Jumat, 31 Agustus 2012

Krisis Berbangsa: “Distrust”

Krisis Berbangsa: “Distrust”
Mudji Sutrisno ;  Guru Besar STF Driyarkara & UI, Budayawan
SINDO, 31 Agustus 2012


Dalam beberapa diskusi politik dan kebudayaan di mana saya diundang dan terlibat, saya temukan tiga wilayah permasalahan bangsa. Permasalahan pertama, kenyataan minim dan tidak adanya teladan yang baik dari para pemimpin kita (yang sebenarnya adalah tetap “primus inter pares” dalam kehidupan berbangsa), maka sia-sialah usaha pendidikan nilai dan watak sebagai solusinya. 

Soal kedua, gejala putus harapan akan perbaikan dalam berbangsa dan bernegara setelah tahun-tahun reformasi berlalu— yang pada awalnya diharapkan mampu meletakkan cara bernegara kita dalam sistem demokratis, dengan membagi tiga kekuasaan yang saling bisa mengontrol antara yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Ditambah lagi dengan maraknya korupsi dan politik uang yang terus menggebu untuk memenuhi kepentingan ego partai politik, dengan akibat mereka lebih banyak berkelahi dan saling menghancurkan serta lupa menyuarakan aspirasi dan suara rakyat.

Kasuskasus kemiskinan, ketidakadilan, lumpur Lapindo tidak disentuh, sementara menyangkut citra dan soal-soal yang tidak substansial malah diwacanakan terus-menerus. Akibatnya, jalan politik dengan wataknya yang berebutan kuasa menjadi jalan yang memecah dan meretakkan kita sebagai bangsa. Lokasi persoalan ketiga ada pada soal bagaimana cara kita dengan gampangnya mencari penyelesaian krisis bangsa ini melulu dengan logika manajemen teknis.

Apalagi, solusi dipandang mudahnya dengan menyederhanakan soal dengan menaruhnya ke cara solusi “know-how” tanpa menggalinya ke akar masalah di ranah kebudayaan. Justru pada wilayah ketiga inilah, biasanya dibuat cara mengatasi soal dengan cepat-cepat membuat undangundang atau peraturan, seakan-akan kalau sudah dibuat hukumnya dengan “bim salabim” langsung diyakini persoalan pokok akan selesai.

Dari tiga hipotesis di atas, pada ranah dasar kebudayaan (di mana tumbuh proses saling memaknai hidup bersama dan saling toleran atas perbedaan) sesungguhnya sedang terjadi krisis (hebat) dalam soal saling mempercayai antar kita (distrust). Dengan kata lain, daripada memercayai, kita lebih mudah saling mencela dan memaki daripada kerja mencari solusi. Mengapa kita lebih memilih sikap tidak berpikir positif terhadap sesama dan sulit saling percaya? Sebabnya bukan hanya terpaparnya secara telanjang jurang antara yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dalam jurang sosial ekonomi.

Lihatlah yang dengan mudah korupsi miliaran kontras sekali dengan mereka yang bunuh diri karena miskin. Terlihat rumit jurang lebar antara mereka yang memiliki akses kekuasaan dan elite untuk keputusan-keputusan strategis mengenai tanah,tambang, dan hajat kehidupan dengan mereka yang sama sekali tidak memilikinya bahkan termarjinalisasi, terpinggirkan lalu urbanisasi karena “gula” berkumpul di kota-kota.Karena rezeki berpusat di kota maka menumpuklah penduduk di kota.

Juga beda tajam kisah sukses ekonomi makro dengan terus-terusan diteriakkan pertumbuhan- pertumbuhan ekonomi makro, ditabrakkan dengan kaum miskin pengangguran yang semakin susah untuk hidup sehari-hari dengan “basic needs” di ranah ekonomi mikronya. “Trust” dan “Distrust”merupakan proses panjang yang harus dirajut, harus ditenun dalam usaha mempercayai lagi dalam kesetaraan sebagai makhluk-makhluk berharkat di wilayah kehidupan kultural.

