Sebuah tulisan tentang Geisha berjudul “The Life of a Geisha” (Kehidupan Seorang Geisha) yang ditulis oleh Eleanor Underwood, dengan pengantar dari Liza Dalby, dan diterjemahkan oleh deltapapa untuk tujuan penulisan skripsi.
Pada awalnya saya tidak mengerti sedikitpun tentang geisha kecuali seperti apa yang digambarkan dalam film “Memoirs of a Geisha”. Namun karena ada seorang kawan yang meminta bantuan untuk menterjemahkan buku untuk bahan penulisan skripsi maka jadilah Saya membaca buku itu. Hitung-hitung menambah wawasan dan menterjemahkannya dalam bahasa Indonesia secara “asal-asalan”. Sekali lagi Saya tidak bermaksud plagiat atau melanggar hak cipta apapun/siapapun di sini, kecuali hanya keinginan tulus untuk membantu. Karenanya jika ada kesalahan atau substansi yang keliru dalam terjemahan ini, mohon dikoreksi.
PENGANTAR
Saya berumur 25 tahun ketika ”kakak perempuan” Saya Ichiume mengusapkan make up putih dinging seorang Geisha pada wajah saya. Dia berumur 21 tahun. Dalam dunia Geisha di Kyoto dia adalah senior Saya dan dia telah lulus menjadi seorang maiko dari geiko pada tahun sebelumnya. Saya, tentu saja, belum pernah menjadi seorang maiko. Ichiume mendapat tugas untuk menjelaskan tentang perspektif dalam dari seorang geiko (dialek khas Kyoto untuk geisha) di balik sejarahnya, statistiknya dan interview-interview yang telah dikumpulkan, kepada para lulusan Amerika. Beberapa pelanggan terkejut ketika sake mereka dituangkan oleh seorang geisha Amerika; dan sebagain bahkan tidak tahu sampai geisha yang lain mulai tersenyum-senyum.
Tidak ada rahasia di balik perubahan Saya menjadi adik Ichiume yang bernama Ichigiku dari Pontocho – Saya mencoba untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang profesi geisha untuk menulis thesis Ph.D saya dalam bidang antropologi budaya. Saran kepada saya untuk mengenakan kimono dan samishen ke Kedai-kedai teh (teahouses) datang dari para geisha itu sendiri. Sesudah saya melihat mereka dan sebaliknya mereka melihat saya, mereka berfikir bahwa Saya mungkin dapat menceritakan cerita tentang geisha dari sisi mereka – geisha merasa yakin bahwa mereka difahami secara keliru di dunia Barat.
Kata “geisha” dalam imaginasi di dunia Barat konotasikan secara keliru yaitu sebagai mitologi makhluk eksotis. Salah konsepsi tentang fantasi, pemikiran yang penuh harap, dan polos merupakan perlakuan atas fakta-fakta yang ada sehingga dalam bahasa Inggris untuk mengatakan kata ”geisha” mengarah pada anggapan pada seorang wanita cantik yang patuh pada majikannya dan memenuhi semua nafsu dan keinginan majikannya. Kepribadiannya tidak diperlukan oleh para majikan dan geisha wajib melebur seperti halnya Madam Butterfly dari pada mengganggu para majikan. Fantasi seperti ini sulit ditemui pada wanita nyata namun mudah didapatkan di mitos.
Geisha mempunyai perbedaan pada kedua sisi tersebut, antara legenda dan kenyataan, dan buku ini membantu mengklarifikasi perbedaan-perbedaan itu. Mitos secara alami, adalah sejarah dan individual transendental monolitik dimana realitas merupakan variasi komunitas geisha di daerah-daerah berbeda di Jepang, status hirarkinya dalam masyarakat dan tentu saja perbedaan-perbedaan secara individual di antara para geisha itu sendiri.
