Jumat, 31 Agustus 2012

Khotbah di Atas Bukit


Khotbah di Atas Bukit
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat dan Etika di Universitas Utara Malaysia 
JAWA POS, 31 Agustus 2012


JUDUL tersebut dipinjam dari karya budayawan Jogja ternama, Kuntowijoyo. Namun, tulisan ini tidak akan mengulas karya tentang pencarian spiritual tersebut, melainkan hendak mengurai surat pembaca Jawa Pos (17/8/2012) yang dicetuskan Sihabuddin, mahasiswa Komunikasi IAIN Sunan Ampel. Dia mengusulkan khotbah Jumat berkisar 10-15 menit saja. Saya hanya mengambil semangat Pak Kunto yang berhasil menorehkan khotbah lelaki tua di atas bukit dengan memikat. Ya, hakikatnya, khotbah bisa disampaikan secara menarik. 

Sebagai mahasiswa komunikasi, Sihabuddin menyadari bahwa khotbah Jumat yang begitu panjang membosankan. Ditambah, khotib tidak menguasai retorika sehingga jamaah terkantuk-kantuk, bahkan tertidur. Fenomena tersebut sering ditemui di banyak masjid. Dia pun khawatir khotbah tersebut sia-sia. Padahal, Rasulullah memperpendek khotbah dan memanjangkan ayat dalam salat. Karena itu, dia menyarankan agar khotib mempersingkat ceramah dengan retorika yang memesona. 

Atas dasar kenyataan itu, kewajiban mingguan tersebut perlu diperiksa kembali. Sebagai ibadah yang melibatkan orang banyak, tentu khotbah adalah peluang untuk menciptakan kesadaran umat tentang kehidupan, kesejahteraan, dan kesentosaan. Jadi, persoalannya bukan sekadar apakah durasi khotbah itu mesti singkat agar memikat, lalu memaksa khotib untuk menyampaikannya dengan retorika berbunga-bunga. Bukankah yang terakhir itu telah dilakukan ustad dadakan yang pandai berkata-kata dan memantik tawa? 

Tak Ada Yang Mencatat 

Retorika adalah gaya agar pidato memikat. Negeri ini menyediakan pemidato yang baik. Misalnya, dai sejuta umat Zainuddin M.Z. Bukan hanya gayanya yang menarik, dia juga membekali diri dengan ilmu keagamaan yang mumpuni serta khazanah klasik. Malahan, pengetahuan umum dan wawasannya turut memperkaya cerita serta kiasan dalam ceramah. Tak ayal, banyak orang yang betah berlama-lama menyimak uraian almarhum. Tentu, kita tak melupakan bagaimana Zainuddin memecah kebekuan perayaan Isra Mikraj di Masjid Istiqlal di hadapan Presiden Soeharto yang sebelumnya disampaikan penceramah dengan nada datar. 

Masalahnya, apakah retorika dengan sendirinya mampu menyampaikan pesan sang pengkhotbah dan mampu mengulas masalah dengan baik? Tidak dengan sendirinya gaya yang baik akan menancap di benak penerima. Meski, sesuai teori komunikasi jarum hipodermik, keberterimaan pesan layaknya jarum yang ditancapkan di tubuh pasien, sehingga tak lama kemudian reaksi obat akan menyembuhkan si sakit. Dengan rumus S->R (Stimulus-Response), sepatutnya dalam keadaan seperti Jumatan, yakni khotib berdiri kukuh di mimbar dan jamaah diam, tak ada seorang pun yang bermain telepon genggam, sehingga pesan-pesan khotbah tentu akan mudah berkesan di hati mereka. 

Namun, kenyataannya, banyak jamaah yang tampak khusyuk namun sebenarnya terkantuk-kantuk, malah tertidur. Selain itu, boleh dikatakan, kita tidak pernah menemukan jamaah mencatat uraian yang disampaikan khotib. Demikian juga, tidak ada masjid yang mencetak isi khotbah. Yang kita temukan adalah selebaran yang mengandung khotbah keagamaan secara umum yang dikeluarkan organisasi atau kelompok kajian tertentu seperti LKiS dan Hizbut Tahrir yang di dalamnya terdapat pesan jangan dibaca ketika khotbah sedang dilangsungkan.

Berkhotbah, lalu Bertindak 

Sebenarnya gagasan untuk mendayagunakan khotbah Jumat pernah dilontarkan Cacuk Sudariyanto, mantan orang nomor satu Telkom. Dengan teknologi informasi, khotbah Jumat bisa diselaraskan di seluruh negeri dengan bertumpu pada masalah-masalah bersama di tingkat nasional. Meski bertujuan baik, aroma Orde Baru kuat menyengat. Yaitu, penyeragaman gagasan. Kita tentu mafhum bahwa kemajuan itu adalah kehendak bersama. Namun, ia dengan sendirinya tidak meniadakan keanekaragaman. 

Bagaimanapun, masjid-masjid Indonesia terbelah pada kecenderungan yang berbeda. Selain organisasi keagamaan, sebagian di antara mereka terpaku pada tradisi lama, pembacaan khotbah dalam bahasa Arab saja. Bahkan, di kampung saya, salah seorang khotib membawakan teks khotbah yang sama selama puluhan tahun. Jamaah tetap meluber, memenuhi hingga emperan masjid. Namun, praktis mereka hanya bersembahyang tanpa membawa pesan khotbah. 

Nah, mengingat potensi khotbah untuk perubahan sosial, yakni orang datang tanpa harus diundang, kita tentu tidak hanya menjadikan khotbah itu memikat semata-mata, tapi juga mendorong pengkhotbah mengangkat persoalan bersama jamaah. Tentu, peran intelektual sangat penting, dalam pengertian Ali Syariati adalah mereka yang berbicara dengan bahasa masyarakatnya, untuk memasok gagasan. Pendek kata, setelah Jumatan usai, mereka bisa duduk bersama untuk merumuskan tindakan. 

Dalam tradisi Rasulullah, seperti disusun Athar Hussein dalam The Message of Muhammad (1983), masjid bukan hanya ruang untuk membicarakan ibadah, tetapi juga muamalah (sosial). Setelah menyampaikan yang pertama, Rasulullah menanyakan kesejahteraan umatnya. Malahan, dalam majelis pengajian di masjid setelah subuh, kelakar juga tidak dilarang. Karena itu, mungkin saja kandungan khotbah mempersoalkan masalah setempat. Misalnya, harga tebu atau beras yang tidak menguntungkan petani karena impor gula dibuka pemerintah tanpa pertimbangan matang. 

Jadi, selain mengandaikan retorika yang memukau, khotbah menyentil masalah-masalah konkret umat. Sayangnya, dalam banyak khotbah, kita sering menemukan ajakan menggelorakan permusuhan kepada orang lain, tidak menekankan pada musuh yang sesungguhnya, yaitu kemiskinan, kebodohan, serta penyakit masyarakat. 

◄ Newer Post Older Post ►