Benarkah Kepahlawanan RA Kartini Karena Campur Tangan Belanda ?
Sosok Kartini sebagai ikon pejuang  wanita Indonesia dinilai ”berbau” campur tangan kolonialis. Tujuannya  adalah membentuk imej, bahwa perempuan berpemikiran Baratlah yang cocok  dijadikan panutan. Apalagi, alam pemikiran Kartini pun banyak  dipengaruhi oleh Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan Yahudi yang pada  masa lalu sangat kuat pengaruhnya di Nusantara.
Pemerintah menetapkan Raden Ajeng  Kartini sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI,  No.108 Tahun 1964. Kartini dianggap pahlawan karena kontribusinya dalam  menyampaikan gagasan-gagasan tentang kemajuan perempuan. Meskipun  diketahui, bahwa gagasan-gagasan Kartini ternyata sangat dipengaruhi  oleh orang-orang sosialis-feminis, seperti Estella Zeehandelaar. Selain  itu, alam pemikiran Kartini juga sangat bercorak Theosofi, sebuah  organisasi kebatinan Yahudi yang keberadaanya sempat dilarang oleh  pemerintah RI.
Dalam buku ”Gerakan Theosofi di Indonesia”,  penulis menyimpulkan bahwa ada upaya-upaya, baik langsung ataupun tidak  langsung, dari elit-elit kolonial yang berusaha menonjolkan Kartini  sebagai sosok kemajuan perempuan Indonesia. Upaya ini bisa saja mengarah  kepada ”rekayasa” sejarah yang dilakukan oleh kolonialis. Ini mengingat  bahwa Kartini sangat dekat dengan elit-elit tersebut, seperti J.H  Abendanon, Snouck Hurgronje, H.H van Koll, dan lain-lain. Selain itu,  elit kolonial ketika itu yang kebanyakan menganut paham humanisme, paham  yang dipasarkan oleh Theosofi dan Freemason, mempunyai kepentingan  untuk menjadikan budaya Barat menyatu dengan budaya Timur. Filsafat  Barat yang liberal, sosialis, dan sekular, dipropagandakan agar bisa  diterima masyarakat pribumi ketika itu.
Karena itu, penjajah Belanda kemudian  menggagas Gerakan Politik Etis, yaitu sebuah gerakan politik kolonialis  yang diantaranya mengusung kebijakan asimililasi, unifikasi, dan  asosiasi terhadap masyarakat pribumi. Mereka menyusun sebuah rencana  besar agar warga pribumi bisa terpengaruh dengan berbagai kebijakan  pemerintah kolonial. Asimilasi dan asosiasi diartikan sebagai kebijakan  mencampur dan mengganti kebudayaan pribumi dengan kebudayaan penjajah  Belanda. Sedangkan unifikasi adalah penyatuan seluruh sistem yang  berkembang dalam masyarakat pribumi dan sistem kolonial, yang meliputi  pemerintahan, pendidikan, dan sistem hukum.
Mereka yang tergabung dalam Gerakan  Politik Etis inilah yang kemudian banyak berinteraksi dengan Kartini,  seperti tercermin dalam surat-suratnya. Diantaranya adalah J.H Abendanon  dan istrinya Ny Abendanon Mandri,  seorang humanis yang  direkomendasikan oleh Snouck Hurgronje untuk mendekati Kartini  bersaudara. Tokoh lain yang aktif melakukan pendekatan ala Gerakan  Politik Etis dan disebut namanya dalam surat-surat Kartini adalah H.H  Van Kol (Orang yang berwenang dalam soal jajahan untuk Partai Sosial  Demokrat di Belanda), Conrad Theodore van Daventer (Anggota Partai  Radikal Demokrat Belanda), K.F Holle (Seorang Humanis), dan Snouck  Hurgronye (Orientalis yang juga menjabat sebagai Penasehat Pemerintahan  Hindia Belanda).
