Kamis, 30 Agustus 2012

Ironi Pertumbuhan Ekonomi


Ironi Pertumbuhan Ekonomi
Restu Iska Anna P ;  Pemerhati Masalah Ekonomi; Tinggal di Balikpapan
SINAR HARAPAN, 29 Agustus 2012


Meski sudah empat tahun berlalu, peristiwa itu seperti baru kemarin. Ketika itu menjelang Lebaran, ribuan warga miskin berbondong-bondong mengantre zakat berupa pemberian uang dan sembako gratis.

Mengenaskan, 21 orang, rata-rata janda berusia 50–70 tahun, akhirnya tewas akibat terinjak-injak, ketika mengantre di dekat rumah H Syaichon di Pasuruan, 15 September 2008.

Sebagian orang mungkin mengidap amnesia, sehingga lupa dan tragedi itu nyaris terulang setiap kali menjelang Lebaran, seperti ditayangkan televisi.

Sungguh memprihatikan, setiap kali melihat tayangan warga miskin, mulai dari kakek-nenek hingga anak-anak yang digendong ibunya, berdesak-desakan berebut pembangian zakat atau sembako. Itulah potret buram kemiskinan.

Kaum miskin akan mencari cara untuk menyintas, apalagi jika ada pembagian sembako atau uang gratis.

Mereka rela berdesakan. Kita jangan buru-buru menyalahkan kaum miskin atau dermawan yang membagi zakat secara langsung. Siapa sih mau jadi miskin? Lalu siapa mau berbagi seperti H Syaichon? Memang soal cara pemberian zakat, seharusnya tidak lagi seperti itu.

Namun dalam hal kemiskinan, yang patut dipersalahkan sebenarnya bukan pemberi zakat, tetapi sistem ekonomi dan pengelolaan negara kita yang kian jauh dari amanat konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD1945.

Amanat konstitusi menyebutkan orang miskin dan telantar menjadi tanggung jawab negara, tetapi ternyata orang miskin tidak pernah merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi.

Dengan sistem ekonomi neoliberal semua hanya menguntungkan segelintir elite dan memiskinkan banyak wong cilik. Melambungnya harga BBM dan sembako jelang Lebaran sungguh kian mencekik leher para ibu yang penghasilan suaminya pas-pasan

Tanpa Pemerataan

Kaum miskin nyaris tidak kecipratan berkah pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah. Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik pada awal Agustus merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2012.

Sungguh kabar yang manis, ekonomi negeri kita tercatat tumbuh 6,4 persen dibandingkan periode yang sama 2011, yang 6,3 persen.

Apalagi, negara-negara tetangga malah mencatat penurunan. Malaysia tumbuh 4,7 persen (triwulan I), Singapura hanya tumbuh 1,9 persen (triwulan II), China merosot drastis menjadi tumbuh 7,6 persen, India hanya tumbuh 5,3 persen (triwulan I), bahkan Thailand mengalami stagnasi (pertumbuhan nol persen) pada triwulan I.

Pertumbuhan itu tentu bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk berbangga, seolah semua kebijakan pemerintah tidak ada cacatnya. Padahal, pertumbuhan itu tidak ada artinya bagi warga miskin. Jadi jangan pernah meminta kaum miskin untuk memahami angka-angka pertumbuhan ekonomi itu.

Menurut Bank Dunia, separo penduduk negri ini sudah masuk kategori miskin, mengingat standar hidup mereka kurang dari US$ 2 per hari. Ancaman krisis utang Eropa, juga pasti akan kian menyengsarakan kaum miskin.

Kaum miskin, khususnya para nelayan, petani, dan penganggur (termasuk penganggur terdidik) kini hanya bisa “nelangsa”. Masalahnya pertumbuhan ekonomi kita tidak pernah disertai pemerataan. Selalu ada kesenjangan antara kota dan desa, antara Jawa luar Jawa, Indonesa bagian barat dan timur, antara yang berpunya dan miskin.

Selain tak bisa menikmati berkah pertumbuhan ekonomi, kaum miskin juga tidak pernah bisa menikmati berkah melimpahnya kekayaan alam negeri ini.

Menggeliatnya sektor tambang dan perkebunan sawit, misalnya, justru membawa kepiluan bagi warga di sekitar tambang dan perkebunan. Coba tanya warga Papua di dekat Freeport atau warga di dekat perkebunan sawit di Buol, yang kini menyeret Hartati Murdaya karena diduga menyuap Bupati Buol untuk perluasan kebun sawit.

Korporasi tambang atau perkebunan sawit kini bak monster raksasa yang malah membiarkan warga asli hidup di luar kandungan Ibu Pertiwi.

Warga sekitar tambang atau perkebunan tak bangga lagi pada tanah mereka. Martabat, peradaban, dan dan kearifan lokal tidak pernah diperhitungkan dalam kontrak tambang atau perkebunan. Mereka menjadi terasing di kampung halaman sendiri. Inilah ironi besar saat ini.

Wakil Rakyat dan Polisi

Ironi lainnya, para wakil rakyat yang seharusnya membela rakyat justru hanya gemar mendahulukan kepentingan egonya. Simak mereka yang bangga bergelar koruptor dengan gaya hidup serbamewah, sebagaimana ditunjukkan Nazarrudin.

Konon, sebelum ditangkap dan dipenjara, Nazarrudin gemar bergaya hidup supermewah. Sepatu Bally-nya berharga Rp 5 juta, langganan tukang jahitnya di Plaza Indonesia Rp 100 juta per dua bulan, ke mana-mana membawa uang Rp 20 juta dan US$ 10.000, dan sebagainya.

Meski bukan Nazarrudin, kini juga banyak wakil rakyat suka tampil klimis, tetapi jauh dari rakyat. Menyedihkan mereka yang menyebut diri wakil rakyat tidak memiliki kepekaan dan empati dengan rakyat, khususnya kaum miskin, yang mereka wakili.

Menjadi anggota dewan ternyata bukan untuk membawa perubahan, tetapi hanya melanjutkan paradigma lama, yakni menikmati betapa empuknya kursi kekuasaan. Sementara itu, para aparat hukum dan polisi yang seharusnya menegakkan keadilan justru tak pernah memihak pada keadilan dan kebenaran.

Korupsi simulator SIM atau kasus rekening gendut para jenderal polisi adalah bukti bahwa polisi bukan abdi masyarakat, tetapi abdi dari “perut” mereka sendiri. Menyedihkan bahwa orang-orang kecil yang berurusan dengan polisi malah akhirnya ditarget dan diharuskan setor uang dalam jumlah cukup besar, agar kasusnya tidak sampai dibawa ke pengadilan.

Simak pula orang kecil yang menncuri semangka, buah kakao, dan sebagainya, pasti akan segera divonis relatif berat. Di sisi lain, para koruptor kakap justru kerap divonis ringan dan mendapat remisi.

Kesenjangan sosial kini juga menjadi masalah. Yang kaya kian kaya dan yang miskin kian terjebak dalam kemiskinan kronis.

Padahal, kalau orang mau kembali ke ekonomi Pancasila, kesenjangan sosial yang amat lebar itu bisa dihindari. Ini karena ekonomi Pancasila mencoba membuat keseimbangan antara ekonomi neoliberal yang cenderung individualistik dengan ekonomi marxian yang bersemangat kolektif.

Jadi keadilan sosial harus jadi tolok ukur ke depan, agar masyarakat bawah juga bisa merasakan berkah melimpahnya kekayaan alam di negeri yang genap berumur 67 tahun pada bulan ini.
◄ Newer Post Older Post ►