1. Si Raja Batak (Sebelum ada Marga)
Merupakan nama kolektif dari para leluhur Batak. Banyak orang yang salah sangka dengan nama si Raja Batak ini, karena mengira Si Raja Batak merupakan nama individu atau personal yang menurunkan atau melahirkan semua bangsa Batak.
Kebanyakan para sejarawan Batak menggunakan istilah Si Raja Batak sebagai nama kolektif yang menjadi representasi para nenek moyang para Bangsa Batak yang tersebar mulai dari Aceh, Tanah Batak sampai dengan sebagain daerah Minang.
Paska zaman nenek moyang tersebut, masyarakat Batak terbagi menjadi tiga kubu kelompok masyarakat. Pertama Tatea Bulan, kedua Sumba dan ketiga Toga Laut. Jadi ketiga nama tersebut bukanlah nama anak-anak si Raja Batak seperti yang dikira banyak orang, akan tetapi nama kubu atau kelompok marga. Setidaknya seperti itulah yang banyak dipahami para ahli.
Walaupun memang, untuk kepentingan ideologi marga yang eksogamis, nama-nama kelompok dan komunitas tersebut dipersonifikasi untuk menyederhanakan identifikasi dalam hal urusan perkawinan. Beberapa nama dan marga tersebut dibentuk berdasarkan lebih kepada musyawarah atau konsensus dari pada terjadi sendiri tanpa terencana. Oleh karena itulah dalam penulisan tarombo, nama-nama itu dianggap sebagai “anak-anak” si Raja Batak.
2. Tatea Bulan (Anak si Raja Batak)
Nama kubu dan nama seorang Raja. Dikenal juga dengan nama Guru Tatea Bulan karena maha karyanya yang bernama Pustaha Agung yang menjadi pedoman adat Batak sampai sekarang.
Kitab ini membahas cakupan antara lain; Ilmu Hadatuan (Medical dan Metaphysical Science), Parmonsahon (Art of Self Defence & Strategy-cum-Tactical Science) dan Pangaliluon (Science of Deceit).
Menurut legenda, Guru Tatea Bulan atau disebut juga Toga Datu pernah pergi menemui pamannya (Saudara dari Ibunya) di Siam. Dia bermaksud meminang paribannya, putri sang Paman/Tulang. Tapi rencananya tidak berhasil, tidak disebutkan alasannya. Ketika dia kembali ke kampung halaman, Sianjur Mulamula, dia terkejut dan sangat sedih menemukan kampung halaman yang ditinggalkannya telah kosong. Ayahnya, Si Raja Batak telah meninggal dunia.
Sementara itu, adiknya, Raja Isumbaon telah pindah ke Dolok Pusuk Buhit dekat dengan Pangururan sekarang ini. Adik bungsunya Toga Laut mengembara dan membuka wilayah yang sekarang masuk ke Aceh dan bernama Gayo/Alas.
Dia berinisiatif untuk menemui adiknya; Raja Isumbaon. Di sana dia menetap sementara dan kemudian kembali ke Sianjur Mula-mula, tempat lahirnya. Dia berusaha bangkit dari kepedihan hidupnya tersebut dengan menghabiskan waktunya dengan berkontemplasi dan bekerja; bercocok tanam di sawah. Pada saat-saat itulah dia bertemu dengan seorang wanita pendatang, yang kesasar, dan mengaku bernama Boru Sibasoburning Guru. Sibasoburning mempunyai bahasa yang berbeda dengan bahasa Batak.
Hati tertarik, mungkin sudah jodoh, keduanya menikah. Hasilnya adalah anak pertama raja Miok-miok yang disebut sebagai Raja Gumelleng-gelleng, disebut juga raja Miok-miok atau Biak-biak dengan gelar Raja Uti.
Guru Tatea Bulan dianggap menurunkan sembilan keturunan, lima laki-laki dan empat perempuan yaitu, Raja Biak-biak, Tuan Sariburaja, Limbong Mulana, Sagalaraja (Malauraja), Boru Pamoras, Boru Pareme, Boru Biding Laut dan Natinjo
Melalui Tatea Bulan inilah turun beberapa keturunan Batak yang paling banyak berkecimpung dalam peradaban Batak. Diantaranya adalah Keturunan Raja Uti, Keturunan Raja Lontung, Pasariburaja dan lain sebagainya.
3. Guru Isumbaon (anak ke dua siRaja Batak)
Guru Isumbaon merupakan pemimpin kelompok Sumba di komunitas Batak yang dianggap posisinya sebagai adik dari Tatea Bulan dalam hal adat. Sebagaimana Guru Datu, Isumbaon juga mempunyai kapasitas sebagai ilmuwan Batak saat itu.
Ajaran Raja Isumbaon termaktub dalam Kitab Pustaha Tumbaga Holing mencakup; Harajaon (Political Science or the science about the kingdom), Parumaon (Legislation), Partiga-tigaon (Econimics Science or The Arts of Trading) dan Paningaon (Life Skills or Technology.
4. Raja Uti (sebelum Masehi)
Dianggap sebagai kubu paling senior di antara masyarakat Tatea Bulan. Raja Uti menjadi salah satu raja yang memerintah di Sianjur Mula-mula sebelum akhirnya memindahkan ibukotanya ke Barus. Dia merupakan Raja Batak pertama yang memerintah masyarakat maritim Batak.
Dia mempunyai sebutan Raja Biak-biak, Raja Miok-miok, Raja Gumelleng-gelleng dan Raja Hatorusan. Dalam ajaran Parmalim, Raja Uti dianggap sebagai Rasul Batak. Walupun begitu, keturunan Raja Uti sekarang ini kebanyakan menganut agama Islam yang hidup di daerah pesisir barat Sumatera Utara.