Kedekatan Kartini dengan orang-orang  tersebut tentu berlangsung saling mempengaruhi. Apalagi, Belanda  mempunyai kepentingan untuk merekrut dan mendidik anak-anak priyai Jawa.  Banyak dari anak-anak pribumi yang dididik dan diberi beasiswa untuk  studi ke negeri Belanda pada masa itu. Diantara lembaga beasiswa yang  aktif menjaring anak-anak pribumi untuk disekolah ke negeri Belanda  adalah ”Dienaren van Indie”, sebuah lembaga beasiswa (studie fonds) yang didirikan oleh kelompok Vrijmetselaarij (Freemason) di Hindia Belanda. Dienaren van Indie  sendiri artinya adalah Abdi Hindia, sehingga diharapkan mereka yang  memperoleh beasiswa dan dididik dengan pendidikan ala Barat, bisa  menjadi abdi kolonial atau setidaknya partner setia kolonialis.
Kembali ke soal Kartini. Pada masanya,  Kartini tidaklah begitu dikenal, kecuali oleh segelintir elit  Belanda.Dibandingkan tokoh-tokoh perempuan lain, kiprah Kartini hanya  dalam bentuk wacana-wacana, tidak dalam bentuk kongkret. Ketika C. Th  van Daventer, anggota Partai Radikal Demokrat, mendirikan Komite Kartini  Fonds pada 27 Juni 1913, barulah ide-ide Kartini diperkenalkan kepada  orang-orang Belanda. Selain itu, interaksi dengan Van Kol yang juga  anggota parlemen Belanda, yang meminta Kartini menulis artikel tentang  perempuan untuk dibaca orang-orang Belanda, juga makin membuat Kartini  dikenal di Belanda.Termasuk juga dengan menerbitkan buku Door Duisternis tot Licht pada 1911 yang diterjemahkan oleh Armijn Pane, seorang sastrawan penganut Theosofi, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Pada tahun yang sama, 24 Desember 1911,  Raden Mas Noto Soeroto yang merupakan keturunan Paku Alam, menawarkan  kepada organisasi pelajar Indonesia di Nederland (Indische Vereeniging  yang didirikan pada 1908) agar gagasan Kartini dijadikan pedoman gerak  dan langkah organisasi serta dijadikan acuan pergerakan nasional.  Keluarga Paku Alam pada masa itu dikenal dekat dengan jaringan Freemason  (Vrijmetselarij) atau dalam bahasa orang Jawa disebut ”Gerakan  Kemasonan”. Bahkan, elit Paku Alam pun banyak yang menjadi anggota  organisasi ini.
Mengapa sosok Kartini dijadikan ikon  perjuangan perempuan, bahkan dijadikan pahlawan Nasional? Melihat  kedekatannya dengan elit-elit kolonial, apakah ada campur tangan  kolonialis dalam hal ini? Apakah ada rekayasa sejarah?
Prof Harsja W Bachtiar dalam artikel berjudul ”Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”  yang ditulis dalam rangka memperingati  100 tahun Kartini, menyatakan  bahwa kita, bangsa Indonesia, menjadikan Kartini sebagai lambang  emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Prof. Harsja melihat penokohan Kartini  sebagai sebuah rekayasa sejarah yang dibuat oleh orang Belanda untuk  ditampilkan ke depan sebagai perempuan pribumi yang menjadi inspirasi  bagi kemajuan perempuan Indonesia. Dengan kata lain, Kartini adalah  sosok yang diciptakan, ditampilkan sebagai ikon, karena kedekatannya  dengan elit Belanda dan pemikirannya yang banyak mengadopsi Barat.  Karena itu, Harsja menilai, sejarah harus jujur dan secara terbuka  melihat, jika memang ada orang-orang yang juga mempunyai peran penting  seperti Kartini, maka orang-orang tersebut juga layak mendapat  penghargaan serupa, tanpa menihilkan peran yang dilakukan oleh Kartini.
Dalam Majalah Tempo, 22 April  1989, Prof. Harsja kembali menegaskan, ”Kebanyakan wanita kita tidak  karena Kartini. Penonjolan Kartini sebagai tokoh pendidikan wanita,  waktu itu sesuai dengan politik etis Belanda,”ujarnya. Harsja menduga,  ada pengaruh pemikiran Stella Zeehandelaar, seorang perempuan sosialis  berdarah Yahudi, yang menjadi teman korespondensi Kartini.”Mungkin  Stella banyak memasukkan ide dengan mengirim pamflet atau buku kepada  Kartini,” tutur Harsja. Dengan penuh tanya, Harsja mengatakan,”Kenapa  surat-surat Stella tidak diterbitkan juga?” Harsja dengan tegas menilai,  yang menokohkan Kartini adalah orang-orang Belanda.
