Kamis, 27 Desember 2012

Eksploitasi Bayi Pengemis, Dari Sewa Hingga Jual Bayi

Eksploitasi Bayi Pengemis, Dari Sewa Bayi Hingga Jual Bayi Demi keping Recehan

Inilah pengakuan Eva, gadis pengemis dan joki three in one di sekitar Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Anda boleh percaya bisa tidak. Selain sewa bayi antar pengemis dan joki berbiaya Rp 30 ribu per dua jam, rupanya ada sejumlah pengemis rela menjual bayi mereka kepada orang lain.
 jual Beli Bayi
Ceritanya dua tahun lalu, ketika kawannya bernama Ajeng melahirkan. Ajeng saban hari bekerja sebagai pengemis dan joki. Eva kaget karena bayi itu dijual seharga Rp 350 ribu kepada penjual kopi keliling. Tidak ada yang menegur atau memarahi. Itu urusan pribadi dan menjadi rahasia di antara mereka saja.

Selang beberapa pekan, dia kembali hamil dan melahirkan pada akhir 2011. “Nah, bayinya dijual lagi seharga Rp 200 ribu kepada joki lain. Emang goblok itu perempuan,” kata Eva kepada merdeka.com Sabtu lalu.

Cerita Ajeng menjual bayi dibenarkan Neneng, kawan Eva berjualan plastik dan mengemis di Masjid Istiqlal. Hampir semua pengemis tahu dengan kisah itu. Setelah menjual anak kedua, dia menghilang tidak kembali lagi ke sana. “Itu sudah biasa. Banyak kok orang menemukan bayi di tong-tong sampah,” tuturnya.

Kalau penemunya pengemis jahat, kata dia, bayi bakal dimanfaatkan, diajak mengemis ke mana-mana. Jika menjadi rezeki pengasong, bakal diajak berjualan keliling di pinggir-pinggir jalan.

Kasus bejat penganiayaan bayi agaknya memang sering terjadi di negeri ini. Mulai sewa Bayi, jual beli bayi, pembunuhan, hingga pembuangan bayi. Misalnya, penemuan mayat bayi tersangkut sampah di bantaran Kali Ciliwung, Bukit Duri Tanjakan I RT 10 RW 12, Tebet, Jakarta Selatan, September lalu.

Sebulan kemudian, bayi perempuan berusia dua bulan menggegerkan Warga RT 04/ RW 03, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Bayi malang itu ditemukan di belakang warung, samping apotek Shangrila. Penemunya adalah penjual nasi uduk.

Selang sepekan, seorang pemulung menemukan mayat bayi laki-laki di tong sampah di Jalan Haji Saidi RT 007 RW 005 nomor 49, Kelurahan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kepolisian sektor setempat menduga bayi itu hasil praktik aborsi karena hamil di luar nikah.

Dalam keluarga miskin, anak-anak selalu menjadi korban pertama. Jual beli hingga penyewaan bayi untuk mengemis adalah sikap sadar untuk mengundang keibaan negara yang tidak pernah peduli dan masyarakat kelewat acuh.

Eva menuturkan jual beli dan sewa bayi sudah menjadi pengetahuan umum dalam komunitas mereka. Jika tidak begitu, mereka tidak akan mendapatkan uang lebih. Menurut Eva, hanya dengan mengundang iba, orang-orang akan memberi uang lebih.

Menurut Asrorun Ni’am Sholeh, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), butuh peran masyarakat luas untuk melindungi anak ini. “Memang negara bertanggung jawab, namun dengan segala kekurangnnya, masyarakat bisa ikut andil di dalamnya,” kata dia menegaskan.

Anda mungkin pernah melihat ibu-ibu menggendong bayi sambil mengemis di perempatan lampu lalu lintas Kota Jakarta. Atau menyaksikan perempuan-perempuan muda membopong bayi di pinggir jalan sambil berebut menjadi joki three in one saban pagi dan sore. Bisa jadi, bayi mereka gendong bukan anak sendiri, melainkan bayi sewaan.

Sewa-menyewa bayi hanya dilakukan dengan teman akrab atau sudah saling kenal. Misalnya sesama pengemis, tetangga, atau sesama joki. Sewa dilakukan bila pemilik anak capek, sedangkan si penyewa belum mendapat penghasilan besar. Harga sewa juga tidak pasti, rata-rata dua jam Rp 30 ribu, plus memberi makan dan susu.

Kadang ada yang cuma memberi Rp 10 ribu, tergantung hasil uang didapat penyewa. Umur bayi tidak mempengaruhi harga. “Kadang masih bayi dipinjam, orang tuanya tidak masalah. Tetapi ada juga yang sudah gede, umur dua tahun, tiga tahun.

Eva memiliki empat anak dari suami pertama. Sedangkan kini dia masih mengandung anak kelima, buah pernikahannya dengan suami kedua. Anak sulung sudah kelas 6 sekolah dasar dan adiknya duduk di bangku taman kanak-kanak. Sedangkan anak ketiga dan keempat diajak mengemis di depan masjid seraya menjadi joki three in one.