5. Tuan Sariburaja
Merupakan tokoh Batak yang diketahui menjadi seorang Batak pertama yang terlibat dalam skandal seks sumbang dengan adiknya sendiri Si Boru Pareme. Hasil dari skandal inilah yang melahirkan Raja Lontung yang menjadi nenek moyang Toga Lontung yang merupakan kelompok marga paling dominan di dalam sejarah peradaban Batak.
Dalam pengembaraan, Tuan Sariburaja kemudian menikah secara resmi dengan Nai Mangiring Laut. Dari istri barunya ini lahirlah seorang anak yang bernama Borbor yang kemudian dikenal Si Raja Borbor.
Friksi dalam keluarga kecil ini menyebabkan perpecahan yang panjang antara Si Raja Lontung dengan Si Raja Borbor. Perselisihan tersebut berlanjut kepada keturunan masing-masing, dimana keturunan Raja Borbor kemudian beraliansi dengan keturunan Limbong Mulana, Sagalaraja dan Malauraja kontra keturunan Si Raja Lontung.
Perkawinan eksogamus diyakini berkembang karena friksi dalam keluarga ini. Sehingga akhir dari pertentangan itu adalah terbentuknya dalihan natolu.
Karena itulah dalam kehidupan sosial berikutnya, aliansi keturunan Raja Borbor tersebut menggunakan panggilan “amangboru” yang lebih kurang berarti ipar dan tidak menggunakan tuturan seharusnya, yakni abang terhadap keturunan Si Raja Lontung.
6. Raja Sori Mangaraja (Sagala)
Merupakan pendiri Dinasti Sori Mangaraja dari Marga Sagala yang merupakan dinasti paling lama di tanah Batak sampai kepada Sorimangaraja CI (ke-101) 1816 M dengan nama Syarif Sagala yang telah memeluk Islam memerintah di Sipirok, ibukota terakhir Dinasti ini.
Kerajaan Sorimangaraja merupakan kerajaan Teokrasi pertama. Dimana pemimpin dianggap sebagai perwakilan tuhan di Bumi. Rajanya bergelar Datu Nabolon atau Supreme Witch Doctor
7. Raja Alang Pardosi
Alang Pardosi merupakan Raja pertama masyarakat Maritim Batak dari kubu Sumba tepatnya marga Pohan. Dia merupakan personalitas Sumba yang berhasil menyaingi Raja-raja Maritim keturunan Raja Uti dari kubu Tatea Bulan. Keturunan Alang Pardosi merupakan pendiri Kesultanan Batak pertama pada abad ke-7 melalui Sultan Kadir Pardosi.
Naskah Jawi yang dialihtuliskan di sini dipetik dari kumpulan naskah Barus dan dijilidkan lalu disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan no. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
Kisah dalam buku tersebut dimulai dengan kata-kata “Bermula dihikayatkan suatu raja dalam negeri Toba sila-silahi (Silalahi) lua’ Baligi (Luat Balige), kampung Parsoluhan, suku Pohan.” Raja yang bersangkutan adalah Raja Kesaktian dan dalam kisah itu tercatat bahwa anaknya, Alang Pardoksi (Pardosi), meninggalkan jantung tanah Toba untuk merantau.
Alang Pardosi meninggalkan keluarga dan rumahnya sesudah bertikai dengan ayahnya; bersama istri dan pengikutnya dia berjalan ke barat. Dalam sepuluh halaman pertama diceritakan perbuatan-perbuatan Alang Pardosi yang gagah berani, tanah yang dinyatakannya sebagai haknya di rantau, jaringan pemukiman baru yang didirikannya, dan perbenturannya dengan kelompok perantau lain dari Toba.
Alang Pardosi mengklaim hak atas sebidang tanah yang luas, yang merentang dari Kampung Tundang di Rambe (Pakkat sekarang), tempat ia menetap, ke barat sampai Singkil, ke timur sampai perbatasan Pasaribu, ke hilir sampai ke tepi laut. Termasuk di dalamnya Barus.
Keluarga yang berselisih dengan Alang Pardosi adalah keluarga Si Namora. Si Namorapun telah meninggalkan rumahnya di Dolok Sanggul sebagai akibat percekcokan dalam keluarga. Bersama istrinya dia menetap di Pakkat, dan Alang Pardosi, Sang Raja, menyadari kehadirannya ketika pada suatu hari dilihatnya sebatang kayu yang mengapung di sungai. Raja memungut upeti dari Si Namora sesuai dengan adat berupa kepala ikan atau binatang apapun yang dapat dibunuh Si Namora.
Si Namora berputera tiga orang yang beristrikan ketiga puteri Alang Pardosi. Akhirnya yang sulung dari ketiga putera Si Namora yaitu Si Purba, mengambil keputusan untuk mempermasalahkan hubungan antara kedua keluarga sebagai pemberi dan penerima upeti. Maksudnya itu dilaksanakan dengan mengakali Pardosi.
Untuk itu dia harus kembali ke kampung ayahnya di Toba; dia harus mengumpulkan kekayaan keluarga berupa kain dan pusaka. Lalu dari kain-kain itu Purba membuatkan patung seekor rusa yang rupanya bukan main hebatnya dan kepalanya dipersembahkan kepada Pardosi sebagai Upeti. Alang Pardosi begitu takut melihat persembahan tersebut dan membebaskan keluarga Si Purba dari ikatan memberi upeti.
