dengan banyak kepentingan warga dan negara,
Sehingga apa yang diharapkan dari sektor pariwisata dapat juga menjadi realita.
Lapangan kerja terbuka, wisatawan datang guna lihat bumi tengah di lokasinya.
Bilbo Baggins dan koleganya, Gollum dengan tampang uniknya, sang bijaksana
Gandalf dengan tongkatnya, dan puluhan tokoh saga dengan karakter uniknya,
Semuanya tidak hanya ada pada filmnya tetapi benar-benar dapat dilihat aslinya
Jika mau datang dan berkunjung ke tanah penghasil susu dan wol bulu domba.

Begitulah karya sastra merekam rona imajinasi manusia sampai ke rinciannya.
Semua tercatat agar dapat dibaca kapan saja dan kalau perlu diubah medianya.
Mulanya memang hanya fantasi saga tetapi di tangan aktor, artis dan sutradara,
Karya sastra diubah jadi tontonan kelas dunia yang mampu memukau siapa saja.
Ekonomi, pariwisata, dan bahkan politik negara, dampaknya langsung bisa dirasa.
Belum lagi bahasa dan kosakata yang memang langsung saja terkena imbasnya.
Sedangkan anak muda dan remaja yah … tak usah lagi ditanya karena biasanya
Memang merekalah yang paling terpengaruh dalam hal meniru tokoh-tokohnya.
Singkat kata karya sastra tidak akan pernah lalai perannya sebagai gudang data.
Apa saja yang melintas pada jalur imajinasi penulisnya … tentu terekam di sana,
Agar suatu ketika nanti jika ada yang mau merekonstruksinya, panduannya ada.
Selamat datang kembali Baggins ke dunia nyata walau engkau sudah lama ada.
Catatan kisah perjalanan fantasi saga kala dibaca semasa duduki bangku SMA,
Ternyata tidak seseru manakala dibandingkan dengan versi film layar lebarnya.
Selamat membandingkan fantasi pada bukunya dengan imajinasi dalam filmnya.

Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com – Poznan, Poland
[sumber;http://www.lensaindonesia.com]
◄ Newer Post Older Post ►