Hal ini tidak bermaksud untuk mengatakan geisha tidak eksotis. Wanita-wanita ini bahkan lebih misterius daripada yang mereka bayangkan sendiri – di Jepang dan di luar Jepang, walaupun untuk alasan yang berbeda. Orang-orang Barat beranggapan bahwa geisha pastilah ahli dalam hal kepatuhan di negara seperti Jepang di mana wanita-wanita biasa harus mengedepankan urusan pria. Kami beranggapan bahwa seni menyenangkan pria bahkan berarti lebih rendah. Saya sendiri menerima mitos ini sebelum Saya mempelajari lebih baik sebagai Ichigiku. Saya terkejut bahwa unsur saling memberi dan menerima antara geisha dan tamunya di teahouses di Kyoto cukup nyaman bagi seorang geisha Amerika. Seseorang tidak boleh bingung antara budaya umum kesopansantunan kepatuhan yang cenderung berlebian di Jepang. Yang saya tahu Geisha adalah hal yang paling blak-blakan tentang wanita Jepang. Tentu saja secara sosial bereka sangat trampil – seperti seorang hostress yang baik di Amerika, mereka tidak mengatakan ha-hal yang mungkin bisa membuat malu tamunya. Namun bagi saya menjadi lebih jelas bahwa para pria Jepang tidak menganggap istri seorang geisha karena mereka ketagihan akan kepatuhan yang berlebihan. Mereka kecanduan terhadap pembicaraan yang menarik dan kepribadian yang ceria.
Kami tidak mempunyai institusi yang bisa dibandingkan dengan geisha di kehidupan Barat modern. Geisha tidak menikah, tapi mereka sering punya anak. Mereka hidup dalam komunitas wanita yang terorganisir secara profesional. Mereka mempunya affair dengan pria yang sudah menikah, dan dapat memberikan layanan lain atas kebijakan mereka sendiri. Hidup mereka berasal dari menyanyi, menari dan berbicara dengan para pria di tempat-tempat perjamuan. Mereka mengabdikan waktu mereka untuk belajar dan menunjukkan tari dan musik tradisional. Dan mereka selalu mengenakan kimono, namun tidak selalu kostum formal. Kemudian dengan cara yang berbeda geisha mungkin menjadi seperti isteri simpanan, pelayan, hostess dan penari. Jika dia tidak mengenakan atribut lengkap, apakah Anda tahu bahwa dia adalah seorang geisha? Jika Anda tahu apa yang harus dilihat dari seorang geisha maka anda akan bilang, ya.
Sebagai wanita Jepang, fakta sosial yang sangat penting adalah bahwa gesiha bukanlah istri. Istri selalu mengawasi lingkungan rumah dan anak-anak, sedangkan profesi gesiha secara eklusif terpisah dalam ruang yang berbeda antara untuk kepentingan rumah dan untuk kepentingan bisnis. Ini adalah wilayah dimana para pria bersosialisasi dan geisha hanyalah wanita yang berfungsi melayani hal ini dan hanya dinomori dari 1000 sampai 1 oleh pelayan bar di kehidupan Jepang modern. Hal-hal tersebutlah yang membedakan antara geisha dan istri. Yang memisahkan gesiha dengan wanita lain adalah pengabdianya pada dunia seni tradisional Jepang.
Dunia geisha telah mengalami banyak perubahan. Sampai pada tahun 1920-an, saat geisha menjadi ketinggalan jaman dibanding gadis kafe, gadis-gadis penari hall, gesiha menjadi barisan terdepan dalam bidang hiburan. Namun dalam wajah modernisasi dan westernisasi, gesiha membalikkan profesi mereka ke arah yang berlawanan dan mentrasformasikan diri mereka dari inovator fashion menjadi kurator budaya. Mereka meninggalkan pakaian ala barat sebagai bar hostess dan menggantinya dengan kimono sebagai seragam mereka. Dengan cara ini mereka menemukan kedudukanya di antara kehidupan Jepang modern. Pengalaman seperti ini tidak didapati pada karakter Sayuri dalam novel Arthur Golden yang berjudul Memoirs of a Geisha. Namun demikian para geisha yang lebih tua sering masih menceritakan cerita tentang kisah masa muda mereka bersama dengan disiplin tinggi yangg harus mereka tanggung atas tarian mereka dan guru samisen mereka.
”Kamu tidak bisa melakukanya hari ini,” kata ibu geisha saya, ” maiko akan berhenti.” Arthur Golden mendapatkan imaginasi yang patut dicatat saat dia menempatkan dirinya di dalam pikiran geisha dan menciptakan kepribadian memaksa melalui kejadian-kejadian yang dibentangkanya dalam kehidupan yang lebih luas dari pada kehidupan saga. Namun demikian dalam hal ini, Cerita tentang Sayuri masih menyuarakan kebenaran karena geisha masih ada, dan nyatanya, lebih luas daripada kehidupan.