Setelah Alang Pardosi diperdaya, dia mencium adanya gugatan mengenai kedudukannya sebagai raja. Perang meletus dan si Purba memakai penghianatan untuk mengusir Alang Pardosi dan mengambil alih pemukimannya di Si Pigembar. Sebuah kudeta terjadi. Alang Pardosi kemudian mendirikan pemerintahan “in exile” di Huta Ginjang, kota yang baru dibangunnya.
Namun ada pembalasan dari pihak raja yang terusir. Saat kepemimpinan Si Purba pemukiman dirundung kelaparan. Raja yang sah, Alang Pardosi, diminta kembali untuk mengobati keadaan. Namun dia menolak dan meminta supaya si Purba membuatkannya rumah di Gotting, sebuah bukit antara Pakkat ke Barus, bukit tersebut dibelah oleh sebuh jalan yang menyempit di antara dinding batu napal yang keras, sekita lima kilometer dari Pakkat menuju Barus, di atas sebuah jalan sehingga semua orang yang ingin melalui jalan tersebut harus lewat di bawah rumahnya. Kedudukannya di sedemikian di persimpangan jalan-jalan penting memberi kekuasaan besar kepada Alang Pardosi yang menjadi raja yang paling berkuasa dari raja-raja Negeri Batak. Si Purba, kemudian, tinggal di tanah yang dibuka ayahnya yaitu Tanah Rambe atau Pakkat.
Jadi dalam kronik, Raja Alang Pardosi dengan demikian ditentukan sebagai pendiri garis keturunan baru. Proses ini berlanjut terus seusai dia wafat. Kedua anaknya, dari istri kedua, puteri Aceh; Pucara Duan Pardosi dan Guru Marsakot Pardosi berpisah dan pindah ke arah yang berlainan supaya tidak bertikai.
Pucara Duan tinggal pindah ke arah pantai dan menetap di daerah Tukka yang pada abad ke-19 merupakan pusat besar untuk penghimpunan persediaan kapur barus dan kemenyan dan dari sana dibawa ke Barus.
8. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan
Merupakan tokoh yang disegani dalam adat. Walupun dia bukan merupakan seorang Raja, namun posisinya sampai sekarang masih sangat dihargai. Khususnya dalam reorganisasi sistem adat dan budaya Batak.
Penduduk dataran tinggi, para pendatang di pelabuhan Natal dan Muaralabu (dikenal dengan sebutan Singkuang atau Sing Kwang oleh ejaan Cina), dan terutama elemen-elemen bangsa Pelaut Bugis dari Sulawesi, yang singgah sebelum berlayar berdagang menuju Madagaskar, telah berasimilasi dengan penuh toleransi dengan bangsa Batak.
Para pendatang tersebut dengan sukarela interaksi dan menerima adat Dalihan Natolu agar dapat mempersunting wanita-wanita setempat setelah puluhan tahun di tengah laut. Datu Nasangti Sibagot Ni Pohan dari Toba, seorang yang disegani saat itu, menyatukan mereka; campuran penduduk peribumi dan pendatang tersebut, membentuk marga Nasution.
9. Erha Ni Sang Maima
Merupakan putra dari Raja Doli yang memerintah di Sianjur Mula-mula dan melebarkan kekuasaan mereka sampai ke wilayah Lontung di Samosir Timur.
Dari legenda rakyat mengenai Erha Ni Sang Maima, dia merupakan panglima yang berhasil menggunakan teknologi canggih saat itu dalam pasukannya. Teknologi tersebut adalah penggunaan mesiu dan mercon dengan kuantitas yang besar sehingga menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat. Dalam sebuah penumpasan perang terhadap pemberontak, Erha Ni Sang Maima menggunakan ‘rudal’ tersebut yang meluluh lantakkan sebuah wilayah dan hasil dari ledakan tersebut menyebabkan sebuah cekungan yang akhirnya menjadi danau kecil di daerah Toba. Ada yang mengatakan bahwa letak danau tersebut adalah di Kampung Silaban.
10. Guru Marsakkot Pardosi
Merupakan keturunan Raja Alang Pardosi yang memerintah di pesisir barat Sumatera Utara. Guru Marsakkot merupakan Raja pertama dari keturunan Alang Pardosi yang memerintah sebuah kerajaan Batak yang penduduknya terdiri dari campuran orang-orang Batak dan para saudagar asing khususnya Bangsa Ceti atau yang dikenal sekarang dengan nama Bangsa Tamil atau Keling.
11. Raja Lingga
Mengenai Kerajaan Lingga di tanah Batak Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam bukunya “Gajah Putih” yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar abad 11, Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, yang menjadi keturunan langsung Batak, disebutkan mempunyai beberapa anak. Yang tertua seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan dan Meurah Lingga, Meurah Silu dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Batak leluhurnya tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo, yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
12. Sultan Kadir Pardosi
Merupakan generasi berikutnya dari Raja Alang Pardosi melalui Guru Marsakkot Pardosi. Dia merupakan keturunan pertama dari Alang Pardosi yang mendirikan kesultanan Batak.
Namun sayang pada masa pemerintahannya, sebuah serbuan dari makhluk yang disebut penduduk sebagai ‘orang-orang Gergasi’ melanda pemerintahannya di Barus sehingga menimbulkan ketidak nyamanan terhadap para saudagar-saudagar asing di kerajaannya.
Akibatnya para orang-orang kaya Batak dan Asing melarikan diri melalui laut menuju Lamuri demi menyelamatkan diri dari terror makhluk tersebut di Barus. Tidak diketahui bagaimana bentuk dan rupa makhluk Gergasi tersebut.
