Konon kesenian baik audio, visual, atau audio-visual, dipertunjukkan sebagai persembahan kepada sesuatu yang sakral dan transendental. Seiring dengan kehendak manusia yang selalu dinamis dan kebutuhan ekonimi yang mendesak, kesenian berangsur-angsur berubah nilai; yang semua suci menjadi profan. Kesenian yang dulu hanya digelar di depan candi di tengah api pemujaan dan pengisahan sakral tentang asal-usul leluhur, mulai dipertontonkan di pasar, jalanan, dan di tempat-tempat umum lain. Pertunjukan wayang yang semula diadakan, salah satunya, di wilayah suci saat penetapan sima (tanah yang dibebas pajakkan oleh kerajaan) mulai dibawakan pula di tempat yang sarat kehirukpikukan duniawi, demi pemenuhan akan kebutuhan ekonomi
Lukisan dua penari ronggeng dengan orkestra gamelan (1854). (foto Oleh:coffee-cat.net) |
Penari, Pelawak, hingga Tukang Akrobat
Adanya pertunjukan kesenian yang diselenggarakan di pasar dapat kita lihat pada Prasasti Poh Pitu yang berangka tahun 827 Saka (905 M). Prasasti ini menyebutkan adanya tiga orang gadis bernama si Karigna, si Dharini, dan si Rumpuk yang mempertontonkan tari-tarian keliling dari desa satu ke desa lain, diiringi dua pengiringnya yang bernama si Jaway dan si Baryyut. Ada pun para pemain pertunjukan keliling disebut menmen.
Mengenai tarian ini, berdasarkan data prasasti yang tersedia, di Jawa pada abad ke-8 hingga abad pertengahan dikenal dua jenis tarian: yakni manigel, yaitu tarian yang tidak pemakai topeng; dan manapal, mangrakat, atau matapukan, yakni tarian yang memakai topeng. Kedua jenis tarian ini kadang-kadang ditarikan bersama-sama, bergantung kepada ceritanya. Diduga, jenis tarian berdasarkan ceritanya dibagi dua pula, yakni wayang wwang (wayang orang) yang mengisahkan cerita-cerita dari Ramayana dan Mahabharata, dan raket untuk tarian yang mengambil cerita lain (yang pada masa selanjutnya disebut gambuh). Karena prasasti selalu menyebutkan tuha/juru ning manapal dan tuha/juru ning mangrakat, yang berarti pemimpin penari topeng, selalu ditulis di bawah tuhan ni kanayakan, De Casparis menyimpulkan bahwa pemimpin rombongan tari itu mengabdi kepada salah seorang rakai atau rakryan, yakni pejabat pembantu raja.
Selain dalam prasasti, petunjuk-petunjuk mengenai keberadaan kesenian jalanan lain pada masa kuno terdapat dalam kitab Sumanasantaka karya Mpu Monaguna yang hidup semasa pemerintahan Raja Warsajaya yang memerintah Kadiri, sekitar abad ke-11, yang memuat istilah mabanyol/abanyol dan mamirus/pirus yang mengacu kepada lawakan atau profesi pelawak. Dari kitab ini kita bisa mengetahui bahwa pirus dan abanyol mengandur unsur kelucuan namun tidak sama dalam mengekspresikan kelucuan mereka. Abanyol mengekspresikan kelucuannya melalui gerakan-gerakan tubuh (gesture) yang lucu, sementara pirus melalui pemakaian kata-kata lucu dari para pemainnya.
Pada salah satu panel relief Candi Borobudur terdapat adegan seorang penari yang menikmati tariannya sendiri dengan gerak-gerik yang lucu, dikelilingi dua pemusik alat tiup dan tiga orang penonton. Seorang ahli menilai bahwa tarian yang terpahat dalam relief ini adalah salah satu jenis pertunjukan yang mempertontonkan unsur kelucuan melalui ekspresi gerakan-gerakan yang mengundang tawa.
Pertunjukan kesenian keliling sebagai hiburan ini tidak hanya berupa tarian dan lawakan, namun juga berupa akrobat seperti yang diperlihatkan salah satu relief Candi Borobudur. Relief tersebut memperlihatkan seseorang meletakkan sebuah benda panjang dan tipis seperti papan di atas dagunya, sementara sekelompok orang mengelilinginya menonton berdesakan dengan duduk atau berdiri di bawah pohon, bahkan salah seorang membawa anak yang diangkatnya agak ke atas agar bisa menyaksikan pertunjukan dengan jelas.
Dikenakan Pajak
Para seniman-seniwati pada masa Mataram Kuno yang mengadakan pertunjukan keliling dan memperoleh uang dari para penontonnya, sebagian diwajibkan membayar pajak. Ini dapat disimpulkan dari data prasasti yang membedakan seniman-seniwati yang membayar pajak dan yang dibayar oleh hasil pajak. Para seniman-seniwati yang disebutkan dalam daftar mangilala drabya haji seperti tukang kenong, tukang gendang, karena merupakan seniman-seniwati yang bekerja di istana raja, dibayar oleh raja.
Sementara itu, seperti yang diberitakan oleh Prasasti Cane tahun 943 S (1021 M), Prasasti Patakan dari masa Airlangga, dan Prasasti Turun Hyang tahun 958 S (1036 M), seniman-seniwati yang memiliki penghasilan dari keahliannya diwajibkan membayar pajak. Prasasti-prasasti ini menyebutkan pula bahwa dalang (awayang atau aringgit) termasuk salah satu warga kilalan, yakni penduduk yang dikenai kewajiban membayar pajak. Berita dalam prasasti-prasasti ini menggambarkan bahwa telah ada seniman-seniwati profesional pada masa Mataram Kuno yang berpenghasilan dari profesinya.
Prasasti Mantyasih yang bertahun 828 S (907 M) menyebutkan sejumlah seniman-seniwati profesional yang mendapatkan upah untuk keahliannya. Disebutkan bahwa pesinden bernama si Manajut, penari topeng bernama si Barubuh, pemimpin tukang kendang bernama si Nanja, tukang gending bernama si Krsni, rawanahasta (?) bernama si Mandal, semuanya diberi bebed satu helai dan perak mas 8 masa masing-masing.
Berita mengenai pemberian upah kepada para pekerja seni profesional ditemukan pula pada Prasasti Alasantan bertahun 861 S (939 M). Disebutkan bahwa yang menyabung ayam, menanggap penari topeng bernama Kampallan yang diberi upah 2 masa, pelawak bernama Paninanin diberi upah kain 1 helai dan si Taratakan diberi upah 2 kupang, pesinden bernama si Wahu diberi upah 2 masa dan 1 helai bebed.
Dapat kita bayangkan bahwa seniman-seniwati istana pada waktu-waktu tertentu “turun ke jalan” pula untuk mempertunjukkan kebolehan mereka di desa-desa atas perintah kerajaan, guna menegakkan wibawa raja sanjungan mereka dengan menyebarkan cerita-cerita lisan tentang keagungan raja sebagai tujuan politis. Berbeda dengan seniman-seniwati istana, para seniman-seniwati jalanan mengadakan pertunjukan keliling di pasar dan desa lebih dilatari alasan ekonomi, yakni mencari nafkah dan menghidupi keluarga. (Yusandi)
[sumber;wacananusantara.org]