Seorang geisha adalah seorang gadis yang sangat lembut dalam segala hal; kostumnya penuh dekorasi seni; kelihatannya sederhana dan lucu; prilakunya tenang, bersinar dan wangi; gerakanya gemulai dan tidak terburu-buru terlihat manis secara musikal; percakapanya merupakan gabungan yang tajam antara unsur feminisme dan jawaban-jawaban tepat; cahayanya tidak ada habisnya; kesederhanannya menjadi contoh; kepuasannya tidak terukur. – Captain Frank Brinkley.
Geisha, bersamaan dengan Puncak Fuji dan bunga cherry, telah menjadi simbol Jepang sejak Jepang terbuka pada dunia Barat tahun 1850-an. Siapakah Geisha? Kita sering mendengar bahwa geisha yang sebenarnya bukanlah seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Geisha berarti ”orang seni” namun yang mempunyai ketrampilan sebagai entertainer. Secara tradisional pemunculannya sangat dikaitkan dengan erotisme, namun seksualitas geisha tidak secara langsung dijual dan sangat sulit untuk didapatkan. Sebenarnya, jawaban atas pertanyaan ”Siapa Gesiha” berbeda secara geografis dan historis.
Daya tarik Barat atas geisha dapat dilihat dalam berbagai bentuk. Opera Madame Butterfly tahun 1906 oleh Puccini, meskipun sebenarnya bukanlah tentang geisha, namun mungkin menciptakan stereotipe tentang kecantikan ketimuran yang lemah sebagaimana dimaksudkan oleh orang-orang Barat. Sesudah era Perang Dunia II membawa wajah baru bagi Jepang, Shierly MacLain memerankan seorang geisha dalam film My Geisha tahun 1962. Bahkan seorang Madonna pernah mengenakan pakaian geisha post-modern.
Orang Jepang sendiri telah menjalankan peranya dalam mempromosikan geisha sebagai simbul Jepang kepada dunia luas. Geisha sendiri telah mendokasi pakaianya untuk mengenalkan Jepang sejak poster traveller Jepang pertama kali dicetak. Poster tari geisha pertama kali telah dicetak secara spektakular dalam bahasa Inggris dan bahasa Jepang. Saat ini, banyak orang Jepang sendiri yang setuju bahwa geisha mewakili unsur feminisme selain fakta bahwa sangat sedikit orang Jepang sendiri yang berhubungan dengan geisha karena perjamuan gesiha sangat mahal.
Fiksi Arthur Golden, Memoirs of a Geisha, berada dibalik hal-hal ini dan stereotip tentang geisha yang lain, yang secara brilian telah mencerminkan geisha abad ke 20. Buku ini menceritakan cerita tentang seorang gadis yang bernama Chiyo yang menjadi gesiha terkenal bernama Sayuri di daerah geisha kelas tinggi di Gion, Kyoto. Diceritakan kepada kita kehidupan Chiyo sebagai gadis desa yang miskin pada tahun 1920-an sampai akhirnya menjadi simpanan orang kaya. Dalam banyak detail dan keanekaragamanan buku Golden jelas menggambarkan sub budaya Jepang yang kurang dikenal luas sebelum dan sesudah Perang Dunia II. Gambaran Sayuri sebagai seorang survival: dari awal masa kerasnya, persaingan saat remaja hingga akhir yang bahagia. Dengan film dari Ukiyo, photografi, puisi, lagu geisha dan tulisan-tulisan, kehidupan seorang gesiha di eksplorasi dan dikembangkan dalam dunia geisha yang mempunyai banyak intrik.
PENGHIBUR YANG MEMIKAT PADA JAMAN DULU
Nama Geisha menempati waktu singkat dalam sejarah jepang yang panjang. Geisha seperti yang dikenal muncul beberapa ratus tahun yang lalu. Namun demikian wanita ”bertipe” geisha – wanita yang menghibur dan kemudian menawarkan tubuhnya kepada pria – kembali pada masa awal di Jepang. Tergantung pada tingkat seninya, sensitifitasnya dan kepandaianya, wanita-wanita ini, yang kemudian hari menjadi seperti geisha, bisa menjadi terkenal dan bahkan berkuasa.
Pendahulu geisha ditemukan di antara saburuko (seorang yang melayani) yang muncul pada akhir abad ke 7. Wanita-wanita ini, yang dipaksa berkelana sebagai akibat dari penempatan sosial yang keliru, memperdagangkan seksualitas mereka agar dapat survive. Di antara mereka terdapat penari-penari dan penyanyi berbakat yang diundang untuk acara kumpul-kumpul para aristokrat. Keterangan tentang wanita-wanta ini disebutkan dalam puisi-puisi kuno Jepang.