Namun yang pasti, di abad ke-10 pamor Lamuri sebagai kota pelabuhan yang banyak dikunjungi asing semakin terkenal sejajar dengan Barus. Bahkan hasil-hasil produk Barus seperti kamper harus dibawa dulu ke Lamuri untuk kemudian diekspor. Sebagian ada yang diekspor melalui pelabuhan Natal atau melalui darat ke pelabuhan Kerajaan Pane di pesisir timur Sumatera melalui Sungai Barumun.
13. Meurah Johan Lingga
Merupakan putera Raja Lingga. Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau Kesultanan Lamuri
14. Meurah Silu alias Malik al-Saleh
Meurah Silu, yang menjadi prajurit kesultanan Daya, saat itu masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Iskandar Malik dengan gelar Sultan Malik al-Shaleh sebagai sultan pertama pribumi dan pendiri Samudera Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas Kesultanan Daya yang dihancurkan oleh Laksamana Ismail al-Siddiq, panglima Dinasti Mamluk, Mesir, yang menggantikan Dinasti Fatimiyah pendukung Kesultanan Daya.
Dikatakan bahwa Kesultanan Pasai di tangan orang Batak Gayo yang kemudian menghancurkan Kerajaan Hindu Aceh, yang terdiri dari Batak-Mante dan imigran Hindu India, yang sudah melemah dengan tumbuhnya komunitas-komunitas muslim dengan kedaulatan sendiri-sendiri.
Sepeninggalan Malik al-Saleh (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di Barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299 dengan corak mazhab syiah.
15. Sultan Malik Al Mansyur putera Malik al-Saleh (1299-1322).
Pendiri Kerajaan Syiah Aru Barumun yang menjadi saingan kerajaan ayahnya Malik al-Saleh di Kesultanan Samudra Pasai.
16. Sultan Firman Al Karim (1336-1361).
Merupakan Sultan ketiga di Kesultanan Aru Barumun. Pada era-nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
17. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407).
Merupakan Sultan ke-6 dari Kesultanan Aru Barumun. Dalam masa pemerintahannya dia banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
18. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji.
Dia merupakan Sultan ke-7 dari Kesultanan Aru Barumun. Pada tahun 1409 dia menjadi salah satu orang Batak yang ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama “Adji Alasa” (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
19. Hidayat Fatahillah
Putra mahkota terakhir Kesultanan Samudera Pasai, yang didirikan oleh Meurah Silo, sebelum diakuisisi oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Dia mengungsi ke Jawa dan mendirikan kota Jakarta serta menjadi tokoh yang mempertahankan Jakarta dari gempuran Portugis. Di akhir hayatnya dia menjadi Sunan Gunung Jati. Salah satunya Sunan dari orang Batak marga Silo. Namun banyak yang yakin bahwa sebenarnya dia adalah keturunan Arab.
20. Sultan Muhammadsyah (abad ke-15 M)
Dalam konstalasi politik berikutnya, di pesisir Barat Sumatera, terjadi persaingan dan pertikaian politik antara Sultan Moghul, Raja Pariaman, di Sumatera Barat, selatan pesisir Barus dengan Sultan Ri’ayatsyah yang dikenal dengan dengan Raja Buyung di Aceh. Keduanya masih bersaudara. Puncaknya Sultan Moghul ingin menaklukkan Aceh.
Armada angkatan laut Sultan Moghul berangkat menuju Aceh. Beribu pasukan ‘marinir’ tersebut kemudian berlabuh dan melepas jangkar di Fansur untuk memenuhi kebutuhan logistik mereka. Fansur memang pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan dunia, tokoh Batak yang lahir dari wilayah ini adalah mereka yang mempunyai kinayah Al Fansuri.
Saat itu panglima memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari tahu mengenai perkembangan Aceh yang terkini. Mereka meminta nasehat dari dua orang ahli strategi Batak; Datu Tenggaran dan Datu Negara, keduanya dari klan Pasaribu. Mereka juga diajak untuk ambil bagian dalam misi tersebut. Posisi Fansur yang cenderung netral tergoyahkan.
Namun perkembangan politik dan melalui pertimbangan-pertimbangan, pasukan Sultan Mogul membatalkan niat penyerbuan tersebut. Datu Tenggaran diminta untuk memimpin pasukan kembali ke Pariaman.
Datuk Negara sendiri tidak berkenan untuk mengikuti pasukan tersebut ke Pariaman, dia lebih memilih untuk tetap berada di Fansur. Dalam pesan selamat tinggalnya, Datuk Teggaran bersumpah kelak akan kembali ke negeri Fansur di Barus. Segumpal tanah dan sekendi air Fansur jadi saksinya.
Di Negeri Pariaman, Datu Tenggaran menyempatkan diri untuk memperdalam agama Islam. Diapun berganti nama menjadi Muhammad. Kegigihan dan kedisiplinan Muhammad dalam mengemban tugas-tugas negara membuat Sultan Moghul bersimpati. Dia menawarkan adiknya Siti Permaisuri putri raja Indrapura Munawarsyah.
Setelah menikah, keduanya membuka wilayah baru dan dinamakan Tarusan untuk mengenang kakeknya Raja Hatorusan II di Negeri Fansur. Sebagai petinggi dan pembuka wilayah Datu Tenggaran dianugerahi gelar Sultan Muhammadsyah.
Di kota baru ini Muhammadsyah juga membawa serta ribuan pengikutnya. Muhammadsyah sendiri mulai membina keluarganya dengan rukun. Anak-anaknya tumbuh besar dan berkembang dengan didikan disiplin dan kebijaksanaan yang mendalam dari sang ayah.
