Bahkan, di tengah kesulitan dan resesi yang menerjang seluruh dunia kala itu, Indonesia malah dianggap sebagai negara kuat oleh Bank Dunia. Mampu mencapai laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) rata-rata 7,6 persen per tahun.
Meski dianggap sukses memimpin Indonesia, ada juga kelompok oposisi yang mengecilkan arti dan hasil pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintahan Orde Baru kala itu. Karena itu, Ali Moertopo yang saat itu menjabat sebagai Menteri Penerangan mengambil inisiatif sendiri.
Ia merencanakan untuk memberikan penghargaan kepada Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Kemudian, pada 12 Maret 1981 Ali Moertopo mengumpulkan bawahannya dalam rapat kerja khusus Departemen Penerangan. Rapat itu membahas secara khusus pemberian gelar kepada Soeharto.
Setelah rapat beres, hasil rapat itu kemudian disampaikan kepada Soeharto. Ia kemudian menghadap dan berharap Soeharto mau menerima penghargaan sebagai Bapak Pembangunan. Mendengar laporan dari menterinya, Soeharto awalnya tak menggubris.
Meski mendapat penolakan, Ali Moertopo tidak kehabisan akal. Dua bulan berikutnya, saat Ali membuka pameran pembangunan di Kebayoran Lama, pada kesempatan itu, dia memanfaatkan waktu secara efektif untuk mengembuskan isu tentang Bapak Pembangunan.
Pada mulanya, masyarakat menanggapinya biasa saja. Seiring bergulirnya waktu, isu itu kemudian berubah menjadi super isu yang menyedot banyak perhatian dari berbagai kalangan.
Tingkat elite yang duduk di pemerintahan umpamanya, mereka malah ragu apakah Soeharto mau menerima penghargaan tersebut atau justru sebaliknya. Sebab, Soeharto dianggap tidak suka sanjungan dan penghargaan. Hal itu terlihat saat ada rencana untuk memberikan gelar Doctor Honoris Causa dari sebuah Universitas di luar negeri. Pemberian gelar itu juga ditolak oleh Soeharto. Demikian cerita soal Soeharto seperti yang tertulis dalam buku "Pak Harto Pandangan dan Harapannya" oleh Abdul Gafur.
Meski Soeharto tak merespons mengenai usulan pemberian gelar itu, desakan mulai muncul. Desakan mulai datang dari Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Mereka menyampaikan kembali agar Soeharto berkenan menerima penghargaan tersebut.
Gayung pun bersambut. Soeharto menyatakan dengan halus: "Penghargaan rakyat itu bagi saya adalah penghargaan terhadap keputusan rakyat sendiri yang telah berhasil memilih seorang pemimpin yang dapat melaksanakan tekad rakyat untuk membangun," ujar Soeharto kala itu.
Pro dan kontra sempat mewarnai pemberian gelar Bapak Pembangunan ini. Untuk itu, Wakil Ketua DPR Mashuri Saleh ingin usulan pemberian gelar itu direm. Alasannya, ia khawatir akan terjadi pengkultus-individuan terhadap Soeharto sama seperti halnya dengan Bung Karno yang dipuja-puja secara berlebihan dalam bentuk berbagai penghargaan.
Akan tetapi, pandangan Mashuri ini tenggelam oleh hingar bingar masyarakat yang mengelu-elukan Soeharto agar diberikan gelar kehormatan Bapak Pembangunan. Banyak pula tokoh yang mendukung rencana pemberian gelar tersebut, seperti Buya Hamka. Mereka beralasan, dalam era pembangunan di bawah kepemimpinan Soeharto pembangunan ini baru dimulai."Malah kita baru mengenal apa arti pembangunan itu," katanya.
Karena desakan begitu kuat, melalui Tap MPR No V tahun 1983, MPR mengangkat Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Republik Indonesia.
Sumber : Merdeka