Jumat, 31 Agustus 2012

Rekonstruksi Manajemen Perikanan Tangkap

Rekonstruksi Manajemen Perikanan Tangkap
Rokhmin Dahuri & Pigoselpi Anas;  Guru Besar Fakultas Perikanan dan 
Ilmu Kelautan & Dosen Sekolah Tinggi Perikanan, Bogor
SINDO, 31 Agustus 2012


Sejak dua dekade terakhir usaha perikanan tangkap di laut berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, bangsa-bangsa di dunia terpacu menangkap ikan dan seafoodlebih banyak lagi untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring pertambahan penduduk. 

Selain itu, perikanan tangkap, terutama bagi negara-negara berkembang, masih menjadi tumpuan untuk penciptaan lapangan kerja, perolehan devisa, dan sejumlah multiplier effects ekonomi lainnya. Usaha perikanan tangkap di seluruh laut dunia sejak 1974 hingga 2008 rata-rata menghasilkan ikan 85 juta ton/tahun dengan nilai ekonomi sekitar USD80 miliar/tahun.Adapun jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang terserap oleh usaha perikanan tangkap dunia sekitar 120 juta.

Di sisi lain, dalam tiga dasawarsa terakhir stok berbagai jenis ikan di kebanyakan wilayah laut dunia terus menurun, bahkan beberapa jenis ikan telah punah. Pada awal 2000-an, sekitar 75% dari seluruh stok ikan laut dunia telah mencapai status pemanfaatan jenuh (fully exploited), tangkap lebih (overfishing), atau terkuras. Kemudian pada 2008 persentase stok ikan laut dunia yang status pemanfaatannya telah jenuh,tangkap lebih,dan terkuras meningkat menjadi 84%. Dengan perincian, status sudah jenuh 53%, tangkap lebih 28%, dan terkuras 3%, dan yang baru pulih dari kondisi terkuras 1% (FAO, 2010).

Sekarang, stok ikan pelagis besar (seperti tuna,marlin, bonito, setuhuk,dan ikan pedang) di laut dunia diperkirakan tinggal 10–20%. Apabila kita ingin membalikkan kondisi perikanan dunia yang kini cenderung tidak berkelanjutan ke arah yang berkelanjutan (sustainable), maka kita mesti mengurangi laju penangkapan ikan (jumlah kapal ikan dan nelayan) di laut.Kebijakan ini tentu memicu kontroversi dan dilema di tengah dunia yang masih menyisakan 2 miliar warganya kekurangan pangan, bergizi buruk, menganggur, atau miskin.

Situasi Perikanan Indonesia 

Dilema perikanan global di atas, dalam banyak hal juga sedang terjadi di Indonesia. Pada 2011 total ikan hasil tangkapan dari seluruh wilayah laut Indonesia mencapai 5,06 juta ton, sekitar 78% dari total potensi lestari atau maximum sustainable yield (MSY),sekitar 6,5 juta ton per tahun.Padahal, untuk menjamin kelestarian sumber daya ikan laut dan usaha perikanan tangkap itu sendiri,laju penangkapan ikan maksimum yang diperbolehkan adalah 80% MSY (FAO, 1995).

Artinya,ruang untuk mengembangkan usaha perikanan tangkap di Indonesia hanya tinggal 2%. Lebih dari itu,banyak jenis stok ikan di wilayah-wilayah perairan yang padat nelayan nasional,seperti Selat Malaka, Laut Jawa,pantai selatan Sulawesi, dan Selat Bali telah mengalami tangkap jenuh (overfishing). Demikian pula halnya dengan wilayah-wilayah perairan yang selama ini menjadi ajang penjarahan ikan (illegal fishing) oleh kapal-kapal modern milik asing, seperti Laut Natuna, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi, Laut Arafura, dan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia).

Banyaknya stok ikan di berbagai wilayah perairan yang sudah mengalami tangkap jenuh dan overfishing telah menyebabkan: (1) hasil tangkapan ikan per satuan upaya (kapal ikan atau nelayan) semakin menurun, (2) rata-rata ukuran ikan yang tertangkap semakin mengecil, dan (3) daerah penangkapan ikan (fishing grounds) semakin jauh dari pantai. Ini semua berdampak pada semakin berkurangnya pendapatan nelayan,dan membengkaknya biaya melaut.