Namun, Salah satu anaknya yang bernama Sultan Ibrahimsyah, menjelang dewasa, sekitar umur 17 tahun, berselisih paham dengannya. Perselisihan tersebut meruncing dan tidak dapat diatasi lagi. Ibrahimsyah pun memilih untuk meninggalkan Negeri Terusan dengan membawa pengikut 1000 orang menuju Fansur.
21. Sultan Mualif Pardosi
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
22. Sultan Marah Pangsu Pardosi (700-an Hijriyah)
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
23. Sultan Ibrahimsyah Pasaribu
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus
24. Sultan Marah Sifat Pardosi
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
25. Mahkuta alias Manghuntal atawa Sisingamangaraja I
Pada tahun 1540 M, Mahkuta atau Manghuntal yang menjadi Panglima di Kerajaan Hatorusan yang berpusat di Barus dan Singkel–ditugaskan menumpas pemberontakan di pedalaman Batak, setelah sebelumnya berhasil mengusir Portugis dari perairan Singkel, memerintah di tanah Batak sebagai Sisingamangaraja I. Kedaulatannya ditransfer oleh Raja Uti VII yang kehilangan kekuasaannya.
Pemerintahan Sisingamangaraja I, hanya berlangsung sepuluh tahun. Sebelum putra mahkotanya, Manjolong, berumur dewasa, masih 12 tahun, Manghuntal dikabarkan menghilang dan tidak pernah kembali lagi.
Orang-orang Bakkara dan lingkungan Istana percaya bahwa Sisingamangaraja menghilang diambil Mulajadi Nabolon ke langit atau menganggapnya sebagai kejadian gaib. Manjolong akhirnya diangkat menjadi Sisingamangaraja II.
Belakangan dari kitab-kitab kuno bangsa Batak Karo diketahui bahwa Sisingamangaraja I ternyata berada di tanah Karo paska menghilangnya raja dari Bakkara. Tidak disebutkan sebab-sebab migrasi Sisingamangaraja. Apakah dia frustasi dengan keadaan rakyatnya yang terus bertikai dan bertengkar, walau sudah dibujuk untuk damai dengan benda-benda pusaka Raja-raja Uti, tidak diketahui dengan pasti.
Tapi melihat riwayat-riwayat budi pekerti sosok Sisingamangaraja I yang anti- perbudakan, anti-rentenir sehingga selalu membayar utang para rakyat yang terlilit hutang dan lain sebagainya, membuatnya banyak memiliki musuh dari elit-elit yang suka mengeksploitasi rakyat. Permusuhan itu, tidak saja dari lingkungan istana tapi bahkan dari kerabatnya sendiri, misalnya namborunya, yang tidak menyukai kebijakannya tersebut.
Paska kepindahannya ke tanah Karo salah satu cucunya yang bernama Guru Patimpus mendirikan huta yang sekarang menjadi Ibukota Provinsi Sumatera Utara.
26. Guru Patimpus
Menurut riwayat Hamparan Perak salah seorang putera dari Sisingamangaraja bernama Tuan Si Raja Hita mempunyai seorang anak bernama Guru Patimpus pergi merantau ke beberapa tempat di Tanah Karo dan merajakan anak-anaknya di kampung–kampung: Kuluhu, Paropa, Batu, Liang Tanah, Tongging, Aji Jahe, Batu Karang, Purbaji, dan Durian Kerajaan. Kemudian Guru Patimpus turun ke Sungai Sikambing dan bertemu dengan Datuk Kota Bangun.
Berdasarkan bahan–bahan dari Panitia Sejarah Kota Medan (1972) termasuk Landschap Urung XII Kuta, ini dapat dilihat dari trombo yang disalin dalam tulisan Batak Karo yang ditulis di atas kulit–kulit Alin. Trombo ini mengisahkan Guru Patimpus lahir di Aji Jahei. Dia mendengar kabar ada seorang datang dari Jawi (bahasa Jawi bahasa Pasai Aceh, kemudian dikenal dengan bahasa Melayu tulisan Arab. Orang yang datang dari Jawi itu adalah orang dari Pasai keturunan Said yang berdiam di kota Bangun. Orang itu sangat dihormati penduduk di Kota Bangun kemudian diangkat menjadi Datuk Kota Bangun yang dikenal sangat tinggi ilmunya. Banyak sekali perbuatannya yang dinilai ajaib-ajaib.
Guru Patimpus sangat ingin berjumpa dengan Datuk Kota Bangun untuk mengadu kekuatan ilmunya. Guru Patimpus beserta rakyatnya turun melalui Sungai Babura, akhirnya sampailah di Kuala Sungai Sikambing. Di tempat ini Guru Patimpus tinggal selama 3 bulan, kemudian pergi ke Kota Bangun untuk menjumpai Datok Kota Bangun. Konon ceritanya dalam mengadu kekuatan ilmu, siapa yang kalah harus mengikuti yang memang. Dalam adu kekuatan ini, berkat bantuan Allah SWT Guru Patimpus kalah dan dia memeluk agama Islam, sebelumnya beragama Perbegu.
Dia belajar agama Islam dari Datuk Kota Bangun. Dia selalu pergi dan kembali ke Kuala Sungai Sikambing pergi ke gunung dan ke Kota Bangun melewati Pulo Berayan yang waktu itu di bawah kekuasaan Raja Marga Tarigan keturunan Panglima Hali. Dalam persinggahan di Pulo Berayan, rupanya Guru Patimpus terpikat hatinya kepada puteri Raja Pulo Berayan yang cantik. Akhirnya kawin dengan puteri Raja Pulau Berayan itu, kemudian mereka pindah dan membuka hutan kemudian menjadi Kampung Medan. Setelah menikah, Patimpus dan istrinya membuka kawasan hutan antara Sungai Deli dan Sungai Babura yang kemudian menjadi Kampung Medan. Tanggal kejadian ini biasanya disebut sebagai 1 Juli 1590, yang kini diperingati sebagai hari jadi kota Medan.