Di sinilah, dalam ranah dan jalan kebudayaan ini pendidikan nilai dan karakter berperan penting menentukan di dalamnya, tergantung pembatinan watak mau peduli sesama, mau toleran dan saling membantu demi kesejahteraan bersama. Ini tak cukup dengan kognitif, harus berproses membatinkan jadi sikap hidup plus keteladanan-keteladanan.

Mengapa pendidikan nilai penting? Sebab pendekatan kebudayaan adalah pendekatan yang berusaha menghayati dan melihat realitas masyarakat dari sudut mentalitas; nilai-nilai dan makna hidup yang de factodihidupi, dihayati oleh komunitas itu secara bersama maupun individual. Sebagai contoh, nilai penyatu untuk saling menghormati satu sama lain dan toleransi dalam bangsa yang majemuk suku, agama sampai hari ini masih mampu mempersatukan kita karena bersumber dari sila persatuan.

Namun, ini semua tidaklah gratis, atau “given” tetapi harus dirawat, dibatinkan dalam hati dengan contoh perilaku yang mengutuhkan nyata dari generasi ke generasi. Hanya ketika strategi kebudayaan dipancang rumus dan jelas tahaptahap operasinya untuk tujuan mencapai masyarakat yang adil, manusiawi, dan makmur maka jalan budaya akan menapak menjadi peradaban: masyarakat yang berkeadaban.

Dalam kenyataan dekadedekade lalu ini, apa yang sedang berlangsung dan terjadi di bangsa kita secara kebudayaan? Kita mengalami apa yang disebut “disorientasi kultural atau disorientasi nilai-nilai”. Itu bisa dilihat pada beberapa fenomena. Fenomena pertama, kita sedang mengalami disorientasi dalam memahami,melakukan mengenai apa yang “baik”, apa yang “benar” dan apa yang “indah” dalam hidup ini.

Telah terjadi perubahan pemahaman, penamaan dan pembatinannya secara edukatif dan tradisi mendongeng di keluarga- keluarga secara afektif, dengan hati dan sapaan teladan sebelum tidur untuk menanamkan nilai ke anak-anak menuju perubahan idola-idola pujaan eksotis (idols) selebriti dan “presenter” dalam media visual elektronik.Apalagi via media digital yang menawarkan bahkan “membombardir” terus promosi hidup yang gampang,” sukses pintas” tanpa proses perjuangan berkeringat dan berdarahdarah, sehingga lupa bahwa hidup adalah proses terus-menerus.

Kedua, orientasi hidup berbangsa kita untuk membangun karakter bangsa berdasar kemanusiaan, religiositas keadilan sosial dalam deliberasi demokratis untuk mengambil keputusan dalam mencapai tujuan bernegara dengan mempraktikkan nilai-nilai dasar sila-sila dalam kehidupan sosial politik di sana-sini dilemahkan dan disurutkan oleh “verbalisme”, sloganisme, pidato-pidato manis, terlalu banyak wacana namun miskin keteladanan dan contoh hidup antar satu kata tindak.

Ketiga, uang sebagi nilai tukar telah secara reduksionis menukar semua nilai-nilai imateriil dan non bendawi (spiritual) menjadi satu-satunya nilai tukar bendawi material.Semua hanya dikalkulasi dengan uang, uang dan uang dari kehidupan ini sebagai akibatnya materialisme menjadi dominan dan menjadi tuan atau raja sehingga yang “intangible” tergusur.

Dengan demikian, logislah bila yang krisis adalah nilainilai acuan hidup di ranah kebudayaan. Akhirnya kita bingung acuan nilai mengenai siapa sesama dan krisis memercayai mereka. Maka logislah kalau kondisi ini menaruh kita pada situasi benar-benar terkoyak “distrust” antar kita sebagai bangsa, inilah krisis pokok kita sebagai bangsa.

◄ Newer Post Older Post ►