Dari abad 12 sampai abad 14 muncul kelompok PSK baru yang disebut shirabyoshi. Mereka merupakan penyanyi dan penari trampil yang mengenakan pakaian model Shinto dan memainkan drum dan seruling. Sering kali mereka berasal dari keluarga aristokrat yang jatuh dan mereka merupakan hasil dari kehebohan sosial. Nama dari beberapa wanita ini telah menjadi legenda. Yang paling terkenal adalah Shizuka, yang menjadi teman prajurit Jepang yang paling dicintai rakyat yang bernama Yoshitsune. Yang lain lagi adalah Kemegiku yang menjadi selir Kaisar Gotoba. Beberapa legenda, hymne dan balada kuno dan tradisi mereka kemudian diambil oleh teater Noh.
HIDUP PADA TEMPAT HIBURAN
Saburuko dan shirabyosi merupakan pendahulu geisha, mereka adalah entertainer wanita yang bebas tubuhnya. Namun gesiha tidak mungkin timbul tanpa budaya yang kemudian disebut yujo (pelacur), bunga rumah panas yang tinggal di yukaku, namun hidup dalam kesenangan.
Istilah ”tempat hiburan” sungguh ironis dalam beberapa hal. Sekitar tahun 1600 tempat-tempat tersebut sebenarnya dibentuk sepeti ”penjara”. Tempat-tempat itu dibangun pasa saat regim Tokugawa yang baru (nama sesudah shogun, atau pemerintahan militer) berusaha untuk melokalisir kebutuhan, prostitusi dan hiburan dari jalanan dan menempatkan mereka pada tempat khusus. Dalam sejarah tempat hiburan banyak gadis-gadis miskin yang dijual oleh keluarganya yang kurang mampu untuk menjadi pelayan di sana, dan mereka tidak bisa meninggalkan tempat tersebut sampai hutang-hutangnya terbayar lunas.
Pertengan tahun 1800-an, tempat seperti ini muncul di tiga kota besar di Jepang: Yoshiwara di Edo (sekarang Tokyo), Shimmachi di Osaka, dan Shimbara di Kyoto. Tempat huburan mewah dipenuhi oleh orang-orang kaya, sebuah kelas sosial yang saat itu sedang tumbuh. Tempat-tempat hiburan dipenuhi dengan hal-hal artistik dan lisensi seksual dimana orang-orang bisa terlepas dari tekanan regim militer pada saat itu. Tempat hiburan teahouses, dimana yujo menghibur seperti salon yang penuh dengan artis, penulis, aktor dan pegulat, juga dipenuhi oleh para lelaki perkotaan.
Budaya tempat hiburan dilapisi oleh referensi klasik. Para pelacur dan orang-orang penting yang ditemaninya dicari-cari untuk menandingi era sebelumnya yaitu era Heian, era keemasan aristokrat dari abad ke-9 sampai abad ke-12 saat kesedihan dan keindahan alam dilukiskan dalam puisi dan sebagian besar diantaranya ditulis oleh para wanita. Para pelacur-dan para artis yang melukiskanya-membuat referensi pada novel romantis The Tale of Genji, yang ditulis oleh Lady Murasaki Shikibu pada abad ke-11 dan dianggap sebagai novel terbesar di dunia. Para pelacur di tempat hiburan menjadi mahir dalam hampir semua hal termasuk kaligrafi, puisi, merangkai bunga, upacara teh, menari dan musik.
Beberapa pelacur kelas tinggi mendapatkan kedudukan yang tinggi yang disebut tayu atau oiran dan diperlakukan seperti keluarga kerajaan yang dibantu oleh shinzo, kamuro dan pelayan-pelayan lain.
Prilaku yang beradab tidak hanya diharapkan muncul dari para pelacur saja. ”Perusahaan” lebih menyukai pelacur kelas tinggi dimana hanya sedikit orang yang mampu mendapatkanya, dan harus mempunyai prilaku terbaik dan tentu saja mendapatkan uang. Barang siapa yang ingin berada di dunia hiburan memerlukan panduan untuk mempermudah jalan mereka dan mengajari mereka tentang prilaku yang benar.
Hanya sedikit penduduk yang mempunyai keleluasaan, sumber atau posisi sosial untuk bisa memasuki tempat hiburan tersebut. Bagi mereka yang tidak mempunyai akses ke sana dapat mengetahui kehidupan ini melalui literatur yang ada.
Bersambung ke : Menguak Rahasia Kehidupan Seorang Geisha (Part 2)
[sumber;http://deltapapa.wordpress.com]