27. Sisingamangaraja II
Dikenal dengan nama Raja Manjolong gelar Datu Tinaruan atau Ompu Raja Tinaruan memerintah 1550 s.d 1595
28. Hafidz Muda putera Guru Patimpus
Menurut trombo yang ditulis dalam bahasa Batak Karo di atas kulit Alin itu, Hafiz Muda kemudian menggantikan orang tuanya Guru Patimpus, menjadi Raja XII Kuta. Putera Guru Patimpus dari ibu yang lain bernama Bagelit turun dari gunung menuntut hak dari ayahandanya yaitu daerah XII Kuta. Setelah puteranya Bagelit memeluk agama Islam daerah XII Kuta yang batasnya dari laut sampai ke gunung dibagi dua. Kepada Bagelit diberi kekuasaan dari Kampung Medan sampai ke gunung. Akhirnya kekuasaan Bagelit dikenal dengan Orung Sukapiring. Sedangkan Hafiz Muda tetap menjadi Raja XII Kuta berkedudukan di Kampung Medan. Waktu itu Medan adalah sekitar Jalan Sungai Deli sampai Sei Sikambing (Petisah Kampung Silalas). Guru Patimpus dan puteranya Hafiz Muda yang menjadikan Kampung Medan sebagai pusat pemerintahannya.
29. Panglima Manang Sukka
Dia adalah orang Karo yang menjadi prajurit pasukan Aceh dan tahun 914 H/1508M, dia mendirikan Kerajaan Haru Delitua. Dia memakai gelar Sultan Makmun Al Rasyid I. Permaisurinya bernama Putri Hijau, saudara perempuan dari Sultan Mughayat Syah.
Angkatan Bersenjata Portugis dari Malakka pata tahun 930 H/1523 M menggempur Kesultanan Haru Delitua. Mereka bergerak dan menyisir daerah yang bernama Labuhan Deli sampai Deli Tua sambil menembaki siapa saja manusia yang hidup di daerah tersebut.
Mereka menggempur pasukan Makmun Al Arsyid dengan persenjataan berat dan artileri. Pasukan Makmun Al Rayid dengan bantuan pasukan dari Aceh bertahan di Sukamulia dan semuanya tewas dalam pembantaian tersebut.
Pasukan pengawal istana kerajaan habis dibantai yang terdiri dari semua penduduk yang berjenis kelamin laki-laki. Permaisuri Putri Hijau dengan lima orang putrinya ditawan oleh pasukan keling di bawah tentara Portugis ini. Para kaum keling India ini berasal dari provinsi Goa di India barat. Pasukan tersebut juga didukung oleh orang-orang Macao, Cina. Para putri-putri tersebut menjadi korban kebiadaban perkosaan dari tentara-tentara bayaran tersebut.
Putri Hijau sambil berzikir diikat ke mulut sebuah meriam lalu diledakkan. Tubuhnya hancur lebur tanpa bentuk. Puntung dari meriam Portugis itu menjadi “Keramat Meriam Puntung”, sebuah relik bagi orang-orang Karo Dusun yang muslim.
Pada tahun 1853, Sultan Ibrahim Mansyur Syah, Sultan Aceh, mengangkat Wan Usman di Labuhan Deli dengan nama Sultan Usman Perkasa Alam menjadi Sultan Deli yang pertama.
30. Tuanku Maraja Bongsu Pardosi (1054 H)
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
31. Jonggi Manoar I
Sebenarnya Jonggi Manoar merupakan nama lembaga adat. Namun yang ingin dibahas di sini adalah orang yang menempati jabatan tersebut pertama sekali.
Lembaga Jonggi Manoar atau Menawar merupakan lembaga raja atau perwakilan raja yang dibentuk oleh Tuanku Sultan Marah Laut Pasaribu (hidup di era Tuanku Maharaja Bongsu Pardosi, 1054 H atau Tuanku Mudik/Dihulu), saat berkunjung ke Luat Sagala Limbong di Toba. Pasaribu, Limbong dan Sagala merupakan keturunan Tatea Bulan.
Diceritakan, melalui, Sejarah Tuanku Batu Badan atau Tambo Barus Hilir, sebuah manuskrip sejarah bertuliskan Arab dan berbahasa melayu yang masih disimpan oleh Zainal Arifin Pasariburaja di Barus, seorang keturunan Bangsawan Kesultanan Dinasti Pasaribu, atau Tuanku Di Hilir. Manuskrip tersebut telah beredar banyak dalam tesis seorang peneliti dari Australia.
Bahwa sepeninggalan Sultan Adil Pasaribu, kesultanan Barus diserahterimakan kepada putranya Tuanku Sultan Marah Laut. Disaksikan oleh semua penduduk kerajaan. Di Barus sendiri terdapat dualisme pemerintahan. Di satu pihak berdiri Dinasti Pardosi (Turunan Marga Pohan) dari Sumba yang dikenal dengan Tuanku Di Hulu atau Tuanku Mudik dan yang satu Dinasti Pasaribu dari Tatea Bulan yang dikenal Tuanku Di Hilir, penerus Kerajaan Hatorusan.