Apabila pola penangkapan ikan berlebihan seperti sekarang diteruskan, bukan hanya stok ikan di laut akan terkuras, usaha perikanan tangkap itu sendiri pun bisa ambruk. Selain laju penangkapan yang melampaui MSY, ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan laut juga diperparah oleh: (1) cara-cara penangkapan ikan yang merusak lingkungan (seperti dengan bahan peledak, racun, bottom trawlers); (2) pencurian ikan oleh nelayan asing; (3) alih fungsi dan perusakan ekosistem pesisir (mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan estuari) yang merupakan tempat pemijahan dan tempat pembesaran bagi berbagai jenis ikan dan biota laut lain; (4) pencemaran; dan (5) perubahan iklim global.

Nilai Kerugian 

Hasil penelitian tim ahli dari Bank Dunia dan FAO yang dipublikasikan pada tahun 2009 dalam buku The Sunken Billions: The Economic Justification for Fisheries Reform menunjukkan bahwa kebijakan dan cara-cara penangkapan ikan di laut secara berlebihan di hampir seluruh wilayah peraian laut dunia selama tiga dasawarsa terakhir telah mengakibatkan raibnya keuntungan ekonomi usaha perikanan tangkap dunia USD50 miliar per tahun.

Kerugian ekonomi secara kumulatif selama kurun waktu itu diperkirakan melebihi USD2 triliun. Tim ahli tersebut juga mewanti-wanti,bahwa bila pola penangkapan ikan di laut secara berlebihan dan brutal seperti selama ini tidak segera dihentikan, dalam dua atau tiga dekade mendatang usaha perikanan tangkap di sebagian besar wilayah perairan laut dunia bakal ambruk.

Sebaliknya, jika kita menerapkan rezim pengelolaan perikanan tangkap secara terkendali (managed-capture fisheries), maka diyakini usaha perikanan tangkap di Indonesia maupun dunia akan berkelanjutan serta memberikan keuntungan tambahan sebesar USD50 miliar per tahun secara global, dan sekitar USD3,5 miliar per tahun bagi Indonesia.

Reformasi Manajemen 

Untuk memelihara kelestarian sumber daya ikan dan menjamin usaha perikanan tangkap yang menguntungkan secara berkelanjutan, kita harus meninggalkan rezim pengelolaan perikanan tangkap berasaskan akses terbuka (open access) seperti sekarang dan menggantinya dengan rezim pengelolaan yang terkendali (managed-capture fisheries).

Secara simultan, kita pun harus merehabilitasi sejumlah ekosistem pesisir yang telah rusak dan mengonservasi yang masih tersisa, melakukan restocking dan stock enhancement jenis-jenis ikan dan biota laut yang memiliki nilai ekonomis atau ekologis penting secara tepat dan benar,melarang pembuangan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan mengurangi secara signifikan pembuangan limbah non-B3 ke lingkungan laut,dan menyiapkan serta mengimplementasikan program adaptasi (adaptation measures) terhadap dampak perubahan iklim global yang terkait dengan usaha perikanan tangkap dan kehidupan nelayan.

Kalau pada rezim pengelolaan akses terbuka, berapa saja, kapan saja, dan di mana saja para nelayan bisa sebebas-bebasnya menangkap ikan (dan biota laut lain) dari laut. Dalam rezim pengelolaan perikanan tangkap secara terkendali, kegiatan penangkapan ikan di laut diwajibkan mengikuti sejumlah aturan main, yang antara lain berupa:

(1) pembatasan kuota (berat atau jumlah) ikan atau biota laut lain yang boleh ditangkap setiap musim (tahun); (2) ukuran minimum ikan (biota laut lain) yang boleh ditangkap; (3) larangan penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan atau mengancam kelestarian sumber daya ikan; (4) pembatasan jumlah izin kapal ikan yang boleh beroperasi di wilayah perairan laut tertentu; (5) larangan menangkap ikan (biota laut lain) padamusimatauwaktutertentu (closed seasons); (6) larangan menangkap ikan (biota laut lain) di lokasi-lokasi tertentu (closed areas); dan (7) pemberlakuan kawasan lindung laut (marine protected areas).

Selain itu,setiap unit usaha perikanan tangkap harus memenuhi skala ekonomi, menggunakan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan, mengembangkan industri hilir (pengolahan) dan hulu, dan menerapkan supply-chain management secara terintegrasi dari produksi hingga ke pemasaran. Dengan reformasi manajemen perikanan tangkap di atas, kita tidak hanya akan dapat menyelamatkan kerugian ekonomi yang jumlahnya puluhan miliar dolar, tetapi juga bisa menjamin kontinuitas suplai ikan dan seafood untuk ketahanan pangan. Pada saat yang sama, usaha perikanan tangkap diyakini bakal menyejahterakan nelayan serta memberikan kontribusi yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional secara berkualitas dan berkelanjutan.
◄ Newer Post Older Post ►