Soal sosok Kartini yang diduga menjadi  ”mitos dan rekayasa” yang diciptakan oleh kolonialis juga menjadi  perhatian sejarawan senior Taufik Abdullah. Taufik menulis,
”Tak banyak memang ”pahlawan” kita  resmi atau tidak resmi yang dapat menggugah keluarnya sejarah dari  selimut mitos yang mengitari dirinya. Sebagian besar dibiarkan aman  tenteram berdiam di alam mitos—mereka adalah ”pahlawan” dan selesai  masalahnya. R.A Kartini adalah pahlawan tanpa henti membiarkan dirinya  menjadi medan laga antara mitos dan sejarah. Pertanyaan selalu  dilontarkan kepada selimut makna yang menutupinya. Siapakah ia  sesungguhnya? Apakah ia hanya sekadar hasil rekayasa politik etis  pemerintah kolonial yang ingin menjalankan politik asosiasi?” (Kata Pengantar Taufik Abdullah dalam Th Sumarna, Agama dan Pergulatan Batin Kartini, hal.XV)
Interaksi Kartini dengan organisasi Oost en West  (Timur dan Barat) yang ditulis dalam surat-suratnya, meski tidak  disebutkan bahwa organisasi itu milik kelompok Theosofi, namun literatur  sejarah menyatakan bahwa Oost en West adalah organisasi milik Theosofi di Batavia yang juga menyelenggarakan lembaga pendidikan untuk guru bernama Goenoeng Sarie.  Kartini juga pernah berikirim surat menanyakan kabar keluarga Van Kol  di Fort de Kock (di daerah Agam, Bukit Tinggi, Sumatera Barat), sebuah  daerah yang juga berdiri Loji Theosofi.
Sebagai sekolah yang dikelola oleh para  Teosof, ajaran tentang kebatinan, sinkretisme atau sekarang lebih  populer dengan istilah pluralisme juga tentang pembentukan watak dan  kepribadian, lebih menonjol dalam pelajaran di sekolah-sekolah tersebut.  Sekolah lain yang didirikan di berbagai daerah oleh kelompok Theosofi  adalah Arjuna School, dengan muatan nilai-nilai pendidikan yang sama dengan Kartini School.
Kartini, seperti yang tersirat dalam  tulisan Prof Harsja W Bachtiar, adalah sosok yang diciptakan oleh  Belanda untuk menunjukan bahwa pemikiran Barat-lah yang menginspirasi  kemajuan perempuan di Indonesia. Atau setidaknya, bahwa proses  asimiliasi yang dilakukan kelompok humanis Belanda yang mengusung  Gerakan Politik Etis pada masa kolonial, telah sukses melahirkan sosok  yang Kartini yang kini dijadikan pahlawan dan diperingati hari  kelahirannya setiap tahun. Kita diarahkan oleh kolonial untuk mengakui  sosok yang ”terbaratkan” oleh paham humanisme sebagai idola.
Di negeri Belanda sendiri, untuk  mengenang Kartini, pemerintah setempat menjadikan Kartini sebagai nama  jalan di beberapa tempat. Di Utrecht ada Kartinistraat, yang merupakan  jalan utama di daerah itu. Di Venlo, Belanda Selatan, juga ada jalan R.A  Kartinistraat (Jalan R.A Kartini), dan terakhir di Amsterdam, juga ada  jalan yang mengatasnamakan Kartini ditulis secara lengkap: Raden Adjeng  Kartinistraat.
by: Artiwijaya * Penulis buku ”Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”, Jakarta: Al-Kautsar,  2010.
Semoga Menghibur dan Bermanfaat, 
Di Poskan Oleh : www.armhando.com . 
Berita Aneh,Unik,Lucu,Hot Terbaik dan Terbaru. 
[sumber;voa-islam.com]