Diceritakan bahwa Sultan melakukan perjalanan ke Toba. Tidak diceritakan sebab-sebabnya. Tapi diyakini merupakan bagian dari memperluas dan mengambil dukungan dari pihak Toba yang menjadi nenek moyang Pasaribu untuk menghadapi Dinasti Pardosi. Kubu Pasaribu sendiri merupakan keturunan Borbor/TateaBulan yang sejak dahulu menghuni Luat Sagala Limbong.di Toba. Persaingan dengan kubu Dinasti Pardosi sangat intens. Sehingga perjalanan ini merupakan akibat dari konstelasi politik saat itu.
Perjalanan dilakukan melalui sebuah daerah yang bernama Doli (Dolok=Dolok Sanggul?). Di sana dia bermukim dan sempat berkeluarga dan mendapatkan anak laki-laki. Perjalanan diteruskan ke tujuannya yakni Sagala Limbong.
Di sana dia bermukim dan mendapat tempat dari penduduk setempat yang masih kerabatnya.
“Maka dengan takdir Allah SWT sekalian (orang-orang) Batak itupun takluklah kepadanya karena tiada dapat melawannya karena Tuanku Sultan Marah Laut terlalu gagahnya. Maka (masyarakat) Batak pun sujudlah menyembah ke bawah duli yang maha mulia serta diangkatnya jadi akan rajanya di sana.” Demikian bunyi sejarahnya.
Setelah Sultan Marah Laut memerintah di Sagala Limbong dalam waktu yang lama, dia berpikir untuk kembali ke Barus.
Maka masyarakat dan petinggi kerajaan dikumpulkan mendengar titah sang raja. Sultan Marah Laut kemudian berdiri dan mengumumkan kepergiannya.
“Ya Tuan-tuan sekalian. Dengarkan hamba berkata. Adapun hamba ini negeri hamba sudah lama hamba tinggalkan dan sekarang hamba meminta izin pada tuan-tuan sekaliannya. Hamba hendak berjalan dahulu pulang ke negeri Barus karena hamba sudah lama meninggal(kan) saudara saya.”
Namun keinginan tersebut ditolak oleh warga yang menginginkan kehadiran seorang pemimpin yang mempunyai kewibawaan. Maka diambilkan jalan keluar melalui sebuah kompromi. Bahwa akan diangkat sebuah perwakilan Sultan di Sagala Limbong. Dan apabila melakukan sebuah upacara yang membutuhkan kehadiran Sultan maka hal itu dapat diwakilkan dalam pengiriman persembahan kepada pihak Sultan di Barus.
“Sekarangpun hamba perbuatlah akan wakil saya di sini sementaranya hamba belum balik, kiranya jikalau tidak, hamba berbalik kemari melainkan turut oleh tuan hamba ke negeri Barus. Jikalau hamba tidak ada melainkan anak cucu hamba banyak di Barus ke sanalah tuan-tuan menghantar 38 persembahan.”
Sultan kemudian membentuk dua lembaga perwakilan di Sagala Limbong. Pertama bernama Raja Jonggi Menawar (disebut juga Manoar yang berasal dari kata Munawwar dari bahasa Arab, sebuah nama yang lazim digunakan yang berarti yang menyinari atau yang menerangi). Lembaga kedua bernama Raja Bunga-bunga. Melalui kedua raja inilah, Sultan memerintah daerah Sagala Limbong dan penghantaran persembahan ke Barus dilakukan.
Perjanjian yang dibuat antar pemuka adat saat itu bahwa
“Dalam satu tahun melainkan satu kali raja kedua itu mengantar persembahan kuda satu akan tetapi apabila raja kedua itu membawa kuda persembahan melainkan merurut membawa kambing jantan gadang seekor pemberi kepada Tuanku Mudik, karena kami sudah sebuah kota.” Demikian bunyi perjanjian tersebut. Tuanku Mudik adalah Sultan-sultan Pardosi yang memerintah di hulu. Perjanjian tersebut selain bernilai adat tapi juga bernilai politik karena hal tersebut mengikat kedaulatan tiap-tiap huta.
Maka perjalanan pulang Sultan beserta para pejabat dan hulubalang kerajaan dilakukan melalui sebuah negeri yang bernama Lintong. Raja Lintong pun menerima perjanjian yang dibuat di Sagala Limbong tersebut.
Acara pemberian persembahan tersebut dilakukan setiap tahun. Dimulai dengan datangnya Raja Jonggi Manoar melalui negeri Lintong. Negeri Lintong juga akan ikut memberikan persembahan dan perwakilannya ikut mengantar. Begitu juga daerah-daerah yang dilalui yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Barus.
Diantaranya adalah negeri Sihotang, Negeri Siringo-ringo, Negeri Manullang, Negeri Rambe (Pakkat).
Beberapa daerah yang rajanya diangkat oleh Sultan di Barus juga melakukan persembahan. Diantaranya Negeri Panggarutan, Negeri Dairi, Negeri Tombah, Negeri Tukka, Negeri Gomburan. Semua raja-raja yang disebut terakhir ini diangkat atas persetujuan Kesultanan Barus.
Kemudian semua persembahan tersebut dikumpulkan di istana Raja Tuktung. Dan dalam adatnya Raja Jonggi Manoar akan membeli persalin kain kepada Raja Tuktung. Raja Tuktung adalah kerabat Kesultanan Barus yang istananya berada dalam perbatasan wilayah Barus. Kedudukannya sangat dihormati selain sebagai kerabat Kesultanan tapi juga perjalanan menuju Barus harus melalui daerah kekuasaannya.
Setelah memberikan penghormatan kepada Raja Tuktung, maka perjalanan ke wilayah Kesultanan Baruspun dilakukan melalui Pangarabuan terus menuju istana Sultan.