Perempuan 32 tahun ini tinggal di rumah kontrakan daerah Kampung Rawa. Suaminya penjual nasi goreng. Tiga kali sepekan – Senin, Jumat, dan Sabtu – Eva bekerja sebagai pengemis dan joki three in one. Namun kepada keluarga dan tetangga, dia mengaku bekerja sebagai penjual kantong plastik di depan masjid. Anak pertama kelas 6 Sekolah Dasar, anak ke dua duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Sedangkan anak ke tiga dan empat diajak mengemis di depan masjid, sambil menjadi joki three in one.

Apakah Eva pernah menyewakan anak? Dia menjawab tidak. “Kok menjadi ramai begitu beritanya. Ya Alloah, saya jadi ketuduh ini, padahal ini anak saya sendiri, brojol dari perut saya sendiri.”

Sriatun, pemilik kedai kopi di depan Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, membenarkan kabar itu. Konon, di kawasan Jatinegara memang ada pengemis-pengemis melakukan praktik itu. Namun menurut dia, sulit sekali dilacak, sebab bayi hanya boleh disewa oleh orang dekat. “Saya ini dulu pernah jadi gembel. Dulu yang seperti itu ada, sekarang saya tidak tahu.”

Dia melanjutkan, selain Jatinegara, di Kebon Singkong, Kecamatan Klender, Jakarta Timur, juga banyak menyewakan bayi. Kampung itu memang dikenal sebagai kampung pengemis. Jangankan orang dewasa, kakek-kakek, nenek-nenek, sampai anak-anak banyak menjadi pengemis. Mereka sengaja disuruh seperti itu oleh orang tua mereka.

“Saya pernah tinggal di sana. Saya tahu sendiri tetangga saya seperti itu,” ujar Sri. Selain membuka kedai kopi, perempuan 40 tahun ini memelihara beberapa anak asuh, mulai pengamen, hingga banci. Dia mengaku memiliki delapan anak kandung.

Tiga anak pertama sudah menikah. Sedangkan lima lagi masih anak-anak. “Kelimanya sudah bisa keluyuran, sudah hafal jalan. Saya biarkan saja mereka, dilarang tidak bisa. Saya tidak bisa terus mengawasi, pokoknya setelah bermain pulang.”

Sore itu, ketika arus sedang macet, Sumirah berjalan menyusuri celah antrean mobil di perempatan lampu lintas di Jalan Otto Iskandardinata, Jakarta Timur. Tangan kanannya menjulur-julurkan gelas plastik, mengemis uang kepada para pengendara dan tangan kirinya mendekap bocah berumur dua tahun di gendongan.

Sumirah, ibu 30 tahun beranak lima. Bocah digendongan itu anak bungsunya. Belum genap sejam dia memulung keping recehan di simpang itu. Ditemui merdeka.com, dia kikuk bicara. “Ini anak saya sendiri, kadang saya ajak di sini, kadang di Pasar Buaran. Sudah ya, saya kerja dulu,” kata dia dengan mata celingukan karena didatangi dua lelaki berkulit hitam. Perempuan itu lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Di simpang Matraman, Jakarta Pusat, Setiowati juga melakukan hal mirip. Menggendong bocah perempuan berusia dua tahun, Wati, demikian dia mengenalkan diri, turun dari metromini lalu menyusuri trotoar Jalan Matraman. Pekerjaanya mengemis, masuk ke perkantoran meminta sedekah recehan.

Tiga kali sepekan dia mengajak Rani, nama bocah di gendonganya tadi, mengemis di kawasan pertokoan Kelapa Gading, Jakarta Utara, lalu naik angkot dan metromini ke perkantoran sepanjang Jalan Matraman. “Tapi tidak selalu ke sini, kadang ke kawasan lain,” tutur perempuan kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, ini.

Wati sengaja mengajak anak bungsunya itu mencari uang, membantu perekonomian keluarga. Penghasilan suaminya minim karena cuma bekerja sebagai penjahit di Kelapa Gading, Jakarta Timur. Padahal, dia harus menghidupi tiga anaknya. Anak sulungnya kelas tiga SMP, adiknya kelas enam SD.

“Kalau saya tinggal di rumah kasihan, tidak ada yang menjaga. Kasihan juga, tapi mau bagaimana lagi,” kata dia berdalih. Apakah ada yang memaksa?”Tidak ada,” ucapnya lalu berpamitan pergi.

Menurut Asrorun Ni’am Sholeh, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ada dua penyebab anak-anak berkeliaran di jalanan sebagai pengemis dan pengamen, yakni masalah ekonomi dan memang sengaja dieksploitasi dengan dimobilisasi. Menurut dia, himpitan ekonomi keluarga kadang memaksa orang tua menjadikan bocah-bocah itu sebagai pengemis jalanan.

Sedangkan faktor dieksploitasi, cenderung dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Mereka memaksa anak-anak itu menjadi pengemis, kemudian hasilnya disetorkan kepada mereka. Ni’am menilai, dari faktor utama itu merupakan kesalahan orang tua.

Sedangkan untuk kasus eksploitasi, orang tua kadang juga teledor ketika mengasuh anak hingga anaknya bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Celakanya, masyarakat sekitar kadang tidak peduli. “Masyarakat kita kadang memang cuek, meski sudah tahu dan ada di lingkungan sekitarnya,” ujar Ni’am.(red : Eva, bukan nama sebenarnya)

Itulah Eksploitasi Bayi Pengemis, Mulai Dari Sewa Bayi Hingga Jual Bayi Demi keping Recehan
[sumber;http://www.undergroundtauhid.com]
◄ Newer Post Older Post ►