Upacara tersebut selalu dipimpin oleh Raja Jonggi Manoar. Kebiasaan ini bahkan sudah terlembagakan dalam adat. Diyakini tujuan utamanya dahulu adalah motif politik dan ekonomi. Motif politiknya adalah bahwa pihak Kesultanan Barus sangat membutuhkan dukungan politik dan moral kepada kelangsungan Kesultanan. Di lain pihak, kehadiran perwakilan Kesultanan di Toba sangat dibutuhkan sebagai pemimpin dan penengah di tengah-tengah masyarakat Toba yang terpecah-pecah dan selalu bertikai. Kehadiran mereka juga merupakan persyaratan adat dengan keharusan menghadirkan perwakilan dari keturunan Raja Uti agar upacara adat dan agama menjadi sah. Raja Uti sendiri merupakan tokoh spiritual dalam masyarakat Batak. Khusunya bagi kalangan Parbaringin dan Parmalim.
Motif ekonominya adalah untuk menjamin kesinambungan hubungan dagang antar dua komunitas Batak. Daerah Toba merupakan daerah pertanian yang menghasilkan banyak komoditas dagang. Sementara itu, daerah Batak Pesisir merupakan pelabuhan tempat keluarnya komoditas tersebut ke pedagang-pedagang asing.
Lembaga Jonggi Manoar yang dibentuk oleh Sultan Marah Laut merupakan media penghubung antar peradaban Batak di dua kerajaan; Kesultanan Batak di Barus dan Kerajaan Batak Sisingamangaraja.
Penulis sejarah Batak kemudian mengenal Jonggi Manoar sebagai sebuah lembaga perlengkapan adat. Lembaga Jonggi Manoar, menurut Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Komunitas Bambu, Jakarta 2004, Hal 226-228, merupakan tradisi penggambaran pendeta raja. Yang mempunyai hubungan istimewa dengan Raja Uti/Barus.
“Dikatakan bahwa Jonggi Manoar memperoleh kesaktiannya dari Raja Uti lewat pelaksanaan ‘somba’ sebagai ritual berkala…”
“Bahkan diklaim bahwa di masa lalu semua wilayah Toba mengirim sombanya kepada Raja Uti harus lewat Jonggi Manoar…”
“Menjadi tradisi bahwa setiap Sisingamangaraja baru, selain di upacara-upacara khusus di gelanggang berbagai onan wilayah Toba, utusan Raja Barus selalu diundang hadir sebagai kesempatan mengenalnya, yaitu sebagai pada upacara ‘perkenalan’ Sisingamangaraja di daerah Humbang.”
Namun dengan punahnya kesultanan Barus maka berakhir pula tradisi dan kebiasaan tersebut di atas.
32. Tuanku Raja Kecil Pardosi
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
33. SM Raja III, Raja Itubungna, 1595-1627 M
34. Sultan Daeng Pardosi
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
35. Sisingamangaraja IV (1627-1667)
Dengan nama Tuan Sorimangaraja
36. Sultan Yusuf Pasaribu
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus
37. Sisingamangaraja V (1667-1730)
Dengan nama aseli Raja Pallongos.
38. Sultan Adil Pasaribu
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus
39. Tuanku Dorong Hutagalung
Pendiri Kerajaan Siboga.
40. Sisingamangaraja VI (1730-1751)
Bernama Raja Pangolbuk memerintah di Bakkara
41. Raja Simorang
Pada tahun 1736-1740, Raja Simorang dari Tapanuli memimpin penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Kolang, mengusir VOC, perusahaan Belanda yang banyak meresahkan (monopoli) perekonomian setempat . Mereka dipimpin oleh Raja Simorang dari Tapanuli dan Raja Bukit.
42. Sultan Marah Tulang Pardosi
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
43. Sisingamangaraja VII,
Dengan nama Ompu Tuan Lumbut memerintah antara tahun 1751-1771
44. Raja Junjungan Tanjung (1757)
Raja Junjungan Tanjung berasal dari Sipultak, Humbang, Toba. Dia berkuasa di Kerajaan Sorkam pada tahun 1757 Masehi. Sebagai sebuah daerah yang otonom dari pengaruh Kesultanan Barus, Sorkam selalu berada dalam bayang-bayang hegemoni raja-raja Barus.
45. Sultan Munawarsyah Pardosi
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
46. Sisingamangaraja VIII (1771-1788)
Dengan nama Ompu Sotaronggal bergelar Raja Bukit memerintah pada tahun 1771-1788
47. Raja Maiput Tanjung Gelar Datuk Tukang (1778-1792)
Bagian dari Dinasti Tanjung.
48. Sultan Marah Pangkat Pardosi (1170 H)
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini lihat di Kumpulan Naskah Barus, dijilid dan disimpan di Bagian Naskah Museum Nasional Jakarta dengan No. ML 16. Dalam Katalogus van Ronkel naskah ini yang disebut Bat. Gen. 162, dikatakan berjudul “Asal Toeroenan Radja Barus”. Seksi Jawi pertama berjudul “Sarakatah Surat Catera Asal Keturunan Raja Dalam Negeri Barus.
49. Tuanku Sultan Pasaribu
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus
50. Sultan Raja Kecil Pasaribu
Lebih lengkapnya biografi tokoh ini, lihat Sejarah Tuanku Badan (Tambo Barus Hilir) yang menceritakan silsilah kerajaan Hatorusan di Barus.(Bersambung.....)
itulah 100 Tokoh-Tokoh Batak (Part 1)
Bersambung Ke : Daftar 100 Tokoh Batak Part 2
[sumber;http://togapardede.wordpress.com]